Opini
Paradoks Tawanan Israel, Hampir Dibunuh Israel, Diselamatkan Hamas

Sebuah terowongan yang runtuh, dikelilingi kegelapan dan debu tebal, menjadi saksi bisu dari sebuah ironi yang tragis. Di antara puing-puing, suara langkah terburu-buru dan teriakan dalam bahasa Arab dan Ibrani saling bersahut. “Di sini mereka! Di sini mereka!” seru seorang pejuang Al-Qassam Brigades, sayap militer Hamas, sambil berusaha menyingkirkan reruntuhan. Di bawah tumpukan itu, seorang sandera Israel, terluka parah, berbisik lemah, “Tubuh saya sakit. Saya kesulitan bernapas.” Video yang dirilis oleh Hamas ini bukan sekadar propaganda perang, melainkan cerminan dari sebuah paradoks yang mencengangkan: tawanan Israel diselamatkan oleh Hamas, namun nyaris tewas di tangan Israel sendiri.
Konflik Israel-Palestina telah lama menjadi panggung penuh kontradiksi, tetapi kejadian ini membawa kita pada sebuah realitas yang sulit dicerna. Video tersebut, yang diunggah oleh akun @SuppressedNws di X, menunjukkan upaya Hamas menyelamatkan sandera dari terowongan yang dibom oleh Israel beberapa hari sebelumnya. Dalam rekaman itu, pejuang Hamas tampak berusaha keras menggali puing untuk menyelamatkan nyawa sandera, seorang tawanan yang kemungkinan besar adalah personel militer, bukan warga sipil. Fakta bahwa banyak sandera di tangan Hamas adalah militer—seperti yang terjadi selama serangan 7 Oktober 2023, di mana lebih dari 250 orang diculik dari pangkalan militer dan kibbutz—membantah narasi global bahwa Hamas hanya menargetkan warga sipil tak berdosa.
⚡️BREAKING: Al-Qassam Brigades Publish footage of them rescuing an Israeli captive and giving medical treatment in a collapsed tunnel:
“An operation to rescue prisoners from a tunnel bombed by the occupation army several days ago..Details to follow”
Notes: In this video, the… pic.twitter.com/xkxOyl3Kma
— Suppressed News. (@SuppressedNws) April 26, 2025
Namun, ironisnya, bahaya terbesar bagi sandera ini bukan datang dari Hamas, melainkan dari Israel sendiri. Terowongan tempat sandera disimpan menjadi target serangan udara Israel, sebuah tindakan yang dengan sengaja atau sembrono membahayakan nyawa sandera. Hukum internasional, khususnya Konvensi Jenewa Ketiga, mengharuskan perlindungan terhadap tawanan perang, termasuk dari serangan yang dapat membahayakan mereka. Pasal 13 dengan tegas melarang tindakan kekerasan terhadap tawanan perang, sementara prinsip distingsi dan proporsionalitas dalam hukum kemanusiaan internasional menuntut Israel untuk membedakan antara kombatan dan non-kombatan, serta memastikan kerugian tidak melebihi keuntungan militer. Serangan ini jelas melanggar kedua prinsip tersebut, menunjukkan ketidakpedulian Israel terhadap nyawa sandera mereka sendiri.
Data dari berbagai sumber memperkuat argumen ini. Sebuah laporan dari AP News pada 2023 menyoroti bahwa Gaza, dengan jaringan terowongannya yang luas, menjadi tantangan besar bagi operasi penyelamatan sandera, terutama di tengah bombardir Israel yang masif. Namun, bukti menunjukkan bahwa Israel sering kali memprioritaskan tujuan militer di atas keselamatan sandera. Sebagai contoh, operasi di Nuseirat pada Juni 2024, menurut laporan yang sama, menewaskan ratusan warga sipil Palestina hanya untuk menyelamatkan beberapa sandera, menunjukkan pola serangan yang tidak proporsional. Lebih tragis lagi, tiga sandera Israel tewas akibat tembakan teman setelah melarikan diri dari penawanan, karena disangka sebagai pejuang musuh oleh pasukan IDF, sebagaimana dilaporkan dalam sebuah artikel di Wikipedia.
Pola ketidakpedulian ini bukan hal baru. Doktrin Hannibal, sebuah kebijakan tidak resmi Israel yang memungkinkan penggunaan kekuatan maksimal untuk mencegah penculikan—bahkan jika itu membahayakan nyawa sandera—pernah menjadi bagian dari strategi militer mereka. Meskipun secara resmi dihentikan pada 2016, pola pikir ini tampaknya masih memengaruhi pendekatan Israel. Komentar di X, seperti dari @9mmScorpion yang menyatakan, “Israel doesn’t want them back,” dan @OmzyB7 yang mengatakan, “Zionists don’t care about them anyways,” mencerminkan persepsi bahwa Israel lebih fokus pada tujuan militer dan politik—seperti menghancurkan Hamas—daripada menyelamatkan sandera. Prioritas ini tidak hanya membahayakan sandera, tetapi juga memperpanjang penderitaan rakyat Palestina.
Sementara itu, Hamas, meskipun tindakan mereka sering kali melanggar hukum internasional—seperti penculikan awal dan ancaman terhadap sandera—menunjukkan upaya untuk mematuhi beberapa aspek hukum kemanusiaan dalam kasus ini. Dengan menyelamatkan sandera dari reruntuhan dan memberikan perawatan medis, mereka memenuhi kewajiban untuk melindungi tawanan perang, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Konvensi Jenewa Ketiga. Namun, ini bukan berarti Hamas bebas dari kritik. Penculikan warga sipil, yang juga terjadi selama serangan 7 Oktober 2023, tetap melanggar hukum internasional, dan ancaman untuk mengeksekusi sandera sebagai respons terhadap serangan udara Israel adalah pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan.
Paradoks ini menjadi lebih mencolok ketika kita mempertimbangkan ketidakefektifan hukum internasional dalam konflik ini. Israel, dengan dukungan kuat dari Amerika Serikat, sering kali mengabaikan hukum internasional tanpa konsekuensi nyata. Sebuah laporan dari ReliefWeb mencatat bahwa serangan Israel terhadap fasilitas kesehatan di Gaza dianggap sebagai kejahatan perang oleh komisi PBB, namun tidak ada sanksi yang diberlakukan karena veto AS di Dewan Keamanan PBB. Sebaliknya, Hamas diminta untuk mematuhi hukum internasional, meskipun mereka berada dalam posisi yang sangat timpang, dengan kekuatan militer yang jauh lebih lemah dan tanpa dukungan geopolitik yang setara.
Dalam konteks ini, Hamas menggunakan video penyelamatan sandera sebagai alat strategis untuk menyoroti ketidakpedulian Israel. Dengan menunjukkan bahwa mereka berusaha melindungi sandera sementara Israel justru membahayakan nyawa mereka, Hamas berupaya membangun narasi bahwa mereka lebih manusiawi dibandingkan Israel. Narasi ini memiliki dampak yang signifikan, terutama di kalangan masyarakat global yang kritis terhadap tindakan Israel. Namun, narasi ini juga memperpanjang siklus kekerasan: ketidakpedulian Israel mendorong Hamas untuk terus menggunakan taktik seperti penculikan sandera, yang memicu serangan Israel yang lebih agresif, yang pada akhirnya menewaskan lebih banyak warga sipil Palestina.
Laporan lain dari The New York Times pada 2025 menunjukkan bahwa ratusan reservis Angkatan Udara Israel menyerukan penghentian perang di Gaza, menuduh pemerintah mereka membahayakan sandera yang ditawan oleh Hamas. Ini menunjukkan bahwa tekanan internal di Israel mulai muncul, terutama dari masyarakat yang menginginkan kesepakatan sandera daripada operasi militer. Namun, pemerintah Israel, di bawah tekanan politik dari sayap kanan, tampaknya lebih memilih untuk melanjutkan serangan, bahkan jika itu berarti mengorbankan nyawa sandera mereka sendiri. Ironisnya, sikap ini justru memperkuat posisi Hamas dalam negosiasi, karena mereka dapat memanfaatkan sandera sebagai leverage.
Paradoks ini adalah cerminan dari ketidakadilan sistemik dalam konflik Israel-Palestina. Israel, dengan kekuatan militer yang jauh lebih besar dan dukungan geopolitik, dapat melanggar hukum internasional tanpa konsekuensi, sementara Hamas, meskipun tindakan mereka bermasalah, sering kali terpaksa menggunakan taktik yang melanggar hukum untuk menciptakan tekanan. Hukum internasional, yang seharusnya menjadi kerangka kerja untuk keadilan, menjadi tidak relevan ketika satu pihak dapat bertindak tanpa akuntabilitas, sementara pihak lain diminta untuk mematuhinya dalam kondisi yang sangat timpang.
Mungkin solusi untuk memutus paradoks ini terletak pada mediasi yang lebih efektif oleh pihak ketiga, seperti Qatar atau Mesir, yang telah berhasil memfasilitasi pertukaran tahanan di masa lalu. Tekanan internasional yang lebih besar pada Israel, melalui gerakan masyarakat sipil global, juga dapat membantu meminta pertanggungjawaban mereka atas pelanggaran hukum internasional. Sementara itu, Hamas perlu fokus pada perlakuan manusiawi terhadap tawanan perang dan menghentikan penculikan warga sipil, untuk memperkuat legitimasi mereka di mata dunia. Namun, selama ketimpangan kekuatan dan kurangnya akuntabilitas internasional masih ada, paradoks tragis ini—di mana tawanan Israel diselamatkan oleh Hamas namun nyaris dibunuh oleh Israel—akan terus menjadi simbol dari konflik yang tak kunjung usai.