Opini
Palestina: Melawan Militer, Melawan Narasi Media

Ketika seorang jenderal Israel mengadakan pertemuan tertutup dengan para petinggi media Inggris, dunia pun sejenak hening. Bukan karena keterkejutan, melainkan karena semua orang sudah menduga hal ini akan terjadi. Dalam perang modern, tidak cukup hanya mengebom sekolah dan rumah sakit di Gaza, tetapi juga harus memastikan narasi yang tersebar di dunia tetap mendukung sang agresor.
Ternyata, perang itu tidak hanya soal rudal dan drone, tetapi juga tentang paragraf dan headline. Para jenderal dan editor duduk bersama, menyeruput teh sambil menyusun kata-kata yang tepat agar pembantaian tampak lebih manusiawi. “Bukan genosida, hanya operasi militer,” kata mereka. “Bukan kejahatan perang, hanya tindakan defensif.”
Palestina tidak hanya harus menghadapi tentara bersenjata lengkap, tetapi juga harus bertarung melawan headline koran dan breaking news televisi. Jika sebuah rudal Israel menghancurkan rumah keluarga, media mainstream akan menyebutnya “serangan balasan.” Jika seorang anak Palestina terbunuh, ia akan menjadi “korban dalam konflik yang kompleks.” Kematian mereka selalu dikaburkan dalam frasa akademis yang steril.
Sementara media besar duduk nyaman dalam ruang redaksi yang bersih, jurnalis Palestina menyiarkan langsung kehancuran dari reruntuhan rumah mereka sendiri. Mereka tidak memiliki sumber daya untuk menyewa humas atau mengatur pertemuan rahasia dengan para petinggi media. Mereka hanya memiliki satu senjata: kebenaran. Dan itu, tampaknya, adalah ancaman terbesar bagi propaganda Israel.
Untungnya, internet mengubah segalanya. Media independen dan jurnalis alternatif kini menjadi peluru tajam yang bisa menembus benteng kebohongan. Ketika BBC dan CNN berusaha meredam fakta dengan istilah-istilah ambigu, Al Mayadeen, The Electronic Intifada, dan ratusan jurnalis independen membagikan kengerian perang tanpa sensor. Mereka tidak menawarkan eufemisme, hanya realitas.
Tentu saja, kebenaran yang menyakitkan adalah ancaman besar bagi mereka yang terbiasa mengendalikan narasi. Itulah sebabnya algoritma media sosial bekerja keras untuk membungkam suara-suara Palestina. Video yang memperlihatkan anak-anak Palestina tertimbun puing-puing akan dihapus karena “melanggar kebijakan komunitas.” Sementara itu, propaganda Israel yang mengglorifikasi pembantaian tetap dibiarkan beredar luas.
Kini, kepercayaan pada media mainstream perlahan-lahan runtuh. Semakin banyak orang menyadari bahwa mereka telah diberi narasi yang bias selama bertahun-tahun. Media alternatif kecil yang dulu dianggap remeh, kini menjadi benteng terakhir bagi informasi yang jujur. Ketika media besar sibuk mencari alasan untuk membela Israel, media independen justru memberikan panggung bagi korban yang selama ini dibungkam.
Bagi mereka yang masih menggantungkan informasi pada media arus utama, selamat menikmati berita yang sudah disaring sesuai kebutuhan politik. Selamat menyaksikan bagaimana penjajahan dikemas sebagai “konflik,” bagaimana agresor digambarkan sebagai korban, dan bagaimana media mainstream terus berperan sebagai humas resmi Israel. Sejarah akan mencatat, dan dunia akan menilai siapa yang berdiri di sisi kebenaran.
Perjuangan rakyat Palestina bukan hanya soal bertahan hidup di bawah bombardir, tetapi juga perjuangan untuk tetap eksis dalam narasi sejarah. Karena, jika media mainstream yang menulis sejarah, Palestina hanya akan menjadi catatan kaki yang nyaris tak terlihat. Tetapi jika kebenaran terus diperjuangkan, mereka akan dikenang sebagai bangsa yang tak pernah tunduk, bahkan di hadapan propaganda paling canggih sekalipun.