Opini
PA: Pejuang Palestina atau Pengkhianat Berbalut Diplomasi?

Di tengah lautan darah yang tumpah dari tangan Israel, ada sebuah cerita yang jarang terdengar—tentang sebuah pemerintahan yang berdiri di atas pasir rapuh, berusaha mempertahankan legitimasi sambil menendang tubuh perjuangan yang telah mengorbankan segalanya. Otoritas Palestina (PA), yang seharusnya menjadi benteng pertama dalam mempertahankan hak-hak rakyat Palestina, malah memilih untuk menukar darah dan air mata itu dengan kontrak kolaborasi dengan Israel. Dalam dunia yang terbalik ini, PA tak lagi menjadi pelindung, melainkan pelindung bagi penjajah.
Tentu saja, siapa yang bisa melupakan janji-janji indah tentang kebebasan dan kemerdekaan yang sering kali terdengar dari mulut para pemimpin PA? Tapi apa yang terjadi ketika janji itu hanya menjadi bait kosong yang berlarut-larut tanpa makna? Saat operasi militer Israel meluluhlantakkan desa-desa, saat penyerbuan di Jenin dan kamp pengungsi lainnya menjadi kenyataan yang menyakitkan, PA dengan tangan terikat malah berperan sebagai penjaga pintu bagi pasukan yang menganiaya rakyatnya sendiri. Bayangkan, di saat seluruh dunia melihat dengan mata tertutup, PA justru mempersembahkan perlawanan rakyat Palestina sebagai hadiah untuk Israel.
Warga Palestina, yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari perjuangan ini, kini menyaksikan kekuasaan mereka diserahkan begitu saja kepada tangan-tangan yang telah mengorbankan mereka. Pengkhianatan ini lebih dari sekadar diplomasi yang rapuh; ini adalah pembantaian dari dalam. Di Jenin, pasukan PA tidak hanya menyerang para pejuang perlawanan, tetapi juga membunuh semangat yang tersisa di kalangan rakyat. Anak muda yang dulu bersemangat untuk meraih kemerdekaan, kini malah dipaksa untuk menyerahkan harapan mereka kepada pihak yang bahkan tidak mau menyebutkan kata “kemerdekaan.”
Mengapa PA begitu yakin bahwa menekan perlawanan dari dalam bisa menguntungkan mereka? Apakah mereka berpikir bahwa dengan melayani keinginan Israel, mereka bisa meraih tempat di meja perundingan? Tentu saja, kenyataan di lapangan lebih keras dari harapan manis yang mereka jual kepada dunia. Jika PA benar-benar menginginkan perdamaian, kenapa mereka malah memilih untuk berperan sebagai penjaga keamanan bagi musuh rakyat mereka? Ini bukan lagi soal solusi dua negara atau negosiasi; ini soal bertahan hidup dengan cara merelakan kehormatan bangsa sendiri.
Apa yang lebih menggelikan lagi adalah kenyataan bahwa PA masih berharap mendapatkan pengakuan internasional dengan cara seperti ini. Dunia tidak buta, meskipun sebagian besar lebih memilih untuk tetap diam. Bukankah mereka yang duduk di meja perundingan itu mengetahui betul bahwa di balik setiap aksi PA, ada darah dan air mata yang tertumpah sia-sia? Apa yang sedang mereka perjuangkan jika yang mereka lakukan justru menghancurkan perlawanan yang sudah dimulai sejak lama? Mereka mengorbankan masa depan Palestina hanya untuk mendapatkan legitimasi dari para penguasa internasional yang sudah jelas tidak akan pernah membawa kedamaian sejati.
Lebih ironis lagi, pada saat PA membungkam perlawanan rakyat di Tepi Barat, mereka berharap Israel akan memberikan ruang bagi mereka untuk bernafas. Tapi apa yang diberikan oleh Israel? Penghinaan demi penghinaan, operasi militer demi operasi militer. Namun PA, dengan sepenuh hati, tetap ingin dipandang sebagai pihak yang sah di mata dunia internasional. Padahal, apa yang mereka lakukan hanyalah memperpanjang penderitaan rakyat Palestina, memperburuk keadaan dengan memecah belah semangat perlawanan yang seharusnya bersatu.
Ini bukan lagi soal perbedaan pandangan politik. Ini tentang sebuah pengkhianatan yang nyata, tentang sebuah pemerintahan yang menjual dirinya demi posisi di mata dunia, sementara di sisi lain, rakyat Palestina dibantai tanpa ampun. Dan siapa yang paling dirugikan dari semua ini? Tentunya rakyat yang terus hidup dalam bayang-bayang penderitaan, yang berharap untuk bebas, namun malah dipaksa untuk memilih antara kolaborasi atau kematian.