Opini
Ojol: Di Antara Deru Motor dan Jeratan Algoritma

Sekitar 500.000 pengemudi ojek online—atau yang akrab kita sebut ojol—hari ini memilih untuk mematikan aplikasi. Mereka menepi dari layar ponsel, dan turun ke jalanan, menjadikan aspal sebagai panggung perlawanan. Mereka tidak berhenti mengantar karena sekadar lelah fisik, melainkan karena jiwanya tertekan. Di balik senyum ramah saat mengantar penumpang atau makanan, ada kepedihan yang perlahan menggerus harapan. Mereka mempertaruhkan nyawa di tengah lalu lintas yang kejam, panas matahari yang menyengat, hingga hujan deras yang mengguyur tanpa ampun—semua demi sesuap nasi. Namun, sistem yang mereka topang justru menyayat mereka perlahan. Apa arti kerja keras, jika hasilnya lenyap dipotong oleh algoritma dan persentase yang tak bisa mereka kendalikan?
Lili Pujiati, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia, melontarkan kalimat yang menggugah: “Kami diperbudak aplikator.” Sebuah tudingan keras—dan bukan tanpa alasan. Mari kita telisik lebih dalam, dengan empati dan akal sehat, nasib para pengemudi yang terombang-ambing dalam pusaran ekonomi digital.
Bayangkan seorang pengemudi ojol bernama Budi. Ia bangun ketika kota masih tertidur, menyeduh kopi instan sebagai pengganti sarapan, lalu menyiapkan motornya—yang cicilannya masih tersisa dua tahun lagi. Ia menyalakan aplikasi sambil berdoa agar hari ini order mengalir deras. Tapi harapan kerap berseberangan dengan kenyataan. Berdasarkan survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan tahun 2022, pendapatan harian mereka hanya berkisar Rp50.000 hingga Rp100.000. Angka yang, jika dikalkulasikan dengan biaya bensin, servis motor, dan kuota internet, nyaris tak menyisakan apa pun untuk kebutuhan keluarga.
Lili menyuarakan ironi besar: “Kami yang keluar modal, aplikator tinggal goyang-goyang.” Ungkapan ini mencerminkan ketimpangan relasi antara pengemudi dan platform digital. Pengemudi menanggung risiko penuh di lapangan, sementara aplikator mengatur segalanya dari balik layar—mulai dari tarif, algoritma, hingga potongan penghasilan.
Potongan yang dikenakan platform menjadi titik panas ketidakadilan. Secara normatif, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1001 Tahun 2022 mengatur pembagian: 80% untuk pengemudi dan 20% untuk aplikator. Namun di lapangan, realitas jauh dari harapan. Ada bukti tangkapan layar yang menunjukkan potongan bisa menyentuh angka 70%. Artinya, pengemudi hanya menerima 30% dari tarif yang dibayarkan pelanggan. Lili menyebut angka itu sebagai “ketimpangan yang menyakitkan.”
Pihak aplikator seperti Gojek dan Grab mencoba membela diri. Mereka berdalih bahwa potongan digunakan untuk promo demi menjaga volume pesanan. Katherine Hindra Sucahyo dari GoTo berujar, “Konsumen sangat sensitif terhadap harga.” Namun pertanyaannya: apakah promo tersebut benar-benar menguntungkan pengemudi? Atau justru menjadi dalih untuk mempertahankan margin keuntungan platform? Banyak pengemudi, seperti yang terjadi di Bali, mengaku potongan tersebut “mencekik,” membuat mereka harus terus bekerja tanpa henti hanya untuk bertahan.
Muncul satu pertanyaan besar: jika tekanan begitu besar, mengapa para pengemudi bertahan? Survei Kementerian Perhubungan tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya 16,09% pengemudi ojol sebelumnya adalah pengangguran. Artinya, mayoritas berasal dari profesi lain. Mereka terpikat oleh janji fleksibilitas dan iklan manis tentang pendapatan hingga Rp8 juta per bulan yang digaungkan pada 2016. Kini, impian itu tinggal bayang-bayang. Realitasnya, pendapatan rata-rata berada di bawah Rp3,5 juta per bulan, dengan jam kerja antara 6 hingga 12 jam per hari tanpa hari libur.
Djoko Setijowarno, akademisi dari Unika Soegijapranata, menilai bahwa model bisnis transportasi daring telah gagal menciptakan keseimbangan. Salah satu penyebabnya adalah rekrutmen pengemudi yang tak dibatasi, menciptakan kelebihan pasokan. Alhasil, para pengemudi harus bersaing ketat untuk mendapatkan order yang kian menipis, apalagi setelah kenaikan tarif ojol dan harga BBM.
Di tengah ketidakpastian ini, peran negara dipertanyakan. Para pengemudi merasa seperti bola pingpong, dilempar dari Kementerian Perhubungan ke Kominfo, lalu ke Kementerian Ketenagakerjaan, tanpa solusi konkret. Regulasi seperti KM 667/2022 yang mengatur pedoman biaya jasa pun terbukti tak mampu menjawab keresahan. Pasalnya, tarif tetap ditentukan oleh aplikator.
“Kami merasa negara tidak hadir,” keluh Lili. Pemerintah memang membuka ruang dialog. Istana menyebut unjuk rasa sebagai hak konstitusional dan Kementerian Perhubungan mengadakan media briefing untuk mendengar aspirasi. Namun, apa arti dialog jika tak diikuti tindakan? Pengemudi mengusulkan potongan maksimal 10% dan pengakuan status pekerja, tapi hingga kini usulan itu belum mendapat respons tegas.
Salah satu akar persoalan terletak pada status “mitra”. Sebutan ini menjadi tameng aplikator untuk menghindari kewajiban ketenagakerjaan. Tidak ada jaminan BPJS, tidak ada cuti, tidak ada pesangon. Padahal, secara praktik, para pengemudi tunduk pada aturan aplikator. Mereka diberi instruksi kerja, jam aktif, hingga prioritas order. Algoritma menentukan segalanya, dan skema prioritas dianggap diskriminatif. Mereka yang menolak tunduk pada sistem bisa dengan mudah “diputus mitra.”
Djoko menyodorkan gagasan berani: menjadikan ojol sebagai bagian dari angkutan umum resmi, dengan pelat kuning, SIM C Umum, dan uji berkala. Kabupaten Asmat pernah menerapkannya sejak 2011. Alternatif lain datang dari Korea Selatan, di mana pemerintah mengelola aplikasi transportasi demi perlindungan pekerja. Namun, apakah mungkin diterapkan di Indonesia, di tengah dominasi dan pengaruh raksasa digital seperti Gojek dan Grab?
Saya teringat kisah seorang teman ojol. Sore itu, kami duduk di warung kopi kecil. Ia menyeruput kopi hitam sambil bercerita dengan mata lelah. “Kalau nggak narik, keluarga makan apa? Tapi kalau narik, kadang cuma cukup buat bensin.” Kalimat itu menghantam keras. Bukan sekadar curhat, tapi potret ratusan ribu pengemudi lain yang hidup dalam jeratan sistem tak adil.
Mereka adalah tulang punggung transportasi digital. Mereka mengantar makanan yang kita nikmati, menjemput kita dari kemacetan, menjadi perpanjangan tangan ekonomi digital. Tapi ironisnya, mereka jarang mendapat bonus (52,08%), dan 37,40% bahkan tak pernah mendapat tip. Kenaikan tarif ojol tahun 2022, yang seharusnya menaikkan pendapatan, justru membuat pelanggan enggan menggunakan jasa mereka. Imbasnya? Pendapatan kembali merosot.
Aksi demonstrasi adalah bentuk perlawanan yang sah dan penting. Mematikan aplikasi secara serentak adalah teriakan kolektif bahwa mereka menolak dilupakan. Namun, demonstrasi saja tak cukup. Dibutuhkan serikat pekerja yang kuat, regulasi yang adil, dan kesadaran bersama.
Pemerintah harus turun tangan, tidak cukup dengan retorika “solusi win-win.” Diperlukan langkah nyata: audit transparansi potongan aplikasi, pengawasan algoritma, atau pengembangan aplikasi transportasi yang dikelola oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, para pengemudi harus membangun kekuatan kolektif. Solidaritas adalah senjata paling ampuh untuk melawan ketidakadilan yang sistemik.
Dan kita, sebagai pengguna, juga memegang peran. Setiap kali kita memesan makanan atau naik ojol, kita ikut menyokong sistem ini. Pernahkah kita bertanya, berapa sebenarnya yang diterima pengemudi dari tarif yang kita bayar? Dalam pusaran algoritma dan kapitalisme digital, nasib mereka bukan sekadar soal angka, melainkan soal martabat.
Mereka bukan hanya mitra dalam aplikasi. Mereka adalah manusia dengan keluarga, mimpi, dan harga diri. Pertanyaannya: sampai kapan kita membiarkan mereka terus terombang-ambing di antara deru motor dan jeratan algoritma?
Sumber:
- Di Balik Aksi Demo Besar Pengemudi Ojek Online – CNN Indonesia (https://www.youtube.com/watch?v=RV13nKUdERU)
- Respon Petinggi GoTo soal Potongan Tarif: Sesuai Keputusan Menhub [Zona Bisnis] Metro Tv (https://www.youtube.com/watch?v=ZLz5rY2SoUg)
- Ojol Demo Akbar Hari Ini, Istana: Kita Cari Win-Win Solution | News Flash – iNews (https://www.youtube.com/watch?v=Ss9AicHqj4I)