Connect with us

Opini

Pariwisata Eropa: Industri yang Melukai Warganya Sendiri

Published

on

Pistol air kembali beraksi di jalanan Barcelona pada hari Minggu itu. Semprotan air diarahkan ke turis yang lalu-lalang di Golden Mile, sebuah kawasan elit yang dikelilingi butik mewah dan hotel bintang lima. Di tengah kerumunan, ribuan warga berbaris mengibarkan spanduk bertuliskan “Tourists go home” dan “Tourism is stealing from us.” Kemarahan mereka meledak dalam bentuk air, asap kembang api, dan pekikan suara. Di balik kemeriahan protes ini, tersembunyi kegelisahan mendalam: pariwisata, yang dulu dianggap sebagai berkah ekonomi, kini terasa seperti kutukan sosial.

Barcelona bukan satu-satunya. Di Genoa, warga menyeret koper kosong di jalan sempit, menciptakan “jalan-jalan bising” sebagai bentuk protes terhadap kepadatan. Di Lisbon, patung santo pelindung diarak ke lokasi calon hotel bintang lima sebagai simbol penolakan. Di Majorca, bus turis dihentikan, ditempeli spanduk, dan disinari suar. Ini bukan sekadar kemarahan yang meledak sesaat—melainkan jeritan kolektif dari warga Eropa Selatan yang merasa perlahan kehilangan kota dan identitas mereka sendiri.

Barcelona, sebagai pusat gelombang protes ini, menyimpan potret paling nyata dari ketegangan tersebut. Kota ini menyambut 15 juta turis setiap tahun—jumlah yang hampir sepuluh kali lipat dari populasi lokal. Bayangkan, sebuah kota yang semestinya menjadi rumah justru terasa seperti taman bermain bagi orang asing. Harga sewa melonjak hampir 70% dalam beberapa tahun terakhir, memaksa warga seperti Pepi Viu, seorang pensiunan berusia 80 tahun, pindah ke hostel karena tak mampu lagi membayar sewa. Joan Alvarez, yang telah tinggal selama 25 tahun di kawasan Gotik, menyaksikan tetangga lamanya digantikan oleh kamar-kamar sewa jangka pendek. “Ini bukan soal uang, ini soal prinsip,” katanya, sambil menunjuk ke arah teras kecilnya yang menghadap katedral.

Statistik memperkuat cerita ini. Eurostat mencatat bahwa harga properti di Spanyol naik 47,7% antara 2015 hingga 2023, sementara di Portugal lonjakan bahkan mencapai 105,8%. Meskipun pariwisata menyumbang €80 miliar bagi ekonomi Spanyol pada tahun 2023, kesejahteraan yang dihasilkan tampaknya tidak terdistribusi secara merata.

Dampaknya tidak hanya terasa dalam hal tempat tinggal. Joan Mas, seorang pelayan berusia 31 tahun, mengungkapkan rasa frustasinya karena merasa terpinggirkan di kotanya sendiri. “Mereka punya uang lebih banyak, datang untuk pesta, menyewa tempat yang kami bahkan tak bisa sewa dengan gaji kami,” katanya. Ini bukan sekadar rasa iri, ini adalah realitas struktural. Gaji lokal tak mampu mengejar harga kebutuhan sehari-hari yang telah disesuaikan dengan kantong turis. Elena, seorang biologis laut muda, menambahkan bahwa generasi muda Barcelona bahkan kesulitan membeli secangkir kopi di kota mereka sendiri.

Lisbon mengalami tekanan yang serupa. Tuk-tuk wisata mendominasi jalan sempit, mengganggu aktivitas warga. Di Majorca, kapal pesiar raksasa dituding mencemari laut dan udara. Data dari UN Tourism mencatat lonjakan luar biasa: kunjungan internasional ke Eropa meningkat dari 416 juta pada 2005 menjadi 747 juta pada 2024. Penerbangan murah, promosi digital, dan kemudahan visa menjadi pendorong utama. Namun, pertumbuhan ini membawa tekanan besar yang tak lagi bisa ditampung oleh kota-kota kecil dan rentan.

Fenomena di Eropa ini menjadi alarm keras bagi kawasan lain di dunia yang sangat bergantung pada industri pariwisata—termasuk Indonesia. Bali, sebagai destinasi wisata unggulan global, kini menghadapi tekanan yang semakin nyata. Pulau ini menerima sekitar 7 juta turis setiap tahun, hampir dua kali lipat dari jumlah penduduknya yang hanya 4,3 juta. Dampaknya tak lagi hanya terasa di pusat wisata seperti Kuta atau Ubud, tetapi mulai menjalar hingga ke desa-desa yang sebelumnya relatif tenang.

Harga tanah dan properti melonjak tajam. Di kawasan seperti Canggu atau Ubud, harga lahan bisa mencapai Rp1-2 miliar per are—angka yang tak terjangkau oleh warga lokal yang mayoritas menggantungkan hidup dari pertanian atau pekerjaan informal. Fenomena ini memicu pergeseran struktural dalam masyarakat Bali. Banyak warga tergoda menjual tanah warisan leluhur demi keuntungan cepat. Ironisnya, generasi muda Bali yang ingin membangun kehidupan di tanah kelahiran mereka justru makin sulit memiliki lahan karena daya beli mereka tak mampu menyaingi investor luar atau spekulan properti.

Universitas Udayana mencatat hilangnya sekitar 1.000 hektare sawah setiap tahun di Bali selatan akibat pembangunan vila dan infrastruktur wisata. Lebih parah lagi, krisis air bersih makin mengkhawatirkan, terutama di kawasan Badung dan Gianyar, di mana hotel dan vila menyedot sumber daya air secara masif. Dalam jangka panjang, bukan hanya ekosistem yang terancam, tapi juga fondasi sosial dan budaya masyarakat Bali.

Apa yang salah? Apakah ini kegagalan pemerintah? Di Barcelona, kebijakan larangan sewa jangka pendek baru akan diberlakukan pada 2028—terlambat bagi banyak warga yang sudah terpaksa pindah. Di Bali, pemerintah memulai kebijakan retribusi wisatawan mancanegara sebesar Rp150.000 per orang pada 2024. Namun, langkah ini masih terlalu awal dan belum menyentuh akar persoalan: belum ada batasan kuantitatif terhadap pembangunan vila atau jumlah turis yang masuk. Pemerintah daerah pun sering kali berada dalam dilema antara menjaga daya tarik wisata dan melindungi ruang hidup warganya.

Ketergantungan ekonomi menjadi hambatan utama. Pariwisata menyumbang sekitar 60–80% perekonomian Bali—mirip dengan kontribusi sektor ini terhadap 15% PDB nasional Spanyol. Menahan arus wisatawan bisa dianggap mengancam stabilitas ekonomi, namun membiarkan pertumbuhannya tanpa kendali justru membahayakan masa depan. Sandra Carvão dari UN Tourism menyarankan agar kota-kota wisata mengembangkan diversifikasi destinasi dan musim kunjungan, seperti yang dilakukan Amsterdam dengan melarang pembangunan hotel baru, atau Dubrovnik yang membatasi kunjungan kapal pesiar.

Bali memiliki potensi yang sama. Destinasi seperti Nusa Penida, Jembrana, atau Buleleng bisa dikembangkan untuk meredakan tekanan di wilayah selatan. Namun, diperlukan visi jangka panjang dan dukungan infrastruktur yang merata. Selain itu, pendekatan berbasis komunitas perlu diperkuat. Sistem banjar di Bali menjadi contoh unik: beberapa desa adat telah mulai membatasi pembangunan vila atau menetapkan aturan adat tentang perilaku turis. Ini adalah kearifan lokal yang bisa menjadi inspirasi global, tetapi tetap membutuhkan penguatan regulasi dan perlindungan dari intervensi spekulan.

Namun, beban perubahan tak hanya harus dipikul oleh pemerintah. Industri pariwisata global—dari Airbnb hingga operator tur—sering kali mengutamakan keuntungan jangka pendek. Di Barcelona, Jesus Pereda, seorang pemilik apartemen wisata, mengeluh bahwa larangan sewa jangka pendek akan memaksanya menjual propertinya, karena harga sewa jangka panjang sudah diatur. Di Bali, investor dari Jakarta dan luar negeri mendominasi pembangunan properti, sementara warga lokal hanya menjadi pekerja rendahan dalam sistem yang tidak inklusif.

Turis pun tak bisa lepas dari tanggung jawab. Banyak yang tak sadar bahwa memilih menginap di Airbnb bisa memperparah krisis perumahan, atau bahwa swafoto di tempat suci bisa dianggap tidak sopan. Namun, apakah salah jika mereka hanya ingin menikmati liburan?

Pertanyaannya kini adalah: bagaimana kita menyeimbangkan manfaat dan kerugian dari pariwisata? Protes dengan pistol air atau aksi teatrikal di jalan bisa memang menarik perhatian, tapi juga rentan disalahartikan sebagai tindakan kebencian. Di Barcelona, teriakan “You’re all guiris!” bisa dengan mudah dibaca sebagai xenofobia, padahal yang diinginkan warga hanyalah keadilan. Seorang demonstran, Marina, menegaskan, “Kami tidak menolak turis, kami ingin pariwisata yang wajar.”

Itu pula yang menjadi keresahan di Bali. Pariwisata seharusnya menjadi jalan menuju kesejahteraan bersama, bukan menciptakan keterasingan di tanah sendiri. Tanpa koreksi serius, potensi konflik sosial akan terus membayangi. Data UN Tourism menunjukkan bahwa 42% wisatawan internasional hanya terkonsentrasi di 10 negara, termasuk Spanyol dan Prancis. Ketimpangan ini membebani kota-kota utama yang menanggung dampak langsung dari overtourism.

Indonesia punya waktu untuk belajar dari kegelisahan yang meledak di Eropa. Jika tidak ada perubahan, maka pistol air di Barcelona atau spanduk protes di Majorca bisa saja menjadi cerminan masa depan Bali.

Saya teringat satu spanduk yang dibentangkan di Barcelona: “Your Airbnb used to be my home.” Kalimat yang tampak sederhana itu menyimpan duka yang dalam. Di Bali, sawah yang kini berubah jadi vila mewah bisa jadi dulunya adalah warisan keluarga petani. Pariwisata seharusnya menyatukan, bukan memisahkan. Pemerintah, pelaku industri, dan turis harus bekerja bersama—mengatur kapasitas, melindungi budaya, mendistribusikan manfaat. Jika tidak, kita bukan hanya akan kehilangan rumah, tapi juga kehilangan jati diri.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *