Connect with us

Opini

Panik Bergaya ala Inggris: Teh, Senter, dan Sup Kaleng

Published

on

Langit London belum mendung, belum pula ada dentuman. Tapi ada sesuatu yang tak biasa menyelimuti ibu kota Inggris itu. Bukan karena cuaca, bukan karena ratu wafat lagi, melainkan karena warga mulai memborong sup kaleng, tisu basah, lilin, baterai, hingga senter dalam jumlah yang mencurigakan. Bukan Black Friday, bukan juga bencana yang sudah terjadi—ini adalah bentuk kesiapsiagaan baru yang disarankan langsung oleh negara.

Pemerintah Inggris, dengan bahasa yang tenang dan nada tanpa nada tinggi, mengimbau warganya agar mulai bersiap diri untuk skenario “apa pun bisa terjadi.” Tak tanggung-tanggung, ada panduan resmi tentang apa saja yang mesti disiapkan di rumah: makanan untuk tiga hari, air minum, senter, powerbank, korek api, bahkan peluit.

Tapi, tentu saja, ini semua dilakukan dengan gaya khas Inggris: tetap minum teh, tetap sopan, dan tetap menjaga antrean saat memborong barang survival. Tak ada panik yang terlihat di wajah, hanya gerakan diam-diam yang serempak, seperti koreografi senyap menuju ketakutan kolektif yang baru.

Bertahan Hidup ala Bangsawan

Inggris memang bukan negara yang asing dengan krisis. Dari serangan udara Perang Dunia II hingga pemadaman massal tahun 70-an, mereka pernah menghadapinya. Tapi suasana saat ini berbeda: bukan karena ada yang sudah meledak, melainkan karena ada yang dikhawatirkan akan meledak.

Lewat kampanye “Prepare“, pemerintah mulai menyosialisasikan pentingnya kemandirian dalam keadaan darurat. Bukan hanya menimbun makanan dan air, tapi juga belajar bagaimana hidup tanpa listrik, tanpa internet, tanpa layanan publik dasar. Dalam beberapa media lokal, warga bahkan mulai belajar membuat “pemanas darurat” dari lilin dan pot tanah liat, dan menyiapkan radio dengan baterai cadangan seperti tahun 1940-an. Bedanya, kini mereka tetap punya Spotify di saku.

Kampanye ini menyasar publik luas—terutama mereka yang terbiasa berpikir bahwa negara akan selalu ada untuk menyelamatkan mereka. Namun, situasinya berubah. Dalam dunia yang makin tidak pasti—dengan ketegangan geopolitik, ancaman siber, dan cuaca ekstrem—pemerintah ingin setiap individu bisa menjadi semacam prepper, meski tetap mengenakan jas tweed dan sepatu pantofel.

Pihak berwenang memang belum menyebut Rusia atau Iran secara langsung. Tapi konteksnya tak bisa diabaikan. Dalam beberapa bulan terakhir, berbagai lembaga keamanan dan militer di Eropa, termasuk NATO, meningkatkan kesiapsiagaan mereka. Inggris, sebagai salah satu kekuatan utama Eropa, merasa perlu membawa warganya turut serta dalam gelombang kesiapan ini. Walaupun dalam versi yang lebih “berkelas”.

Jerman: Kepanikan Diajarkan Sejak Sekolah

Sementara Inggris sibuk mengedukasi publiknya lewat kampanye nasional, Jerman mengambil langkah yang bahkan lebih sistematis—dan, tentu saja, lebih khas Jerman. Kementerian Dalam Negeri Federal mengusulkan agar pelajaran pertahanan sipil dimasukkan dalam kurikulum sekolah.

Menurut laporan Handelsblatt dan kantor berita Anadolu, pemerintah federal telah memberi tahu negara bagian—yang mengatur kurikulum pendidikan—bahwa mereka siap mengirimkan tenaga ahli dan materi ajar untuk program kesiapsiagaan nasional ini.

“Melihat perubahan situasi keamanan akhir-akhir ini, kita harus memberi perhatian lebih besar pada pertahanan sipil, terutama di bidang pendidikan,” kata juru bicara kementerian.

Artinya, anak-anak di Jerman tak hanya belajar matematika dan sejarah, tapi juga skenario evakuasi, menyusun tas darurat, mengenali suara sirene, dan bahkan mengenali pola komunikasi saat sistem informasi lumpuh. Ini bukan semata-mata paranoia, tapi kebijakan negara yang serius mengantisipasi skenario krisis—baik bencana alam, perang, hingga serangan siber.

Roderich Kiesewetter, seorang anggota parlemen senior dari kubu konservatif, menekankan pentingnya pelatihan sejak dini. “Anak-anak adalah kelompok paling rentan, dan karena itu mereka perlu tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi darurat,” katanya.

Langkah ini juga selaras dengan anjuran Uni Eropa agar warga mulai menyimpan pasokan darurat setidaknya untuk tiga hari: air, makanan, obat-obatan, hingga kebutuhan bayi dan lansia. Dan semuanya dilakukan sambil memantau bayang-bayang ancaman dari timur. Jenderal tertinggi Jerman bahkan mengingatkan bahwa Rusia mungkin mampu menyerang negara NATO dalam empat hingga tujuh tahun ke depan.

Maka jangan heran jika suatu hari nanti buku pelajaran anak-anak Jerman menyisipkan bab baru berjudul: “Strategi Bertahan Hidup Ketika Sistem Sosial Lumpuh Total.”

Ketakutan sebagai Wacana Resmi

Yang menarik dari situasi ini adalah bagaimana negara-negara besar di Eropa mulai menjadikan ketakutan sebagai bagian dari kebijakan publik yang sah. Bukan lagi wacana pinggiran para konspirator survivalist, tapi bagian dari instrumen pemerintahan modern.

Kita sedang menyaksikan pergeseran paradigma besar. Dari negara sebagai penyelamat utama dalam keadaan darurat menjadi negara sebagai koordinator kesiapsiagaan rakyatnya. Dari sistem bantuan terpusat ke semacam “gotong royong survival”—di mana setiap rumah tangga diminta bertanggung jawab atas keselamatannya sendiri.

Ini adalah versi demokrasi yang baru: demokrasi survival. Negara tidak benar-benar mundur, tapi juga tidak menjanjikan segalanya. Ia hanya memberi daftar periksa, memberi pelatihan dasar, dan berharap rakyat bisa bertahan jika listrik padam selama seminggu, jika makanan tak kunjung datang, atau jika jaringan komunikasi tumbang.

Ketakutan, dalam kerangka ini, bukan lagi aib. Ia dijadikan alat untuk membangun kesiapan. Untuk menyiapkan mental publik agar tidak lagi bergantung mutlak pada sistem. Dan itu bisa dibaca sebagai tanda bahwa negara-negara ini sebenarnya sedang bersiap menghadapi krisis yang jauh lebih besar dari sekadar badai atau pemadaman: mungkin konflik global, atau sistem dunia yang retak di banyak titik.

Dan semua ini dilakukan dengan sangat terstruktur. Di Inggris, dengan sentuhan sopan dan elegan. Di Jerman, lewat kurikulum dan pelatihan sejak sekolah dasar.

Sementara itu, dunia berkembang menyaksikan ini dengan beragam respons—dari menertawakan kegugupan negara maju, hingga mulai menyadari bahwa ketidaksiapan bisa jauh lebih mahal dari kepanikan.

 

*Sumber:

https://www.aa.com.tr/en/europe/germany-considers-school-lessons-to-prepare-students-for-crisis-and-war-situations/3530651

https://www.rt.com/news/615333-brits-prepare-survival-kits-russia-threat/

https://english.almayadeen.net/news/politics/eu-urges-households-to-prepare-3-day-survival-kits-amid-risi

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *