Opini
Paradoks Strategi Netanyahu

Pada 2 April 2025, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan rencana ambisius untuk menguasai koridor baru di Gaza selatan, yang disebut “Morag Axis,” guna memisahkan Rafah di perbatasan Mesir dari Khan Yunis di utara. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa militer Israel sedang “berpindah gigi” di Gaza, menciptakan “Philadelphi kedua”—mengacu pada koridor Gaza-Mesir yang sudah dikuasai Israel. Bersama koridor Netzarim di Gaza tengah, strategi ini akan memecah Gaza menjadi tiga bagian. Netanyahu menegaskan bahwa kontrol atas Philadelphi tetap prioritas, meskipun ia sempat setuju menarik pasukan dari sana dalam gencatan senjata dengan Hamas pada Januari 2025. Namun, pasukan Israel tak hanya bertahan, tetapi juga memperluas kehadiran mereka di koridor itu.
Eskalasi ini mencapai puncaknya pada 18 Maret 2025, ketika Israel secara sepihak mengakhiri gencatan senjata, meluncurkan serangan bom massal yang menewaskan hampir 500 orang dalam 24 jam. Netanyahu menyebut rencana Morag Axis sebagai bagian dari tekanan bertahap untuk memaksa Hamas menyerahkan sandera. “Kami memotong jalur Gaza, dan tekanan akan meningkat sampai mereka menyerahkan sandera kami,” katanya pada 2 April. Militer Israel bahkan berencana menduduki 25% wilayah Gaza dalam dua hingga tiga minggu ke depan, menurut Axios pada 31 Maret 2025. Langkah ini memaksa warga Palestina yang kembali ke rumah pasca-gencatan senjata mengungsi lagi.
Namun, di balik ambisi strategis ini terselip paradoks yang mencolok. Netanyahu mengklaim tekanan militer akan membebaskan sandera, tetapi eskalasi ini justru membahayakan nyawa mereka—bukan dari Hamas, melainkan dari serangan Israel sendiri. Pemboman massal, seperti yang terjadi pada 18-19 Maret, menunjukkan intensitas serangan yang sulit dikendalikan. Dengan Hamas kemungkinan menyembunyikan sandera di daerah padat penduduk atau terowongan bawah tanah, risiko serangan tak terarah mengenai lokasi penyekapan sangat tinggi. Tanpa intelijen presisi, bom atau operasi darat bisa secara tak sengaja membunuh sandera yang ingin diselamatkan.
Strategi memecah Gaza memperburuk risiko ini. Dengan mengisolasi Rafah, Khan Yunis, dan Gaza utara melalui koridor Morag dan Netzarim, Israel membatasi mobilitas penduduk dan Hamas, tetapi juga mempersulit pelacakan sandera. Pada 31 Maret, Axios melaporkan bahwa operasi darat akan diperluas, menargetkan seperempat wilayah Gaza hingga pertengahan April 2025. Jika sandera tersebar di zona-zona pertempuran ini, operasi militer skala besar—seperti yang membunuh 500 orang dalam sehari—bisa menjadi bencana. Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan lebih dari 41.000 warga tewas sejak Oktober 2023, menurut laporan Al Jazeera pada 1 April 2025, menggarisbawahi dampak mematikan serangan Israel.
Netanyahu tampaknya bertaruh bahwa tekanan maksimum akan memaksa Hamas menyerah. “Semakin lama mereka menolak, semakin besar tekanan yang akan kami berikan,” katanya. Namun, pendekatan ini mengabaikan kemungkinan bahwa Hamas, jika terpojok, bisa membahayakan sandera sebagai respons putus asa. Meski begitu, ancaman utama bagi sandera tampaknya bukan dari Hamas, melainkan dari strategi Israel sendiri. Sebuah laporan Haaretz pada 3 April 2025 mencatat bahwa intelijen Israel sering kali kekurangan data real-time tentang lokasi sandera, meningkatkan risiko “kecelakaan tragis” dalam operasi militer.
Lebih jauh, rencana ini memiliki dimensi yang lebih gelap. Sebuah dokumen bocor dari Kementerian Intelijen Israel, diterbitkan pada 13 Oktober 2023 dan dilaporkan oleh +972 Magazine, merekomendasikan pengusiran total 2,3 juta warga Gaza ke Semenanjung Sinai, Mesir. Dokumen itu menyarankan kampanye untuk “memotivasi” warga Gaza agar menyerahkan tanah mereka, dengan narasi bahwa “Allah memastikan kalian kehilangan tanah ini karena Hamas.” Rencana ini juga menekankan promosi ke negara-negara Barat bahwa pengusiran adalah “langkah kemanusiaan” untuk mengurangi korban sipil dibandingkan membiarkan mereka tinggal di zona perang. Namun, realitasnya bertolak belakang: pemboman dan pendudukan justru meningkatkan korban.
Konteks historis memperkuat kecurigaan terhadap motif Netanyahu. Morag dan Netzarim adalah nama bekas pemukiman Israel di Gaza sebelum penarikan pada 2005. Penggunaan nama-nama ini menimbulkan spekulasi bahwa Israel ingin kembali mendirikan kehadiran permanen di Gaza, sejalan dengan aspirasi sayap kanan seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, yang pada 2024 menyerukan pemukiman ulang, menurut Times of Israel. Pendudukan 25% wilayah Gaza, seperti dilaporkan Axios, bisa menjadi langkah menuju aneksasi de facto, dengan sandera sebagai dalih politik untuk membenarkan eskalasi.
Paradoks strategi Netanyahu terletak pada kontradiksi tujuannya. Jika prioritasnya adalah membebaskan sandera, mengapa memilih pendekatan yang membahayakan mereka? Serangan bom massal dan pemecahan wilayah lebih cocok untuk melemahkan Hamas atau mengusir penduduk ketimbang menyelamatkan nyawa. Data dari UN OCHA pada 2 April 2025 menunjukkan 1,9 juta warga Gaza telah mengungsi sejak Oktober 2023, dan pendudukan baru ini memaksa lebih banyak lagi meninggalkan rumah. Kondisi kemanusiaan yang memburuk—kurangnya makanan, air, dan obat—juga mengancam sandera, yang mungkin terperangkap di zona konflik tanpa akses bantuan.
Kritik terhadap strategi ini bukan hanya soal risiko sandera, tetapi juga implikasi hukum dan moralnya. Pengusiran massal, seperti yang direkomendasikan dokumen 2023, melanggar Konvensi Jenewa IV, yang melarang pemindahan paksa penduduk sipil di wilayah pendudukan. Human Rights Watch pada 1 April 2025 memperingatkan bahwa pendudukan dan pemboman terbaru bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Namun, Netanyahu tampaknya mengandalkan dukungan Barat, terutama AS, yang menurut Reuters pada 3 April 2025 masih menyetujui bantuan militer senilai miliaran dolar meskipun ada kritik internasional.
Alternatif yang lebih masuk akal—negosiasi intensif dengan mediasi pihak ketiga seperti Qatar atau Mesir—tampaknya diabaikan demi pendekatan militer. Gencatan senjata Januari 2025 membuktikan bahwa diplomasi bisa berhasil, namun Netanyahu memilih mengakhirinya. Haaretz melaporkan pada 3 April bahwa beberapa pejabat militer Israel sendiri meragukan efektivitas strategi ini, menyebutnya “pertaruhan berisiko tinggi” yang bisa mengorbankan sandera demi keuntungan politik Netanyahu, yang menghadapi tekanan domestik akibat kasus korupsi dan protes publik.
Dampak jangka panjang dari strategi ini juga mengkhawatirkan. Jika Gaza terpecah dan penduduknya diusir, prospek solusi dua negara akan semakin jauh. Laporan The Guardian pada 4 April 2025 mencatat bahwa komunitas internasional, termasuk PBB, menyerukan penghentian eskalasi, tetapi tanpa tekanan nyata dari sekutu Israel, seruan itu sia-sia. Sementara itu, warga Gaza dan sandera menjadi korban dari paradoks ini: sebuah strategi yang mengatasnamakan penyelamatan justru membawa kehancuran.
Pada akhirnya, strategi Netanyahu adalah cerminan ambisi politik yang terjebak dalam kontradiksi. Memecah Gaza dan meningkatkan tekanan mungkin melemahkan Hamas, tetapi juga membahayakan sandera yang menjadi alasan utama operasi ini. Dengan data korban yang terus bertambah—41.000 tewas menurut Al Jazeera—dan risiko “kecelakaan tragis” yang diakui Haaretz, pertanyaan mendasar muncul: apakah tujuan mulia ini sepadan dengan harga yang dibayar, baik oleh sandera maupun warga Gaza? Jawabannya, bagi banyak pihak, adalah tidak.