Connect with us

Opini

Panggung Kemanusiaan di Gaza: Sandiwara Berdarah AS-Israel

Published

on

Pada tanggal 1 Agustus, seorang jurnalis Gaza menggambarkan kunjungan utusan khusus Amerika Serikat, Steve Witkoff, ke lokasi distribusi bantuan di Rafah sebagai “pertunjukan konyol”—sebuah ironi pahit yang barangkali hanya bisa dipahami oleh mereka yang sehari-hari hidup dalam ancaman bom, lapar, dan janji kemanusiaan yang tak pernah benar-benar datang. Di tempat yang sama, sebelumnya, ratusan warga Palestina tewas saat sedang mengantre bantuan. Tapi hari itu, panggung dibersihkan dari darah, para penembak jitu ditarik mundur, dan aktor-aktor terpilih dikerahkan untuk tampil rapi demi tontonan global.

Ada sesuatu yang begitu menjengkelkan dari kesungguhan orang-orang yang datang jauh-jauh ke tempat krisis, hanya untuk melihat versi rekayasa dari bencana yang sedang mereka biarkan. Sungguh, bahkan sandiwara di sinetron Indonesia tampak lebih jujur dibanding atraksi kemanusiaan bergaya Hollywood ini. GHF—singkatan dari Gaza Humanitarian Foundation—mengklaim memberi satu juta porsi makanan setiap hari. Tapi, sayangnya, ribuan warga Gaza yang telah mati kelaparan tidak bisa mengonfirmasi klaim tersebut. Mereka terlalu sibuk terkubur dalam tanah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Witkoff, bersama Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, berfoto, tersenyum, berbicara dengan warga “lokal”—yang ternyata bukan warga biasa, melainkan anggota dari kelompok yang disebut milisi Abu Shabab. Milisi ini dituding beroperasi di bawah bayang-bayang perlindungan Israel, dengan tugas utama: mengamankan citra penjajahan dan memastikan tidak ada narasi alternatif selain yang sudah diketik rapi di Tel Aviv. Dunia disuguhi foto-foto ‘keberhasilan distribusi bantuan’ dengan latar belakang reruntuhan Rafah, seolah-olah pemandangan kehancuran adalah bagian dari set film yang bisa dipermanis dengan filter Instagram.

Padahal, sejak 27 Mei lalu, GHF telah menjadi sinonim dari jebakan maut. Data dari Kantor HAM PBB menunjukkan setidaknya 1.373 warga Palestina tewas saat berusaha mendapatkan makanan—859 di lokasi distribusi GHF dan 514 di sepanjang jalur konvoi bantuan. Dan sebagian besar kematian itu terjadi bukan karena serangan udara acak, tetapi karena tentara Israel dengan sadar dan sistematis menembaki orang-orang lapar. Anda tidak sedang membaca novel distopia, ini laporan resmi dari badan dunia. Jika ini bukan kejahatan perang, maka istilah itu perlu didefinisikan ulang.

Maka ketika Steve Witkoff berdiri di depan kamera dan mengatakan dirinya “ingin melihat kenyataan di lapangan”, satu-satunya kenyataan yang ia saksikan adalah kebohongan yang sudah dikemas dengan rapi. Seperti tamu VIP yang datang ke restoran mahal di tengah kelaparan massal, lalu menulis ulasan positif karena makanannya enak dan pelayanannya ramah. Sementara di luar, antrian panjang pengemis menunggu sisa makanan yang tidak pernah dijanjikan kepada mereka.

Yang paling mencolok adalah cara GHF dan para pendukungnya berusaha membingkai bencana ini sebagai masalah logistik, bukan politik. Mereka bicara soal “tantangan distribusi” dan “pentingnya sistem bantuan yang efisien”, seakan-akan masalah di Gaza adalah soal kurangnya truk pendingin dan bukan karena blokade brutal yang sudah berlangsung lebih dari 15 tahun. Mereka menghindari kata “penjajahan” seperti iblis menghindari air suci. Padahal, setiap anak Gaza tahu, sebelum makanan bisa sampai, peluru dan izin militer lebih dulu yang berbicara.

Ironi terbesar mungkin justru muncul saat Gedung Putih akhirnya mengakui adanya “kelaparan di Gaza”—setelah berbulan-bulan menolak kenyataan itu. Tapi bahkan saat mengakuinya, mereka tidak menyalahkan Israel. Tidak ada kutukan, tidak ada sanksi, tidak ada tindakan nyata. Yang ada hanyalah pernyataan hampa yang lebih cocok dibacakan oleh juru bicara iklan amal ketimbang pejabat negara adidaya. Mereka mengakui kelaparan, tapi tidak menyebut siapa yang menyebabkan kelaparan itu. Itulah cara baru berdamai dengan kejahatan: terima efeknya, abaikan pelakunya.

Beberapa dari kita mungkin akan bertanya, bagaimana bisa ini terjadi? Bagaimana negara-negara yang mengklaim menjunjung tinggi HAM bisa menjadi bagian dari tragedi kemanusiaan seperti ini? Jawabannya sederhana: ketika politik mengalahkan nurani, maka kemanusiaan hanya tinggal slogan. GHF bukan lembaga amal, melainkan mekanisme militer berseragam kemanusiaan. Sebuah teater di mana darah tidak boleh terlihat di atas panggung, meski menggenang di balik layar.

Sebagian orang mungkin merasa nyaman menyebut ini sebagai masalah “kompleks”. Padahal kenyataannya sederhana: ada pihak yang mengepung, ada yang dikepung. Ada pihak yang memblokade makanan, dan ada yang mati kelaparan. Ada penjajah, ada yang dijajah. Dan mereka yang mencoba membuatnya terdengar rumit, seringkali sedang mencoba menutupi keberpihakan mereka.

Saya teringat sebuah pepatah lama: “Kamu bisa menipu sebagian orang sepanjang waktu, dan kamu bisa menipu semua orang untuk sementara waktu. Tapi kamu tidak bisa menipu semua orang selamanya.” Mungkin itu berlaku juga untuk panggung propaganda di Rafah. Dunia mungkin belum semuanya sadar, tapi kenyataan punya cara sendiri untuk merayap keluar, seperti darah yang menodai tanah, tak peduli berapa banyak pasir yang ditaburkan di atasnya.

Di Indonesia, kita punya cara sendiri untuk memaknai peristiwa seperti ini. Kita tahu bagaimana rasanya dijajah. Kita punya ingatan kolektif tentang bagaimana mulut-mulut dijepit oleh kekuasaan, dan bagaimana media kadang jadi cermin bengkok. Maka ketika melihat Gaza, kita tak hanya melihat “daerah konflik”. Kita melihat cermin masa lalu, sekaligus panggilan nurani hari ini. Dan jika kita masih bisa merasakan getirnya ironi, maka kita masih manusia.

Kini, GHF masih beroperasi, dan bantuan masih diklaim terus disalurkan. Tapi setiap kali truk-truk itu bergerak, bayangan 1.300 jenazah mengiringinya. Mereka yang tidak pernah mendapat kesempatan mengambil sekarung tepung karena peluru datang lebih cepat dari roti. Sebuah fakta yang barangkali terlalu pahit untuk disebut dalam pidato-pidato diplomatik, tapi terlalu nyata untuk diabaikan.

Dan Steve Witkoff? Ia mungkin akan kembali ke Amerika dengan laporan lengkap, foto-foto “sukses”, dan rasa bangga telah ‘melihat sendiri’ situasi Gaza. Tapi yang tidak akan ia lihat adalah pandangan mata bocah kurus yang kehilangan ibunya karena menunggu roti. Yang tak akan ia dengar adalah jeritan orang tua yang kehilangan anaknya karena mengantri bantuan. Ia mungkin berhasil menipu dunia luar. Tapi Gaza tahu siapa yang datang sebagai manusia, dan siapa yang datang sebagai sutradara propaganda.

Sejarah akan mencatat bukan hanya siapa yang menjatuhkan bom, tapi juga siapa yang membersihkan puing-puingnya sambil tersenyum di depan kamera. Karena di dunia yang sedang terbakar ini, kadang kejahatan terbesar dilakukan bukan oleh mereka yang memegang senjata, tapi oleh mereka yang memegang mikrofon sambil mengatakan, “Kami peduli.”

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer