Opini
Opera 5 Babak: Eropa dalam Ilusi Menang di Ukraina

Seperti sebuah opera sabun yang terus-menerus berputar tanpa akhir, Eropa kembali menggelar panggung dramanya dalam konflik Ukraina-Rusia. Kali ini, di Paris, sekitar 30 pemimpin berkumpul untuk membahas masa depan Ukraina dan bagaimana mereka bisa tetap relevan dalam drama geopolitik ini. Prancis mengumumkan bantuan militer sebesar €2 miliar, seolah-olah itu akan mengubah alur cerita yang sudah ditentukan sejak lama. Namun, di balik semua deklarasi heroik dan janji-janji kosong ini, muncul pertanyaan besar: apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh Eropa dan NATO?
Babak Pertama: Eropa Sibuk Menyusun Narasi
Perang di Ukraina telah berlangsung lebih dari dua tahun, dan setiap kali ada pertemuan internasional seperti ini, muncul kesan bahwa Eropa sedang mencoba menulis ulang skenario yang tidak pernah berubah. Sejak awal, mereka bertekad untuk ‘membela Ukraina’ dari ‘agresi Rusia,’ tetapi di saat yang sama, mereka juga terus menerapkan strategi yang tidak membawa hasil signifikan. Rusia masih berdiri tegak, sementara Eropa semakin terjerat dalam perangkap ekonomi dan sosial yang mereka ciptakan sendiri.
Presiden Prancis Emmanuel Macron berbicara penuh semangat tentang bagaimana Eropa harus “melanjutkan dukungan” agar Ukraina bisa “tetap bertahan.” Namun, ironisnya, yang terlihat bukanlah dukungan yang membawa hasil, melainkan kegagalan berulang dalam strategi yang hanya memperpanjang penderitaan tanpa ada penyelesaian nyata. Bahkan dengan miliaran euro yang sudah digelontorkan, medan perang tetap dikuasai oleh dinamika militer yang tidak menguntungkan Ukraina. Jika bantuan benar-benar efektif, mengapa Ukraina masih terus kehilangan wilayah strategis?
Selain itu, politisi Eropa semakin kehilangan dukungan dari masyarakat mereka sendiri. Demonstrasi menentang perang semakin meningkat di berbagai negara, terutama karena dampak ekonomi yang semakin terasa. Rakyat bertanya-tanya: untuk apa semua ini? Mengapa harus berkorban demi konflik yang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan mereka?
Babak Kedua: Sanksi, Drama, dan Ketidakpastian
Sejak awal konflik, Eropa dengan gagah berani menerapkan sanksi ekonomi terhadap Rusia, seolah-olah itu akan menghancurkan Kremlin dalam semalam. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: ekonomi Rusia tetap stabil, sementara negara-negara Eropa menghadapi lonjakan harga energi, inflasi, dan ketidakpuasan sosial yang meningkat. Sanksi yang mereka pikir akan menekan Rusia ternyata menjadi bumerang yang menyakiti rakyat mereka sendiri.
Bahkan, sanksi tersebut malah mempercepat pergeseran ekonomi global. Rusia semakin memperkuat hubungan dagangnya dengan China, India, dan negara-negara Global South. Rubel tetap bertahan, ekspor minyak dan gas Rusia masih berjalan lancar, dan Moskow bahkan berhasil meningkatkan produksi militernya untuk melanjutkan operasi di Ukraina.
Sementara itu, di Eropa, pabrik-pabrik tutup karena biaya energi yang melambung. Jerman, sebagai ekonomi terbesar di Eropa, mengalami kontraksi, dan banyak perusahaan yang mulai mempertimbangkan untuk memindahkan operasinya ke luar Eropa. Ini bukan sekadar dampak sampingan, ini adalah kegagalan kebijakan ekonomi yang spektakuler.
Yang lebih absurd, di tengah semua kesulitan yang mereka alami, Eropa masih bersikeras untuk terus menggelontorkan dana ke Ukraina. €2 miliar dari Prancis hanyalah satu bagian kecil dari miliaran yang sudah dikirim sebelumnya. Ini seperti orang yang sudah bangkrut tetapi masih meminjam uang untuk membeli tiket ke konser yang bahkan tidak ingin ia hadiri. Seolah mereka lebih takut terlihat menyerah daripada menghadapi kenyataan pahit bahwa strategi mereka tidak berhasil.
Babak Ketiga: Ketakutan akan Bentrokan Langsung
Salah satu hal yang paling lucu dari kebijakan Eropa adalah bagaimana mereka ingin membantu Ukraina tanpa ‘terlalu jauh’ terlibat. Mereka dengan tegas menolak mengirim pasukan ke garis depan, tetapi di saat yang sama terus menyuplai senjata, logistik, dan intelijen. Seperti seorang teman yang mengatakan, “Aku mendukungmu dalam perkelahian ini, tapi aku tidak akan ikut bertarung, ya.”
Ketakutan akan bentrokan langsung dengan Rusia membuat Eropa berada dalam dilema. Di satu sisi, mereka ingin terlihat tegas terhadap Moskow, tetapi di sisi lain, mereka sadar bahwa jika eskalasi terjadi, mereka sendiri yang akan menderita paling banyak. NATO memang kuat di atas kertas, tetapi kesiapan tempurnya masih dipertanyakan. Logistik, amunisi, dan koordinasi antara negara-negara anggota masih penuh kekacauan. Jika Rusia benar-benar menyerang negara NATO, apakah mereka benar-benar siap untuk perang besar?
Macron dan para pemimpin Eropa lainnya berbicara tentang “membangun elemen kredibel untuk perdamaian yang berkelanjutan,” tetapi yang mereka lakukan justru sebaliknya. Dengan terus mengirimkan senjata dan memperpanjang konflik, mereka memastikan bahwa perang ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Jika benar-benar ingin perdamaian, mengapa tidak duduk bersama Rusia dan bernegosiasi langsung tanpa embel-embel tekanan militer?
Babak Keempat: Eropa Berperang Melawan Diri Sendiri
Masalah terbesar bagi Eropa bukan hanya Rusia, tetapi juga perpecahan internal mereka sendiri. Setiap negara memiliki kepentingannya masing-masing, dan kesepakatan tentang bagaimana menangani perang ini pun jauh dari kata solid. Italia, misalnya, menolak gagasan mengirim pasukan kecuali dalam misi yang disetujui PBB. Sementara itu, Inggris dan Prancis tampak ingin memainkan peran utama dalam membangun semacam “pasukan jaminan” untuk Ukraina.
Dalam skenario seperti ini, bagaimana mungkin mereka berharap untuk menghadapi Rusia secara efektif? Alih-alih bersatu dalam satu strategi yang jelas, mereka justru lebih banyak bertengkar tentang bagaimana seharusnya konflik ini ditangani. Seperti dalam sinetron yang penuh intrik, setiap pemimpin memiliki agenda sendiri, dan tak satu pun dari mereka benar-benar peduli dengan akhir dari cerita ini.
Pada akhirnya, Eropa bukan hanya berperang dengan Rusia, tetapi juga dengan realitas yang mereka ciptakan sendiri. Perpecahan politik, ekonomi yang melemah, dan kebijakan luar negeri yang tidak konsisten membuat mereka semakin sulit memainkan peran utama dalam geopolitik global.
Babak Terakhir: Kapan Drama Ini Berakhir?
Pertemuan di Paris ini hanyalah satu episode lagi dalam serial tanpa akhir yang terus dimainkan oleh para pemimpin Eropa. Mereka berbicara tentang strategi, bantuan, dan keamanan, tetapi pada akhirnya, semuanya hanya mengarah ke satu hal: ketidakpastian dan ketidakefektifan.
Eropa mungkin ingin tampil sebagai pahlawan dalam kisah ini, tetapi sejauh ini, mereka lebih terlihat seperti karakter dalam opera sabun yang tidak pernah tahu bagaimana cara menyelesaikan konfliknya sendiri. Sementara itu, dunia menonton, tertawa, dan bertanya-tanya: kapan episode terakhir dari drama ini akhirnya tayang? Apakah Eropa akan bangun dari ilusi superioritasnya atau tetap terjebak dalam skenario yang mereka buat sendiri?