Connect with us

Opini

Panggilan Para Jurnalis untuk ke Gaza

Published

on

Ada sesuatu yang getir dalam seruan seorang jurnalis dari Gaza, Mohammed Asad. Ia berdiri di tengah reruntuhan, dengan rompi usang yang masa kadaluarsanya sudah lewat, tanpa bensin di mobilnya, dan ia berkata: “This is the last call from Gaza City… please come to us.” Seruan itu bukan sekadar ajakan, tapi jeritan. Jeritan terakhir dari sebuah profesi yang di atas kertas disebut mulia, tapi di lapangan kerap diperlakukan seperti sampah: bisa ditembak, bisa diabaikan, bisa dibunuh tanpa konsekuensi.

Bayangkan absurditas ini. Seorang jurnalis yang tahu betul bahwa Gaza adalah tempat paling berbahaya di dunia bagi wartawan, justru mengundang jurnalis dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Ia tahu risikonya, ia tahu sudah ada 245 jurnalis Palestina yang terbunuh. Tapi ia tetap menyerukan itu. Bukankah ini paradoks? Seolah-olah ia sedang berkata: lebih baik kita semua binasa di sini, daripada dunia terus dibohongi oleh laporan-laporan bias yang memihak agresor. Lebih baik kebenaran hadir meski dibayar dengan nyawa, daripada dusta berkuasa dengan aman.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kita tahu, media internasional punya posisi aneh dalam perang Gaza. Mereka melaporkan, ya. Tapi dengan bahasa yang sering membuat kita geleng kepala. Serangan zionis disebut “clash.” Bom yang menewaskan anak-anak disebut “airstrike kills several people” tanpa subjek yang jelas. Pembantaian dijelaskan dengan kata “casualties.” Lalu seakan-akan semuanya adalah kecelakaan, bukan kejahatan yang disengaja. Di sinilah letak ironi: jurnalis dunia menulis seolah mereka saksi, padahal sebenarnya mereka sedang meminjam bahasa agresor untuk membungkus genosida.

Saya rasa inilah alasan mengapa Asad mengeluarkan “panggilan terakhir” itu. Ia ingin memutus rantai kebohongan. Ia ingin ada saksi independen, jurnalis asing, yang bisa menulis dengan otoritas sehingga suaranya tak mudah dicap “propaganda Palestina.” Ia tahu, dunia yang penuh dengan sinisme hanya percaya pada jurnalis yang datang dari luar, apalagi dari Barat. Maka ia mengundang mereka—meski undangan itu seperti mengajak orang masuk ke rumah yang sudah dililit api. Tragis, sekaligus heroik.

Pertanyaannya, apakah ada jurnalis yang berani menjawab panggilan itu? Atau apakah para editor besar di London, New York, atau Paris akan menggeleng kepala, lalu berkata: “Terlalu berbahaya, kita cukup mengandalkan stringer lokal saja.” Kita semua tahu jawabannya. Mereka lebih memilih melindungi reputasi perusahaan dan keselamatan staf, daripada menguji idealisme jurnalisme sejati. Maka lahirlah jurnalisme nyaman—yang bisa tetap mengklaim “independen,” padahal kerjanya hanya menyalin press release dari pihak agresor.

Di titik ini, jurnalisme global menghadapi ujian moral. Profesi yang sering dipuja sebagai pilar demokrasi kini dipertanyakan keberaniannya: apakah ia masih setia turun ke lapangan, ataukah ia sudah berubah menjadi industri kata-kata yang nyaman di ruang ber-AC? Asad dengan cerdas—dan mungkin juga putus asa—mengguncang nurani profesi ini. Ia tahu, seorang jurnalis sejati tidak bisa hanya menonton dari jauh. Ia harus hadir, merasakan debu ledakan, melihat mayat-mayat, dan menuliskan semuanya dengan tinta bercampur darah.

Kita di Indonesia mungkin merasa jauh dari Gaza. Tapi mari refleksi: berapa banyak liputan internasional yang kita konsumsi setiap hari tanpa bertanya siapa yang menulisnya, dengan sudut pandang siapa, dan untuk kepentingan siapa? Betapa sering kita membaca berita tentang Palestina yang terasa dingin, netral, dan seolah hanya catatan statistik. Padahal di balik angka-angka itu ada wajah manusia, ada keluarga yang hancur, ada jurnalis yang mati hanya karena mencoba menyalakan kamera. Kita juga ikut menelan bias itu, kadang tanpa sadar.

Di sini saya ingin menyelipkan ironi lain. Para jurnalis lokal di Gaza sudah terbunuh ratusan orang. Mereka mati dengan kamera di tangan. Tapi dunia lebih percaya pada laporan koresponden asing yang duduk di Yerusalem, menatap layar, lalu berkata: “Menurut militer Israel…” Inilah ketidakadilan epistemik yang lebih kejam dari peluru. Pengetahuan siapa yang dianggap sah, dan pengetahuan siapa yang dibuang. Asad tahu, ia tidak hanya berjuang melawan tank, tapi juga melawan dominasi narasi.

Seruan “this is the last call” itu seharusnya membuat kita terdiam. Karena artinya begini: jika tak ada jurnalis asing yang datang, maka Gaza akan hilang tanpa saksi. Dan bila itu terjadi, sejarah hanya akan mencatat versi sang agresor. Maka, semua korban di Gaza bukan hanya mati karena bom, tapi juga mati karena kebohongan yang merajalela.

Saya tak naif. Saya tahu, sangat kecil kemungkinan ada jurnalis Barat yang benar-benar masuk Gaza sekarang. Pemilik media tidak mau mengirim stafnya untuk mati. Pemerintah mereka juga tidak memberi izin. Tetapi justru di situlah absurditasnya: profesi yang dulu dibanggakan karena keberaniannya, kini kerap tunduk pada ketakutan korporasi. Maka pertanyaannya sederhana tapi menohok: masihkah jurnalis adalah jurnalis? Atau kini mereka hanyalah pengelola narasi, seperti humas berseragam pers?

Saya teringat analogi sederhana: seorang dokter yang takut darah tidak akan pernah bisa disebut dokter. Begitu pula jurnalis yang takut menghadapi kenyataan tidak akan pernah bisa disebut jurnalis sejati. Memang, tak semua orang bisa berada di garis depan. Tetapi tanpa ada yang berani, apa jadinya profesi ini? Hanya sekadar industri media massa yang sibuk mengejar rating, iklan, dan klik.

Di Gaza, panggilan itu sudah terdengar. Bukan panggilan indah, bukan undangan dengan janji keselamatan. Tapi panggilan getir: “datanglah sebelum semuanya lenyap.” Kita boleh berdebat tentang teknis, risiko, atau etika, tapi satu hal pasti: seruan itu menyingkap betapa kosongnya klaim kebebasan pers dunia jika tak ada yang berani menjawabnya.

Dan jika benar tidak ada yang menjawab, maka dunia akan mengingat satu hal: pada saat genosida paling telanjang di abad ini, jurnalisme global memilih duduk di kursi empuk, sambil menulis laporan dari jauh. Gaza hancur, jurnalis lokal mati, dan kebenaran dibiarkan tercekik. Selebihnya hanya bahasa birokratis, hanya berita dingin, hanya sejarah versi pemenang.

Mungkin itu yang paling menyakitkan dari semuanya.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Solidaritas Jurnalis Sudah Mati? - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer