Connect with us

Opini

Operasi Rumit Hamas Guncang Pasukan Israel

Published

on

Pejuang Hamas Qassam bergerak di reruntuhan Gaza City saat malam hari, menyerang pasukan Israel dan menghancurkan kendaraan lapis baja Namer di Al-Zaytoun.

Di malam 29 Agustus, Gaza City kembali menjadi panggung pertempuran yang memperlihatkan paradoks perang modern: kekuatan militer paling canggih di kawasan berhadapan dengan kelompok perlawanan yang hidup di reruntuhan, namun mampu mengubah medan kota yang hancur menjadi arena penyergapan mematikan. Qassam Brigades, sayap bersenjata Hamas, melancarkan serangkaian operasi penyergapan yang menewaskan, melukai, dan bahkan diduga berhasil menawan sejumlah tentara Israel. Bagi yang mengikuti dinamika perang ini dari dekat, keberhasilan itu bukan sekadar peristiwa taktis, melainkan tonggak yang memperlihatkan bahwa perlawanan Palestina masih mampu mengatur ritme pertempuran di tengah kehancuran total.

Operasi tersebut memperlihatkan tingkat kerumitan yang jarang kita saksikan di dunia nyata. Pasukan Israel yang disergap bukan unit sembarangan, melainkan pasukan infanteri dengan perlengkapan lengkap, kendaraan lapis baja Namer yang dianggap salah satu yang paling aman di dunia, serta dukungan udara yang selalu siaga. Namun pada malam itu, tiga serangan terkoordinasi mengguncang jalannya pertempuran di Al-Zaytoun dan Sabra, dua kawasan yang selama tiga minggu terakhir menjadi target penghancuran sistematis Israel.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Serangan pertama terjadi di Al-Zaytoun, ketika pasukan dari Brigade Nahal yang tengah bergerak menghadapi penyergapan mendadak. Seorang tentara tewas, beberapa lainnya terluka. Serangan itu bukan sekadar tembakan liar, melainkan langkah pembuka untuk menguras energi pasukan Israel, memaksa mereka berfokus pada penyelamatan korban, dan menciptakan celah dalam formasi. Tidak lama kemudian, penyergapan kedua terjadi di Sabra. Kali ini situasinya begitu serius hingga helikopter Israel harus turun tangan menembaki lokasi dengan intensitas tinggi. Di tengah gelapnya malam dan reruntuhan yang menutup jalan, helikopter itu bukan hanya bertugas menghancurkan musuh, melainkan juga mencegah kemungkinan penawanan prajurit.

Puncak drama terjadi ketika kendaraan Namer menjadi target peledakan. Tujuh tentara Israel terluka akibat hantaman bom yang berhasil menembus perlindungan kendaraan. Namer selama ini digadang sebagai simbol keunggulan teknologi militer Israel, kendaraan yang bisa menahan ledakan besar. Namun di jalanan sempit Gaza, di bawah jebakan yang disiapkan dengan sabar, Namer terbukti rapuh. Dari sinilah laporan-laporan tentang tentara yang hilang mulai bermunculan. Empat prajurit dikabarkan tidak kembali, dan kekhawatiran akan penawanan langsung memicu penerapan Hannibal Directive. Doktrin ini, yang ironisnya membolehkan pasukan Israel membunuh tentaranya sendiri untuk mencegah mereka ditawan, menjadi simbol betapa menakutkannya kemungkinan prajurit jatuh hidup-hidup ke tangan Hamas.

Bahwa Qassam Brigades bisa mencapai titik ini menunjukkan proses panjang dari pembelajaran dan perencanaan. Bertahun-tahun penyergapan sebelumnya sering gagal menghasilkan tawanan karena respon brutal Israel yang seketika membombardir lokasi. Namun kegagalan itu mengajarkan banyak hal: pola patroli pasukan Israel, kecepatan reaksi udara, titik-titik buta kendaraan, dan cara memanfaatkan labirin kota yang hancur untuk bergerak. Operasi 29 Agustus tidak lahir dari spontanitas, melainkan dari disiplin dan perencanaan yang hampir mustahil dilakukan di tengah kepungan. Hamas bahkan sempat “menghilang” selama beberapa minggu, menahan diri dari kontak langsung, menyimpan amunisi, dan menunggu saat yang tepat untuk melancarkan pukulan.

Ada nilai simbolik yang tak bisa diabaikan. Selama ini, Israel menegaskan bahwa misi utamanya adalah menghancurkan Hamas, menekan habis kemampuan tempurnya, dan memaksa perlawanan tunduk. Tetapi kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik: setelah menghancurkan kawasan padat seperti Rafah, Beit Hanoun, dan kini Al-Zaytoun hingga rata dengan tanah, Hamas masih mampu bangkit dan melancarkan operasi yang berpotensi menciptakan tawanan perang. Fakta ini menunjukkan bahwa menghancurkan infrastruktur tidak sama dengan menghancurkan perlawanan. Justru, setiap kehancuran baru menambah legitimasi moral bagi kelompok perlawanan di mata rakyat Gaza dan simpati internasional.

Dimensi politik dari keberhasilan operasi ini sangat signifikan. Tawanan hidup bagi Hamas bukan sekadar kemenangan simbolis, melainkan aset strategis. Israel punya sejarah panjang menukar ribuan tahanan Palestina untuk mengembalikan tentaranya yang ditawan. Maka, jika benar ada tentara Israel yang berhasil ditawan, posisi tawar Hamas meningkat tajam, baik dalam negosiasi maupun dalam citra politik. Bagi rakyat Palestina, ini akan dilihat sebagai bukti bahwa perlawanan tetap mampu memberi harapan, bahwa meski rumah-rumah mereka hancur, ada yang masih bisa membuat tentara pendudukan ketakutan.

Namun dari sudut pandang Israel, ini adalah mimpi buruk. Kehilangan prajurit dalam perang selalu berat, tetapi kehilangan prajurit sebagai tawanan berarti membuka luka lama. Keluarga tentara akan menekan pemerintah, opini publik akan menggerogoti legitimasi kepemimpinan, dan pasukan di garis depan akan terus dihantui bayangan bahwa setiap operasi darat bisa berakhir dengan mereka menjadi tawanan. Inilah kekuatan psikologis yang berusaha dimanfaatkan Hamas: membalik keunggulan teknologi Israel menjadi kelemahan mental.

Semua ini berlangsung di latar belakang kehancuran yang semakin masif. Laporan New York Times menegaskan bahwa Al-Zaytoun, yang tiga minggu sebelumnya masih berdiri, kini telah berubah menjadi padang gersang. Rumah-rumah rata dengan tanah, jalanan hancur, dan orang-orang yang dulu tinggal di sana kini tercerabut dari akarnya. Seorang warga, Fadl al-Saifi, menyebutnya “heartbreaking” melihat rumah teman-temannya hilang begitu saja. Tetapi di balik reruntuhan itu, Qassam Brigades justru menemukan ruang untuk bersembunyi, merencanakan, dan menyerang. Kehancuran yang dimaksudkan untuk mematikan perlawanan justru menjadi kamuflase baru bagi mereka.

Maka, operasi 29 Agustus dapat disebut sebagai salah satu adegan paling dramatis dalam perang Gaza, sebuah operasi yang tingkat kerumitannya setara dengan skenario militer di film-film Hollywood, tetapi kali ini nyata. Pasukan perlawanan harus menunggu dalam diam, memilih detik yang tepat, menahan tembakan sampai musuh benar-benar masuk ke perangkap, lalu bergerak dengan kecepatan luar biasa di tengah ancaman bombardir udara. Semua dilakukan bukan demi kemenangan cepat, melainkan demi tujuan strategis yang lebih besar: membuktikan bahwa Hamas masih hidup, bahwa tentara Israel tidak kebal, dan bahwa Gaza meski dihancurkan tetap menjadi medan perlawanan.

Ke depan, pola seperti ini tampaknya akan terus berulang. Israel bisa terus membombardir kota demi kota, tetapi setiap operasi daratnya akan membuka peluang baru bagi Hamas untuk mengulangi penyergapan. Semakin lama pasukan Israel bertahan di darat, semakin besar risiko kehilangan prajurit, baik tewas maupun ditawan. Dan setiap kali itu terjadi, kredibilitas politik dan militer Israel akan semakin terkikis.

Inilah realitas perang yang jauh dari sederhana. Di satu sisi, Israel terus menegaskan superioritasnya dengan menghancurkan infrastruktur sipil Gaza hingga tak bersisa. Di sisi lain, Hamas justru membuktikan bahwa dalam reruntuhan itu, strategi, kesabaran, dan disiplin militer bisa menghasilkan kemenangan yang tidak hanya bersifat taktis, tetapi juga simbolik dan politis. Perang Gaza dengan demikian bukan hanya tentang tank dan pesawat, melainkan juga tentang siapa yang bisa mengubah kehancuran menjadi alat perlawanan.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Israel Definisikan Kemenangan dengan Reruntuhan Kota Gaza

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer