Connect with us

Opini

PBB dan Gaza: Ketika Penjaga Moral Hanya Bisa Bicara

Published

on

Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali mengingatkan dunia: piagamnya sedang dilanggar. Hukum internasional diinjak-injak oleh negara anggota. Alarm pun dibunyikan. Lantang. Resmi. Protokoler. Seolah-olah dunia masih memiliki pendengaran dan niat baik. Di Gaza, manusia-manusia terusir dari tanahnya sendiri. Dalam sehari, 30.000 orang dipaksa pindah tanpa tahu ke mana. Tak ada tempat aman. Tak ada air. Tak ada makanan. Bahkan tak ada sabun untuk menstruasi yang layak. Tapi tenang saja, alarm PBB berbunyi. Dunia mungkin akan mencatatnya dalam risalah rapat tahunan.

Antonio Guterres, sang Sekjen, menyampaikan keprihatinan yang sangat dalam. Ia mengecam. Ia menyampaikan kekhawatiran. Ia menggunakan diksi yang tepat, kalimat yang diplomatis, dan nada suara yang terlatih. Dunia bergidik. Atau pura-pura bergidik. Sebab, siapa pula hari ini yang sungguh-sungguh terkejut melihat penderitaan warga Palestina? Adegan itu sudah terlalu sering tayang: reruntuhan, bayi berdarah, perempuan menangis, pengungsi berdesakan. Kita bahkan telah menghafal angle kamera terbaiknya.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

PBB mencatat, 85% wilayah Gaza tak lagi layak huni. Bayangkan mengurung 2,3 juta manusia dalam ruang sebesar Manhattan yang telah menjadi puing. Dan bayangkan pula: masih ada orang yang bilang ini konflik seimbang. Hanya karena satu sisi punya senjata batu dan sisi lain punya F-35, maka disebut pertempuran. Sementara satu-satunya senjata paling tajam dari PBB adalah diksi seperti “gravely concerned” dan “deeply alarmed”. Kita tidak sedang bercanda. Ini betul-betul peradaban yang membusuk dengan sopan.

Bahan bakar dilarang masuk selama lebih dari 17 minggu. Rumah sakit kehilangan daya. Inkubator padam. Air tak bisa disaring. Ambulan tak bisa melaju. Tapi Israel terus memberi izin terbatas pada truk bantuan—seakan-akan menjadi dewa yang murah hati di tengah kehancuran yang mereka ciptakan. Dan PBB? Mencatat. Melaporkan. Mendistribusikan grafik. Sesekali membuat konferensi pers. Sesekali meminta donor. Sisanya: menunggu pernyataan baru dari juru bicara yang berbaju rapi dan berbahasa lembut. Dunia telah berubah. Tapi cara kematian dikemas masih sama: statistik dan narasi netral.

Dalam satu minggu terakhir saja, sembilan pekerja kemanusiaan tewas. Total sejak Oktober 2023: 479 relawan gugur, termasuk 326 staf PBB sendiri. Ya, bahkan yang membawa bendera biru pun dibunuh. Dan sungguh ironis—PBB masih memperlakukan zionis sebagai mitra dialog. Ini bukan hanya penghinaan terhadap korban, tapi juga pengkhianatan terhadap misi kemanusiaan itu sendiri. Bagaimana bisa organisasi yang kehilangan ratusan anggotanya masih terus berbicara sopan kepada pembunuh mereka? Tapi ya, barangkali itu bagian dari protokol multilateral. Hormati semua pihak, bahkan pembantai.

Sementara itu, hampir separuh misi bantuan di bulan Juni ditolak langsung oleh otoritas Israel. Truk-truk penuh makanan dan obat terparkir di perbatasan, menunggu izin masuk dari rezim yang sama yang membombardir rumah sakit. Sungguh absurd: yang menciptakan krisis juga yang mengatur solusi. Dan PBB, lagi-lagi, memohon agar diberi akses kemanusiaan. Memohon. Lembaga paling bergengsi di dunia ini, dengan ratusan negara anggota, hanya bisa mengetuk pintu dan berharap belas kasih dari pelaku pelanggaran HAM berat. Bayangkan Anda punya peluit di tangan tapi memilih berdoa agar wasit lawan main Anda fair play.

Di antara reruntuhan, para perempuan dan anak perempuan menghadapi mimpi buruk yang tak disebut-sebut dalam pidato politik: menstruasi. Ya, darah yang tak berhenti keluar, tanpa pembalut, tanpa sabun, tanpa ruang privat. Ada 700.000 perempuan di Gaza yang tidak hanya kehilangan rumah, tapi juga kehilangan martabat dasarnya sebagai manusia. PBB menyebut ini sebagai “krisis tidak terlihat”. Tapi justru karena tak terlihat, maka sebagian dunia merasa tak perlu peduli. Kemanusiaan kita berhenti di batas layar kaca dan bandwidth.

Apa yang dilakukan PBB selama ini tidak sepenuhnya sia-sia. Tapi jika hanya berfungsi sebagai alarm, dunia sudah punya banyak alarm: aktivis, jurnalis, mahasiswa, seniman, bahkan rakyat biasa. PBB menjadi istimewa karena ia lembaga resmi. Dan justru karena itu, ketika ia gagal bertindak, kegagalannya terasa lebih dalam, lebih memalukan, lebih mengoyak kepercayaan. Kita sedang menyaksikan lembaga penjaga moral dunia berubah menjadi komentator profesional—melaporkan penderitaan seakurat mungkin, tapi tanpa daya untuk menghentikannya.

Tentu saja, bukan salah Guterres semata. Bukan salah Stephane Dujarric. Mereka cuma juru bicara dari sistem yang sudah cacat sejak lahir: sistem yang memberikan lima negara kekuasaan mutlak untuk memveto kemanusiaan. Sistem yang membiarkan hukum tunduk pada kekuasaan. Sistem yang bahkan tak mampu melindungi para pekerjanya sendiri. Tapi tetap saja, mereka berada di panggung itu. Mereka memegang mikrofon. Dan setiap kata mereka hari ini—jika hanya menjadi repetisi dari “keprihatinan”—adalah cermin dari betapa dunia ini tidak sedang mencari solusi, hanya sedang menunda kematian.

Dari Jakarta, dari kampung-kampung di Bekasi, dari layar HP yang kita genggam saat sahur atau sebelum tidur, kita menyaksikan Gaza seperti menonton serial panjang yang menyedihkan. Tapi ini bukan serial. Ini realitas. Dan suara-suara kecil dari tempat-tempat seperti ini—dari gang sempit, dari masjid kecil, dari ruang kelas sederhana—harus menjadi gema dari alarm yang sudah terlalu sering diabaikan. Jika PBB tak lagi punya taring, maka suara rakyatlah yang mesti menjadi gigi tajam dari keadilan itu sendiri.

Paradoksnya begini: semakin sopan bahasanya, semakin brutal kenyataannya. Dunia telah mencapai titik di mana genosida dibahas dalam forum multilateral dengan bahasa yang nyaris puitik. Dan PBB, yang seharusnya menjadi penjaga pagar, kini lebih mirip seperti tukang cat yang mencoba menutup lubang peluru dengan plester warna biru.

Tapi jangan salah. Kita tetap butuh PBB. Bukan karena dia sempurna. Tapi karena kita belum punya alternatif lain yang lebih baik. Yang perlu diubah bukan hanya institusinya, tapi dunia yang membentuknya. Dan selama itu belum terjadi, mungkin satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah terus meneriakkan ironi ini—dengan suara yang cukup lantang agar menggema sampai ke ruang sidang yang terlalu sunyi untuk mendengar jeritan anak-anak di Gaza.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer