Connect with us

Opini

Pasukan Impor: IDF Cari Tentara dari Seluruh Dunia

Published

on

Lebih dari 150 imigran muda baru-baru ini tiba di Israel untuk bergabung dengan Israel Defense Forces (IDF). Mereka berasal dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, hingga Denmark. Dengan semangat diaspora, mereka mengikuti program Garin Tzabar, yang menawarkan pengalaman “aliyah” versi cepat: imigrasi, kursus kilat, dan pelatihan senjata. Selamat datang di paket liburan ala IDF!

Aliyah adalah istilah dalam bahasa Ibrani yang berarti “naik” atau “pendakian” dan secara historis merujuk pada imigrasi Yahudi ke Israel. Aliyah telah menjadi simbol kembalinya diaspora Yahudi ke tanah leluhur mereka, sering kali dipromosikan sebagai bentuk komitmen religius dan nasional terhadap negara Israel.

Fenomena ini mengingatkan kita pada satu hal: Israel sepertinya kehabisan stok tentara lokal. Dengan konflik yang terus memanas dan angka kematian tentara yang dilaporkan Al Jazeera meningkat, seolah-olah menjadi prajurit IDF kini lebih mirip pekerjaan berisiko tinggi yang tak lagi menarik bagi warga asli. Alih-alih patriotisme, mereka kini mengimpor tentara dari diaspora.

Program Garin Tzabar tampak seperti mimpi bagi sebagian orang: empat bulan mengenal budaya Israel, lalu langsung ke medan perang. Mungkin mereka pikir ini hanya latihan fisik biasa, tetapi setelah beberapa minggu, mereka memegang senjata sungguhan dan bersiap menghadapi roket. Mirip dengan paket kursus kilat untuk menjadi “tentara instan,” bukan?

Kalau dipikir-pikir, bukankah ini mengingatkan pada ISIS? Dulu, ISIS juga meminta kombatan dari seluruh dunia untuk bergabung dengan mereka di Suriah. Sama seperti IDF, mereka menawarkan misi besar: bertempur demi ideologi dan tanah yang dianggap suci. Bedanya, IDF memiliki branding yang lebih rapi dan didukung oleh program negara. Tapi, apakah berbeda secara esensi?

Kondisi ini juga membangun ironi. Israel, yang dikenal memiliki militer yang kuat, kini seperti perusahaan outsourcing yang mencari pekerja lepas dari seluruh dunia. Jika ini terus berlangsung, siapa tahu? Mungkin IDF akan mulai merekrut tenaga tempur dari platform freelance. “Cari pengalaman militer? Bergabunglah dengan kami! Tidak perlu pengalaman, kami berikan pelatihan kilat.”

Namun, ada sesuatu yang menggelitik. Jika negara sekuat Israel harus mencari tentara dari luar negeri, apa yang sebenarnya terjadi di dalam? Apakah ini karena warganya tak lagi ingin bergabung dengan militer? Atau ini hanya cara lain untuk memperpanjang perang tanpa menggali lebih dalam dari sumber daya lokal? Situasi ini tampak seperti rumah tangga yang kehabisan tenaga kerja dan mulai mencari bantuan dari tetangga.

Dalam narasi diaspora ini, ada rasa ironi yang lebih besar. Aliyah selama ini dimaknai sebagai langkah untuk membangun kehidupan baru di Israel. Tapi kenyataannya, bagi banyak imigran ini, aliyah berarti hidup di bawah bayang-bayang konflik, berlatih senjata, dan menempatkan diri mereka dalam bahaya. Dari Broadway ke Gaza, mimpi mereka berubah menjadi pengalaman perang langsung.

Efektivitas strategi ini pun patut dipertanyakan. Meskipun imigran ini mungkin mendapat pelatihan dasar, perang bukanlah tempat untuk belajar sambil berjalan. Kecepatan dan intensitas medan tempur tidak memberi ruang untuk kesalahan, apalagi bagi mereka yang baru memegang senjata. Dengan risiko yang begitu tinggi, strategi ini terlihat seperti tambal sulam alih-alih solusi jangka panjang.

Jika IDF berharap bahwa semangat diaspora akan cukup untuk memenangkan perang, mereka mungkin lupa bahwa konflik membutuhkan lebih dari sekadar jumlah kepala. Tanpa motivasi lokal dan dukungan moral dari masyarakatnya sendiri, strategi ini hanya memperpanjang konflik tanpa menyelesaikan akar masalah. Pada akhirnya, bahkan program aliyah paling menarik sekalipun tidak akan cukup untuk menggantikan stabilitas yang sebenarnya.

Kita bisa melihat ini sebagai upaya Israel untuk mengisi kekosongan, tetapi juga sebagai pengakuan tidak langsung atas krisis internal mereka. Dan ironisnya, situasi ini lebih mirip apa yang mereka kritik dari ISIS: meminta bantuan dunia untuk melanjutkan peperangan. Sebuah perbandingan yang tidak ingin diakui Israel, tetapi cukup nyata jika dilihat lebih dekat.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *