Connect with us

Opini

Otonomi UE: Ilusi Mahal di Balik Readiness 2030?

Published

on

Brussels, kota yang sibuk dengan gedung-gedung kaca berkilau, menjadi saksi ambisi besar Eropa. Di balik meja-meja rapat Komisi Eropa, rencana Readiness 2030 lahir, menjanjikan €650 miliar untuk penguatan militer hingga 2030. Angka ini, menurut juru bicara Komisi Balazs Ujvari, hanyalah “ballpark figure,” sebuah perkiraan yang bergantung pada asumsi rapuh. Namun, di balik janji otonomi strategis, muncul pertanyaan kritis: akankah rencana ini benar-benar membuat UE mandiri, atau hanya ilusi yang mahal? Dengan hanya 13 dari 27 negara anggota yang mengajukan klausul pengecualian fiskal, dan ketergantungan teknologi yang masih membayangi, Readiness 2030 tampak lebih sebagai mimpi daripada kenyataan.

Laporan Euronews (2 Mei 2025) mengungkapkan bahwa Readiness 2030 mengizinkan negara anggota meningkatkan belanja pertahanan hingga 1,5% PDB selama empat tahun tanpa sanksi, meski defisit mereka melebihi 3% PDB. Tujuannya mulia: memperkuat pertahanan Eropa di tengah ancaman Rusia dan ketidakpastian global. Namun, hanya Belgia, Denmark, Estonia, dan sepuluh negara lain yang mengajukan permintaan hingga batas waktu 30 April. Komisi menyebut ini “sukses,” tetapi angka tersebut menunjukkan keraguan. Jika lebih dari separuh anggota UE belum berkomitmen, bagaimana rencana ini akan mencapai skala yang diperlukan untuk otonomi sejati? Kurangnya kohesi ini mencerminkan tantangan abadi UE: menyatukan 27 negara dengan prioritas berbeda.

Otonomi strategis, konsep yang digaungkan UE selama dekade terakhir, menjanjikan kemampuan bertindak independen dalam keamanan tanpa bergantung pada AS atau NATO. Readiness 2030, dengan program SAFE yang mengalokasikan €150 miliar untuk senjata buatan Eropa, tampak sebagai langkah menuju tujuan ini. Namun, realitasnya jauh lebih rumit. Industri pertahanan Eropa, meskipun maju, masih bergantung pada teknologi asing. Misalnya, jet tempur Eurofighter Typhoon menggunakan komponen dari perusahaan AS seperti Raytheon. Menurut laporan SIPRI 2023, 60% impor senjata Eropa berasal dari AS. Jika “otonomi” masih bergantung pada rantai pasok transatlantik, bagaimana UE bisa mengklaim kemandirian?

Program SAFE, yang menitikberatkan pada pengadaan bersama, seharusnya memperkuat industri Eropa. Namun, laporan Euronews menunjukkan bahwa adopsi SAFE masih menunggu persetujuan Dewan, dan negara anggota memiliki waktu enam bulan untuk mengajukan pinjaman. Proses birokrasi ini mencerminkan lambatnya pengambilan keputusan di UE. Lebih jauh, pengadaan bersama sering kali tersandung oleh kepentingan nasional. Prancis dan Jerman, misalnya, bersaing dalam proyek Future Combat Air System (FCAS), dengan masing-masing mengutamakan perusahaan lokal seperti Dassault dan Airbus. Menurut Defense News (2024), ketegangan ini telah menunda FCAS hingga 2030. Jika kerja sama antarnegara anggota saja sulit, bagaimana UE akan membangun industri pertahanan yang terintegrasi?

Ketergantungan pada AS tidak hanya soal teknologi, tetapi juga politik. NATO tetap menjadi tulang punggung keamanan Eropa, dengan AS menyumbang 70% anggaran aliansi (NATO, 2024). Readiness 2030 sejalan dengan target NATO untuk belanja pertahanan 2% PDB, tetapi ini justru menunjukkan kontradiksi. Dengan mendorong anggota UE untuk memenuhi standar NATO, rencana ini secara tidak langsung memperkuat pengaruh AS, bukan menguranginya. Kekhawatiran bahwa AS mungkin mengurangi komitmennya—seperti pernyataan Donald Trump pada 2018 yang mempertanyakan nilai NATO—memang mendorong UE untuk bertindak. Namun, tanpa kapabilitas militer yang benar-benar independen, Eropa tetap terikat pada Washington.

Ekonomi juga menjadi hambatan besar. Laporan Euronews menyebutkan bahwa beberapa negara pengaju klausul, seperti Polandia (defisit 7,9% PDB) dan Slovakia (8,8% PDB), sudah berada dalam Prosedur Defisit Berlebihan. Pinjaman SAFE, meskipun diarahkan untuk senjata Eropa, akan menambah beban utang. Menurut Eurostat (2024), rasio utang publik UE rata-rata mencapai 83% PDB. Negara-negara ini mungkin mampu membeli tank atau jet tempur sekarang, tetapi risiko krisis fiskal di masa depan mengintai. Jika otonomi strategis dibangun di atas fondasi utang, akankah UE benar-benar lebih kuat, atau justru lebih rentan?

Selain itu, Readiness 2030 mengalihkan fokus dari kelemahan strategis lain. Ketergantungan energi Eropa, meskipun berkurang sejak sanksi terhadap Rusia, masih signifikan. Menurut International Energy Agency (2024), 20% gas UE masih berasal dari sumber non-Eropa. Krisis energi 2022-2023 menunjukkan betapa rapuhnya ekonomi Eropa tanpa energi yang aman. Bukankah otonomi sejati juga berarti kemandirian energi atau teknologi? Investasi €650 miliar untuk pertahanan bisa saja dialihkan sebagian untuk mempercepat transisi hijau atau mengembangkan AI Eropa, yang tertinggal dibandingkan AS dan Tiongkok (McKinsey, 2024). Fokus pada militer tampak seperti pengalihan dari kebutuhan yang lebih mendesak.

Partisipasi terbatas dalam Readiness 2030 juga menunjukkan kurangnya kepercayaan di antara anggota UE. Prancis, dengan defisit 6,1% PDB, memilih tidak mengajukan klausul pengecualian, kemungkinan karena lebih tertarik pada SAFE (Euronews, 2025). Ini mencerminkan prioritas nasional yang berbeda: Prancis ingin memimpin industri pertahanan Eropa, sementara negara-negara kecil seperti Estonia fokus pada ancaman Rusia. Menurut European Council on Foreign Relations (2024), 60% warga UE mendukung pertahanan yang lebih kuat, tetapi hanya 40% yang percaya pada integrasi militer. Tanpa kepercayaan kolektif, otonomi strategis tetap sebagai slogan, bukan kenyataan.

Kritik terbesar terhadap Readiness 2030 adalah asumsinya yang rapuh. Ujvari mengakui bahwa €650 miliar hanyalah “perkiraan” berdasarkan “seperangkat asumsi” (Euronews, 2025). Komisi tidak tahu berapa banyak negara yang akan bergabung atau seberapa cepat mereka akan meningkatkan belanja. Estimasi yang lebih akurat baru tersedia pada 2026, berdasarkan data 2025. Ketidakpastian ini menyerupai proyek ambisius UE sebelumnya, seperti Strategi Lisbon 2000, yang gagal menjadikan UE ekonomi paling kompetitif karena kurangnya komitmen. Jika Readiness 2030 mengikuti pola yang sama, Eropa hanya akan menghabiskan miliaran tanpa hasil nyata.

Lalu, apakah ada harapan untuk otonomi strategis? Mungkin, tetapi tidak dengan pendekatan saat ini. UE perlu reformasi politik untuk memperkuat integrasi, bukan hanya pinjaman dan klausul fiskal. Investasi dalam teknologi dual-use—yang bermanfaat untuk militer dan sipil—bisa menjadi jembatan. Misalnya, pengembangan satelit Eropa seperti Galileo telah mengurangi ketergantungan pada GPS AS. Menurut European Space Agency (2024), Galileo menyumbang €10 miliar per tahun untuk ekonomi UE. Pendekatan serupa untuk AI atau kuantum bisa lebih efektif daripada tank tambahan.

Brussels mungkin bermimpi menjadikan UE kekuatan global, tetapi Readiness 2030, dengan segala ambisinya, terhambat oleh realitas. Ketergantungan teknologi, fragmentasi politik, dan beban ekonomi membuat otonomi strategis tampak seperti ilusi. Eropa tidak akan mandiri hanya dengan lebih banyak senjata; ia membutuhkan kesatuan, inovasi, dan visi yang melampaui militer. Hingga itu tercapai, €650 miliar mungkin hanya menjadi angka besar di kertas, bukan jalan menuju kemandirian sejati.

 

Sumber:

  1. Euronews, “Brussels sticks to €650bn defence spending estimate despite slow uptake of offered fiscal leeway,” 2 Mei 2025.
  2. SIPRI, “Arms Transfers Database,” 2023.
  3. NATO, “Defence Expenditure of NATO Countries,” 2024.
  4. Defense News, “FCAS delays highlight Franco-German tensions,” 2024.
  5. Eurostat, “Government debt-to-GDP ratio,” 2024.
  6. International Energy Agency, “European Gas Imports,” 2024.
  7. McKinsey, “The State of AI in Europe,” 2024.
  8. European Council on Foreign Relations, “Public Opinion on EU Defence,” 2024.
  9. European Space Agency, “Economic Impact of Galileo,” 2024.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *