Opini
Pedang Tumpul Eropa: Dipakai Lagi, Luka Lagi

Di tepi musim dingin yang kelabu, di Tirana, ibu kota Albania yang seolah merangkul sejarah dan luka Eropa, Ursula von der Leyen berdiri tegak di panggung European Political Community (EPC), berbicara dengan nada penuh keyakinan, seolah dunia masih percaya pada setiap katanya. Bersama Volodymyr Zelenskyy, ia memuji “kesatuan tak tergoyahkan” Eropa dalam mendukung Ukraina, seolah kesatuan itu tak pernah retak, seolah krisis energi yang mencekik warga Eropa hanyalah fatamorgana. “Eropa telah muncul lebih besar dan kuat dari setiap krisis,” katanya, dengan semangat nyaris heroik. Tapi di balik sorot lampu dan mikrofon, realitas berbisik lain: Eropa, dengan tangan kosong, mengancam memukul tembok bernama Rusia, sementara tangannya sendiri mulai berdarah.
Bayangkan absurditasnya. Eropa, yang sedang terhuyung-huyung oleh inflasi dan harga gas yang melambung, masih punya nyali untuk melontarkan sanksi baru ke Rusia. Von der Leyen dengan bangga menyebut pendapatan minyak dan gas Rusia anjlok 80%, defisit mereka membengkak, dan inflasi melaju di atas 10%. Data ini bukan isapan jempol—laporan Bank Dunia dan IMF mengkonfirmasi tekanan ekonomi pada Kremlin. Tapi mari tarik napas panjang dan berkaca: bukankah Eropa juga yang membayar harga mahal ini? Harga gas di Eropa pernah melonjak hingga 10 kali lipat pada 2022, memicu resesi teknis di Jerman dan protes jalanan di Paris. Warga dari Lisbon sampai Warsawa harus memilih antara membeli roti atau menyalakan pemanas. Ironis, bukan? Eropa mengira mereka sedang meninju Rusia, tapi tinjunya malah menghantam wajahnya sendiri.
Sanksi, kata von der Leyen, bukan sekadar hukuman, melainkan “strategi untuk memaksa Putin ke meja perundingan.” Nord Stream 1 dan 2, armada bayangan, batas harga minyak, sektor keuangan Rusia—semua jadi target sanksi. Kedengarannya gagah, seperti pahlawan dalam film Hollywood yang bersumpah akan menaklukkan penjahat terakhir. Tapi coba kita ikuti logikanya: Rusia, dengan ekonomi yang memang terluka, masih bisa tertawa. Mereka menjual minyak ke India dan Tiongkok dengan harga diskon, menggunakan kapal-kapal “hantu” untuk mengelabui sanksi, dan mempererat pelukan strategis dengan Beijing. Sementara itu, Eropa? Masih sibuk mengais LNG dari Qatar dan AS, berharap panel surya dan turbin angin bisa menyelamatkan mereka sebelum musim dingin berikutnya. Ini seperti petinju yang memukul bayangan lawan, tapi malah tersengal-sengal sendiri.
Di Indonesia, kita mungkin cuma bisa geleng-geleng kepala melihat drama ini. Kita tahu betul bagaimana rasanya terjebak dalam permainan geopolitik—dulu dijajah, sekarang ditekan oleh fluktuasi harga minyak dan gandum. Tapi bayangkan jika pemerintah kita tiba-tiba memutuskan memboikot bahan bakar dari Timur Tengah, lalu harga BBM naik tiga kali lipat, dan rakyat harus antre beras sambil mengutuk di media sosial. Kurang lebih begitulah Eropa sekarang. Mereka menyebut ini solidaritas dengan Ukraina, perjuangan untuk kedaulatan, demi “nilai Eropa.” Tapi nilai apa yang tersisa ketika rakyatmu harus memilih antara makan malam atau listrik? Von der Leyen bilang, “Kami ingin perdamaian.” Tapi perdamaian macam apa yang dibangun di atas punggung rakyat sendiri?
Mari berkaca pada sejarah. Sanksi memang pernah berhasil—lihat Iran pada 2015, ketika tekanan ekonomi memaksa mereka duduk di meja perundingan nuklir. Tapi Iran bukan Rusia. Rusia adalah raksasa dengan cadangan devisa $600 miliar sebelum perang, pasar ekspor yang luas, dan sekutu seperti Tiongkok yang tak peduli pada kuliah moral dari Brussel atau Washington. Sanksi memang menggigit, tapi Rusia seperti petarung berdarah yang masih berdiri dan bahkan balas tersenyum. Sementara Eropa, dengan ekonominya yang rapuh, malah terlihat seperti petinju yang tersandung tali ring sendiri. Data Eurostat menunjukkan inflasi energi di UE mencapai 40% pada puncak krisis 2022. Jerman, mesin ekonomi Eropa, melihat produksi industrinya turun 2% pada 2023. Ini bukan sekadar angka—ini adalah pekerja yang kehilangan pekerjaan, keluarga yang kehilangan daya beli, dan politisi yang kehilangan kepercayaan publik.
Lalu mengapa Eropa terus memainkan permainan ini? Mungkin karena mereka telah terlalu dalam masuk ke narasi yang mereka ciptakan sendiri. Mundur dari sanksi berarti mengakui bahwa strategi mereka keliru, dan Eropa, dengan segala superioritas moralnya, tak sudi mencabut sepatu saat sudah naik ke podium. Von der Leyen bilang EPC lahir dari solidaritas dengan Ukraina, tapi solidaritas macam apa yang justru menyengsarakan rakyat sendiri? Ini seperti tetangga yang sibuk membantu renovasi rumah sebelah, sementara atap rumahnya sendiri bocor dan dapurnya terbakar. Ada keangkuhan di sini—keangkuhan yang percaya bahwa Eropa bisa terus memukul Rusia tanpa rasa sakit. Dan AS? Mereka tersenyum dari kejauhan, menjual LNG dengan harga premium sambil mengucapkan selamat atas “kesatuan Barat.”
Tentu, Rusia bukan malaikat. Invasi mereka ke Ukraina adalah pelanggaran kedaulatan yang tak bisa dibenarkan, dan Putin bukanlah tokoh damai. Tapi justru karena itulah pendekatan perlu ditimbang matang. Sanksi yang setengah matang hanya akan membuat Eropa terlihat seperti anak kecil yang marah dan melempar mainan, tapi kemudian tersandung sendiri. Rusia tahu Eropa sedang kesulitan. Mereka tahu Jerman tak bisa mengganti gas mereka dengan angin dan matahari dalam semalam. Mereka tahu inflasi dan resesi adalah musuh internal yang lebih berbahaya daripada tank Rusia di Donbas. Dan di tengah semua ini, Zelenskyy terus meminta lebih banyak senjata, lebih banyak sanksi, lebih banyak solidaritas. Sementara rakyat Eropa mulai bertanya: sampai kapan kita harus membayar utang moral ini?
Di Jakarta, kita mungkin hanya bisa menyeringai pahit. Kita tahu bagaimana rasanya jadi penonton kecil dalam drama besar dunia. Dulu dijajah, sekarang diatur-atur oleh harga komoditas yang ditentukan meja-meja perundingan di Davos. Tapi Eropa? Mereka seharusnya lebih pandai. Mereka punya pengalaman, pendidikan, teknologi, dan kekuatan institusional. Tapi entah mengapa, mereka memilih jalan yang mirip seperti eksperimen sosial—tapi dengan rakyat sendiri sebagai kelinci percobaannya. Von der Leyen berkata, “Kami siap melakukan lebih banyak untuk membawa Putin ke meja perundingan.” Tapi meja macam apa yang bisa dicapai jika tuan rumahnya sendiri tumbang karena kelelahan?
Jadi, apa solusinya? Eropa perlu berhenti bermain sebagai pahlawan dalam narasi epik yang mereka tulis sendiri dan mulai bertindak sebagai aktor rasional dalam panggung realpolitik. Sanksi boleh dilanjutkan, tapi dengan strategi yang lebih cermat—identifikasi celah-celah seperti armada bayangan, manipulasi transaksi, dan peran perantara seperti Tiongkok. Percepat transisi energi, bukan dengan slogan di konferensi, tapi dengan investasi konkret yang menjangkau kelas pekerja. Dan di atas semuanya, mulailah bicara. Bicara dengan musuh, bicara dengan sekutu, bicara dengan rakyat sendiri. Gunakan Turki, India, bahkan negara-negara nonblok sebagai jembatan, bukan sekadar pelengkap pidato.
Kalau tidak, sanksi ini akan tetap menjadi teater—sebuah pertunjukan mahal yang menampilkan Eropa sebagai pemeran utama, tapi rakyatnya sebagai korban tak bersuara. Dan ketika tirai ditutup, dunia akan tahu: ini bukan tragedi klasik. Ini satire modern. Eropa, yang mengira dirinya panggung moral dunia, justru menjadi contoh bagaimana keangkuhan bisa melumpuhkan nalar. Rusia masih tertawa sambil menjual minyak ke India, Ukraina masih berdarah-darah di garis depan, dan Eropa? Masih berdiri di panggung, menggenggam naskah, tapi lupa kalimat selanjutnya.