Opini
Ormas Preman: Raja Jalanan atau Momok Demokrasi?

Di sebuah sudut Subang, Jawa Barat, deru mesin proyek pabrik mobil listrik BYD terhenti sejenak. Bukan karena kehabisan bahan bakar atau kendala teknis, melainkan ulah sekelompok oknum ormas yang datang dengan gagah berani, mengatasnamakan “rakyat”. Mereka menuntut “jatah” dari investasi belasan triliun rupiah, seolah-olah kehadiran mereka adalah tiket emas menuju kesejahteraan. Ironis, bukan? Di negeri yang katanya menjunjung demokrasi, ormas justru berlagak seperti preman, merusak kendaraan polisi, memaksa perusahaan untuk “berbagi” THR, dan mengintimidasi siapa saja yang berani menolak. Beginilah potret ormas yang telah bermetamorfosis menjadi monster premanisme, menggenggam kuasa lokal dengan arogansi yang memuakkan.
Mendengar cerita ini, rasanya seperti menyaksikan drama kolplay ala pasar malam, tapi dengan taruhan yang jauh lebih serius: masa depan investasi dan ketertiban sosial. Mendagri Tito Karnavian, dalam acara halal bihalal di Jakarta, dengan nada prihatin mengungkapkan bahwa banyak ormas telah “kebablasan”. Mereka tak lagi menjadi mitra pemberdayaan masyarakat, melainkan mesin intimidasi yang terorganisir. Bayangkan, sebuah organisasi yang seharusnya mengayomi malah sibuk memeras, mengancam, dan merusak. Tito bahkan mengusulkan audit keuangan ormas untuk mencegah penyimpangan, seolah-olah neraca keuangan mereka akan jujur mencatat “pendapatan dari pemerasan” atau “bonus THR paksa”. Satirnya, usul ini mungkin akan ditertawakan oleh oknum ormas yang merasa kebal hukum, berjalan gagah dengan seragam “gagah-gagahan” ala jagoan kampung.
Laporan dari Subang bukanlah kasus tunggal. Survei harian Kompas awal 2025 di kawasan industri Bekasi mengungkap fakta mencengangkan: lebih dari separuh dari 52 perusahaan yang disurvei mengaku terganggu oleh ormas. Dalam setahun, mereka didatangi hingga 122 kali oleh kelompok yang mengaku ormas atau LSM. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan jeritan pelaku usaha yang terjepit antara keharusan berproduksi dan ancaman “jatah preman”. Perusahaan-perusahaan ini, yang seharusnya fokus menyerap tenaga kerja lokal, malah sibuk menghadapi tamu tak diundang yang datang dengan senyum licik dan tuntutan irasional. Ini bukan lagi demokrasi, tapi kleptokrasi jalanan, di mana ormas berperan sebagai tuan tanah abad modern yang menagih upeti tanpa malu.
Anton Charlian, mantan Kapolda Jawa Barat, dengan gamblang menyebut budaya ormas saat ini telah tercemar stigma kekuasaan. Ormas yang “hebat” kini diukur dari seberapa besar mereka bisa mengintimidasi, bukan seberapa banyak mereka memberdayakan masyarakat. Ia menyinggung seragam megah yang dipakai oknum ormas, seolah-olah bela negara cukup dengan tampilan macho dan jargon patriotik. Padahal, bela negara sejati adalah perilaku yang membawa manfaat, bukan aksi bakar-bakar mobil polisi atau memaksa perusahaan membayar “dana sosial” yang entah mengalir ke mana. Anton bahkan blak-blakan menyebut ormas telah menjadi tempat perlindungan bagi mereka yang tak punya pekerjaan layak, menjadikan pungli dan intimidasi sebagai “pekerjaan sampingan”. Ini bukan lagi ormas, tapi sindikat jagoan yang mengemas premanisme dalam jubah organisasi resmi.
UU Ormas No. 16 Tahun 2017, yang seharusnya menjadi benteng, justru tampak seperti pagar kertas di hadapan ormas-preman ini. Pasal 59 jelas melarang intimidasi, kekerasan, atau penyebaran kebencian, dengan sanksi berat mulai dari peringatan hingga pembubaran. Tapi, apa gunanya aturan jika penegakannya lelet? Kasus pembakaran mobil polisi atau pemaksaan THR menunjukkan bahwa oknum ormas merasa hukum hanyalah formalitas. Mereka berjalan dengan dada membusung, mengaku punya “backing” dari tokoh besar—padahal, seperti kata Anton, itu cuma akal-akalan untuk menakut-nakuti. Tragisnya, negara sering kali terlihat ciut di hadapan arogansi ini, seolah takut menyentuh “anak emas” yang mengatasnamakan rakyat. Negara yang kalah dari preman? Sungguh, ini lelucon pahit yang tak layak ditertawakan.
Sosiolog Suprapto dari UGM menambahkan lapisan lain dalam drama ini: miskomunikasi. Banyak perusahaan, katanya, lalai mensosialisasikan proyek mereka kepada masyarakat sekitar. Akar ketidakpuasan ini kemudian dimanfaatkan oknum ormas untuk “mengail di air keruh”, memprovokasi warga dengan tuntutan irasional seperti jatah THR atau CSR yang tak masuk akal. Tapi, benarkah ini hanya soal miskomunikasi? Jika perusahaan sudah mengikuti aturan, mengapa mereka harus berlutut di hadapan ormas yang mengaku mewakili rakyat? CSR memang kewajiban, tapi prosedurnya melibatkan pemerintah dan masyarakat, bukan ormas yang datang dengan ancaman. Ini seperti membiarkan penutup jalanan menentukan aturan lalu lintas, absurd dan berbahaya.
Ahmad Irawan dari Komisi 2 DPR RI menegaskan bahwa pemerintah punya tanggung jawab utama untuk melindungi investasi. Namun, pernyataannya terasa seperti mantra usang: “Penegakan hukum harus tegas.” Tapi, di mana ketegasan itu ketika ormas dengan santainya merusak fasilitas umum atau memeras perusahaan? Ia juga menyebut perlunya membedakan apakah tindakan ormas dilakukan secara terstruktur atau hanya ulah oknum. Pertanyaannya, apa bedanya bagi korban? Baik oknum maupun organisasi, dampaknya sama: ketakutan, kerugian, dan investasi yang terancam kabur. Jika DPR serius, revisi UU Ormas yang diusulkan Tito harus segera digarap, bukan sekadar wacana yang menguap di ruang sidang.
Lalu, apa solusi untuk menjinakkan monster premanisme ini? Pertama, negara harus berhenti bersikap seperti penutup mata yang pura-pura tak melihat. Penegakan hukum harus seperti pisau bedah: tajam, tepat, dan tak pandang bulu. Sanksi pidana 5-20 tahun untuk pemerasan atau pengerusakan harus benar-benar diterapkan, bukan sekadar ancaman di atas kertas. Kedua, Kemendagri harus bertindak sebagai penjaga gawang, bukan penonton. Edukasi ormas sejak awal, sertifikasi operasional, dan laporan kegiatan berkala adalah langkah preventif yang tak boleh ditawar. Ketiga, perusahaan harus dilindungi dengan mekanisme pelaporan yang jelas—ke polisi untuk tindakan pidana, ke Kesbangpol untuk pelanggaran administratif. Perda daerah bisa menjadi tameng tambahan, memaksa ormas berpikir dua kali sebelum bertindak.
Namun, solusi teknis saja tak cukup. Budaya premanisme yang telah mengakar dalam ormas harus dicabut hingga ke intinya. Ini bukan sekadar soal hukum, tapi juga mentalitas. Ormas harus kembali ke khittahnya: memberdayakan, bukan menindas. Masyarakat juga perlu diedukasi untuk melihat manfaat jangka panjang investasi, bukan tergiur iming-iming jatah instan dari oknum ormas. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan parade preman berjubah ormas, menginjak-injak hukum sambil tertawa di atas ketakutan orang lain.
Pada akhirnya, kasus Subang adalah cermin buram dari negara yang masih bergulat dengan bayang-bayang premanisme. Ormas yang seharusnya menjadi pilar demokrasi kini berubah menjadi momok yang menakutkan. Jika negara terus membiarkan mereka berlagak sebagai raja kecil, jangan heran jika investor lari, lapangan kerja menyusut, dan masyarakat semakin miskin. Satirnya, mungkin suatu hari kita akan melihat ormas mengeluarkan “SK” resmi sebagai “penguasa wilayah”, lengkap dengan stempel dan tarif pungli. Tapi, sebelum itu terjadi, negara harus bangun dari tidurnya. Ormas bukan tuan, hukum yang berkuasa. Dan jika hukum tak ditegakkan, kita semua yang akan menjadi korban dari lelucon tragis ini.
Daftar Sumber:
- Ormas Ganggu Proyek Pabrik BYD di Subang, Sosiolog & Komisi II Buka Suara | Sindo Prime |25/04] (https://www.youtube.com/watch?v=qM6FMGZmKkA)
- [FULL] Ormas Gayanya Preman, Anton Charliyan: Kalau Aparat Gak Bertindak, Ya Bakal Gini-gini Saja! (https://www.youtube.com/watch?v=ZeM3ZFkRGfw)
- Ormas Buat Gaduh, Mendagri Buka Peluang Revisi UU Ormas (https://www.youtube.com/watch?v=tzdMHM9pZuE)