Connect with us

Opini

Pati: Peringatan bagi Semua Pemimpin

Published

on

Siang itu, alun-alun Pati berubah menjadi panggung absurditas yang tidak bisa diabaikan. Matahari menyengat, tapi panasnya tidak sebanding dengan ketegangan yang tercipta. Ribuan warga memadati alun-alun, suara mereka menggelegar, botol dan sandal beterbangan, kaca pecah berhamburan. Di tengah kekacauan itu, Bupati Sudewo berdiri di atas mobil, dilempari benda oleh mereka yang merasa haknya diinjak. Sebuah absurditas yang sekaligus tragis: kekuasaan formal menghadapi kekuatan moral rakyat yang sadar. Dan, di sinilah kita mulai menyadari satu hal mendasar—ketika rakyat bergerak, tidak ada kursi tinggi atau jabatan resmi yang mampu menahannya.

Kebijakan menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen adalah cermin dari kepemimpinan yang kehilangan sentuhan. Angka itu bukan sekadar pajak; itu simbol ketidakpedulian terhadap hidup sehari-hari masyarakat. Kita semua tahu, di tengah harga kebutuhan meningkat, pendapatan terbatas, dan pekerjaan tak menentu, pukulan pajak ekstrem seperti itu adalah tamparan keras di wajah rakyat. Yang lebih menyedihkan adalah, bukannya mendengar, pemimpin ini menantang rakyat: “Silakan 50.000 orang pun turun, saya tak gentar.” Saya rasa, inilah wajah arogan yang mengira jabatan setinggi bintang bisa menutupi ketidakmampuan memahami rakyat.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Rakyat bergerak. Mereka menyadari haknya dan mengekspresikannya dengan cara yang keras, tapi jelas. Demonstrasi besar-besaran itu, meski dipicu pajak, bertransformasi menjadi pesan moral bagi pemimpin: kepemimpinan bukan sekadar posisi formal, tapi tanggung jawab nyata. Tidak ada toleransi bagi kesewenangan, bahkan ketika yang bersangkutan baru sebulan memegang kursi. Inilah peringatan keras: seorang pemimpin yang melupakan rakyat akan segera diingatkan, dan rakyat tidak akan menunggu lama.

Kericuhan tidak terhindarkan. Enam puluh empat orang luka-luka, sebagian warga, sebagian aparat. Gas air mata dan water cannon memecah massa, tapi tidak ada yang meninggal. Absurd? Tentu. Ironi? Jelas. Ini metafora bagi kepemimpinan yang sombong: rakyat bisa terluka, tapi tidak terkalahkan. Mereka masih berdiri, menuntut, menegur, bahkan menertawakan kekonyolan pemimpin yang mengira jabatan bisa menutupi kesalahan. Dari sini, kita belajar bahwa kepemimpinan sejati diuji bukan dari kata manis atau seremonial, tapi dari kemampuan mendengar dan merespons hak rakyat.

Sudewo akhirnya meminta maaf, membatalkan kenaikan PBB, dan mengembalikan uang warga yang sudah terlanjur membayar. Tapi demonstrasi tetap berlangsung. Mengapa? Karena rakyat bukan hanya menuntut kebijakan, mereka menuntut integritas, karakter, dan kemampuan seorang pemimpin untuk tidak bersikap arogan. Ketika hak mereka diinjak, penyesalan dan pengembalian dana tidak lagi cukup. Ini bukan soal kabupaten kecil; ini soal pelajaran bagi pemimpin manapun di negeri ini: rakyat sadar, mereka bergerak, dan mereka memiliki memori panjang.

Yang menakutkan bagi setiap pemimpin adalah satu hal sederhana: rakyat bersatu tidak bisa dibendung. Demonstrasi di Pati menunjukkan bahwa kekuasaan formal tanpa rasa tanggung jawab hanyalah ilusi. Tidak peduli seberapa baru kursi itu ditempati, atau seberapa tinggi jabatan, ketika rakyat bergerak, tidak ada yang mampu menahannya. Ini bukan hanya soal Pati; ini adalah pesan yang harus dibaca oleh setiap kepala daerah, gubernur, bahkan presiden. Ketika rakyat merasa diabaikan, mereka akan mencari cara, bersatu, dan menuntut pertanggungjawaban.

Kepemimpinan yang baik adalah tentang mengukur langkah dengan kesejahteraan rakyat, bukan ego atau ambisi pribadi. Kita bisa melihat dari kasus Pati bahwa seorang pemimpin yang mengabaikan hal itu akan menghadapi konsekuensi langsung. Mereka akan menghadapi massa yang sadar, bukan massa yang bisa ditundukkan dengan kata manis atau janji kosong. Rakyat yang mengerti haknya akan menjadi pengawas, pengingat, bahkan pengoreksi. Tidak ada jabatan yang membuat seseorang kebal dari teguran rakyat.

Kericuhan yang terjadi adalah refleksi dari kegagalan pemimpin memahami batas antara kekuasaan dan kewajiban. Ketika rakyat dilempari janji tanpa tindakan, atau diberi angka yang menghancurkan hidup mereka, amarah kolektif muncul. Bukan karena rakyat ingin rusuh, tapi karena kepemimpinan gagal menempatkan rakyat sebagai prioritas. Sudewo, dengan pernyataannya yang menantang rakyat, memberi pelajaran klasik: seorang pemimpin yang arogan akan cepat kehilangan legitimasi moral.

Dalam konteks ini, Pati menjadi laboratorium kepemimpinan. Ia menunjukkan bahwa hak rakyat bukan sekadar retorika konstitusi, tapi tuntutan nyata yang harus dijawab. Ketika kebijakan merugikan rakyat, mereka akan bertindak. Mereka akan bersuara. Mereka akan menuntut pertanggungjawaban. Dan, jika pemimpin gagal menanggapi dengan bijak, mereka akan terus bergerak, hingga suara mereka didengar. Ini adalah pelajaran bagi semua pemimpin: kursi tinggi bukan penghalang bagi tuntutan rakyat.

Saya rasa, pelajaran paling keras dari Pati bukan soal pajak, bukan soal angka 250 persen, dan bukan soal kericuhan semata. Ini adalah peringatan bagi setiap pemimpin: rakyat tidak bisa dibodohi, tidak bisa ditundukkan, dan tidak bisa diabaikan. Mereka memiliki hak untuk menuntut keadilan, dan ketika hak itu diinjak, mereka akan bergerak bersama. Kepemimpinan yang arogan hanyalah penampilan; rakyat akan membuka tabir itu dengan tindakan.

Kita semua bisa melihat implikasi lebih luas: seorang bupati yang arogan diprotes keras, dikritik, bahkan diusulkan pemakzulannya. Jika ini terjadi di level lokal, mengapa prinsip yang sama tidak berlaku di tingkat nasional? Presiden, wakil presiden, atau pejabat tinggi manapun harus ingat: kekuasaan formal tidak membebaskannya dari tanggung jawab moral. Rakyat memiliki hak untuk menilai, menuntut, dan jika perlu menekan pemimpin untuk mempertanggungjawabkan keputusan yang merugikan.

Pati adalah pelajaran hidup bagi semua pemimpin di negeri ini. Ketika rakyat bergerak, mereka bergerak dengan memori panjang, kesadaran tinggi, dan kekuatan kolektif yang nyata. Tidak ada strategi birokrasi, tidak ada ancaman formal, yang mampu menghentikan gelombang rakyat yang sadar akan haknya. Setiap pemimpin, dari yang kecil hingga yang tertinggi, harus menyadari bahwa kepemimpinan yang gagal memahami rakyat adalah bom waktu moral.

Dalam hiruk-pikuk alun-alun Pati, di antara botol dan sandal yang beterbangan, ada pesan sederhana tapi tegas: hak rakyat tidak bisa diabaikan. Kepemimpinan bukan sekadar formalitas atau kursi tinggi; itu tentang empati, tanggung jawab, dan kemampuan merespons kebutuhan nyata warga. Ketika pemimpin gagal, rakyat akan menegur. Dan ketika rakyat bergerak, tidak ada yang mampu menahannya. Pati adalah pengingat, bagi semua pemimpin: ingat, rakyat memiliki suara, kekuatan, dan memori—dan mereka tidak takut menggunakannya.

Sumber:

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Alarm Sosial: Rakyat Tercekik, Pejabat Menikmati - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer