Connect with us

Opini

Panggung Politik Suriah: Dialog Hampa, Pembantaian Nyata

Published

on

Ahmad al-Sharaa, pemimpin transisi Suriah, tampaknya benar-benar seorang maestro pertunjukan politik. Dengan senyum diplomatisnya, dia menggelar pertemuan demi pertemuan dengan kelompok minoritas. Hari ini dengan komunitas Syiah, besok dengan pemuka Kristen, lusa mungkin dengan etnis Kurdi. Dialog, foto bersama, janji-janji manis tentang persatuan dan keadilan. Semua ini terdengar begitu mulia, begitu penuh harapan. Tapi ada satu masalah kecil—darah masih mengalir di jalanan, dan tubuh-tubuh korban masih hangat.

Di tengah laporan tentang pembantaian komunitas Alawi yang dituduh sebagai Syiah, al-Sharaa mengundang 16 perwakilan Syiah ke kantornya. Sumber mengatakan pembicaraan itu “positif dan konstruktif.” Ah, tentu saja! Positif bagi citra pemerintah, konstruktif bagi narasi stabilitas semu yang ingin dijual ke dunia internasional. “Kita harus memperlakukan semua warga Suriah secara setara,” katanya dengan penuh keyakinan. Pernyataan yang luar biasa indah—jika saja tak terbenam dalam realitas yang berlumuran darah.

Apa artinya kesetaraan jika rumah-rumah mereka masih dibakar? Apa artinya keadilan jika ribuan orang harus menyeberangi perbatasan dengan tubuh lelah dan hati hancur? Ketika pembantaian berlangsung, ketika anak-anak menangis dalam pelukan ibu yang tak lagi bernyawa, apakah kata-kata al-Sharaa akan menyembuhkan luka-luka mereka? Ataukah ini hanya bagian dari upaya teatrikal untuk menunjukkan bahwa pemerintah yang baru ini lebih baik dari yang lama, meski jejak darah masih sama pekatnya?

Tapi tunggu dulu, tak hanya Syiah yang mendapat kehormatan bertemu sang pemimpin agung. Komunitas Kristen juga pernah diajak berbicara. Gereja-gereja mereka dihancurkan, para jemaat mereka diburu, namun tetap saja mereka diajak berbincang dalam ruangan berpendingin ruangan, dengan segelas teh dan beberapa wartawan di sekitar. Foto-foto pertemuan pun dirilis, sebagai bukti bahwa pemerintah “peduli.” Namun, ironisnya, pertemuan-pertemuan ini tak menghentikan api kebencian yang terus berkobar. Setelah pertemuan, pengrusakan terhadap tempat ibadah masih terjadi, umat Kristen tetap merasa tak aman, dan minoritas lainnya tetap diburu seperti hewan buruan.

Sementara itu, di luar ruang-ruang diplomasi yang sejuk, kenyataan tak berubah. 21.000 orang melarikan diri dari kekerasan sektarian bulan ini saja, mencari perlindungan di Lebanon. 1.500 orang—sebagian besar Alawit—dibantai dalam serangan yang disebut sebagai “eksekusi lapangan.” Ribuan lainnya menjadi pengungsi, kehilangan rumah, tanah, dan identitas. Ini bukan sekadar angka-angka statistik. Ini adalah nyawa manusia yang diperdagangkan dalam permainan politik.

Tapi mari kita berikan kredit di mana itu pantas. Pemerintah Suriah memang punya strategi yang luar biasa. Mereka tahu betul bagaimana caranya membangun citra tanpa benar-benar melakukan perubahan nyata. Mereka mengerti bahwa dunia internasional lebih peduli pada narasi stabilitas ketimbang keadilan. Mereka memahami bahwa selama mereka bisa menunjukkan upaya “rekonsiliasi” dalam bentuk pertemuan seremonial, maka mereka bisa tetap mengabaikan kenyataan bahwa minoritas di negara itu tetap diburu dan dibantai.

Menariknya, ini bukan sekadar permainan lokal. Prancis pun ikut-ikutan dalam orkestrasi ini. Menteri Luar Negeri Prancis menyerukan “transisi politik inklusif”—sebuah ungkapan diplomatis yang sebenarnya berarti “biarkan rezim baru ini tetap berkuasa asal mereka bisa menjanjikan stabilitas.” Apa yang sebenarnya diharapkan dari rezim baru yang dipimpin oleh al-Sharaa, sosok yang muncul dari rahim kelompok ekstrimis? Apakah mereka akan benar-benar melindungi minoritas, atau sekadar menggantikan tirani lama dengan yang baru?

Dan jangan lupakan peran Amerika Serikat. Dalam laporan intelijen tahunannya, AS dengan sangat hati-hati mencatat bahwa kekerasan di Suriah berasal dari kedua belah pihak—pemerintah dan kelompok bersenjata. Sebuah upaya cerdik untuk mencuci tangan dari fakta bahwa intervensi mereka selama ini telah membantu menciptakan kekacauan yang kini mereka keluhkan. Mereka berbicara tentang ancaman ISIS dan ekstremisme, padahal mereka sendiri yang telah membuka jalan bagi kelompok-kelompok itu untuk berkembang biak di tengah reruntuhan Suriah.

Al-Sharaa bahkan mengundang pemimpin pasukan Kurdi untuk berbincang. Ia menyatakan bahwa semua kelompok bersenjata harus berada di bawah kendali negara. Pernyataan yang terdengar masuk akal—jika saja negara yang dia pimpin bukanlah produk dari kekerasan dan intrik sektarian. Sebelum ini, pasukan Kurdi adalah sekutu utama dalam melawan ISIS. Tapi sekarang, mereka dipaksa memilih antara tunduk pada pemerintah baru atau dihancurkan oleh Turki, yang sejak lama membenci kehadiran mereka.

Di sini kita melihat pola yang sangat jelas: pemerintah Suriah terus memainkan pertunjukan “persatuan nasional” sembari membiarkan darah mengalir di jalanan. Mereka menjanjikan rekonsiliasi, tetapi tidak ada mekanisme nyata untuk menghukum para pelaku pembantaian. Mereka berbicara tentang keadilan, tetapi tidak ada upaya konkret untuk melindungi minoritas. Satu-satunya hal yang benar-benar mereka lakukan adalah memastikan bahwa citra mereka tetap bersih di mata dunia, sementara rakyatnya tetap hidup dalam ketakutan.

Jadi, apa yang kita pelajari dari semua ini? Bahwa di dunia politik, nyawa manusia hanyalah alat tawar-menawar. Bahwa kata-kata seperti “kesetaraan” dan “persatuan” sering kali tidak lebih dari hiasan dalam pidato kosong. Bahwa minoritas di Suriah, apakah mereka Syiah, Kristen, atau Kurdi, tidak lebih dari pion dalam permainan yang lebih besar. Mereka bukanlah warga negara yang harus dilindungi, tetapi sekadar bagian dari kalkulasi politik.

Kita bisa saja terus berpura-pura bahwa al-Sharaa adalah seorang pemimpin yang tulus, bahwa dia benar-benar ingin membawa perubahan bagi Suriah. Tapi kenyataannya adalah, selama tidak ada langkah nyata untuk menghentikan kekerasan dan membawa pelaku ke pengadilan, maka semua janji manisnya hanyalah bualan. Dan sementara dunia terus sibuk dengan retorika diplomatis, rakyat Suriah tetap berjuang untuk sesuatu yang seharusnya menjadi hak dasar mereka—hak untuk hidup tanpa rasa takut.

Sumber:

https://english.almayadeen.net/news/politics/al-sharaa-hosts-shiite-representatives-in-syria

https://english.almayadeen.net/news/politics/21k–flee-syria-violence–lebanese-delegation-damascus-visit

https://www.france24.com/en/live-news/20241231-syria-s-de-facto-leader-meets-minority-christians

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *