Opini
Nuklir, Dendam, dan Perang Bayangan Iran-Israel

Teheran kini menyimpan sesuatu yang tak dibayangkan banyak orang sebelumnya: peta rahasia fasilitas nuklir Zionis yang selama ini tersimpan dalam bayang-bayang. Pernyataan ini bukan sekadar gertakan diplomatik atau propaganda perang. Ini adalah sinyal keras dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, menyusul bocoran dokumen ribuan halaman dari sistem keamanan “Israel” yang disebut telah dikantongi intelijen Iran. Sejumlah lokasi yang bahkan belum pernah disebutkan publik, kini masuk dalam radar balas dendam. Dunia pun menahan napas.
Apa yang tampak di permukaan sebagai retorika biasa dari dua musuh bebuyutan Timur Tengah itu, pada kenyataannya adalah puncak dari perang bayangan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Ketika laporan Tasnim News dan sumber Al Mayadeen menyebut bahwa ribuan dokumen strategis berhasil dipindahkan secara rahasia ke Iran—lengkap dengan video dan foto—kita tidak sedang menyaksikan drama. Kita sedang menyaksikan bab baru dari eskalasi yang kian dekat dengan titik tidak bisa kembali. Perang yang selama ini diselimuti kabut akhirnya memperlihatkan bara merahnya ke dunia.
Iran menyebut bahwa informasi yang mereka miliki bukan hanya bersifat umum, tapi mencakup koordinat dan rincian teknis fasilitas nuklir tersembunyi Zionis. Ini bukan main-main. IRIB melaporkan bahwa dokumen tersebut memungkinkan “pejuang Islam” memberikan respons sepadan jika instalasi nuklir Iran diserang lebih dulu. Dalam bahasa strategi, ini adalah bentuk deterensi asimetris: jika Anda menyentuh kami, kami tahu di mana harus membalas—dan kami punya bukti. Dunia boleh tidak percaya. Tapi informasi seperti ini tidak diklaim secara terbuka tanpa kalkulasi yang matang.
Tentu, keberhasilan operasi intelijen sebesar ini, jika benar adanya, merupakan capaian besar bagi Iran. Namun lebih dari itu, ini adalah penegasan bahwa konflik antara Teheran dan Tel Aviv bukan lagi soal doktrin, tetapi soal eksistensi. Dalam konteks ini, ancaman bukan lagi sekadar taktik. Ia telah menjadi bahasa sehari-hari pertahanan nasional. Ini yang membuat pernyataan Direktur IAEA Rafael Grossi menjadi penting. Ia mengatakan bahwa jika Israel menyerang fasilitas nuklir Iran, hal itu justru bisa mendorong Teheran lebih dekat ke ambang pengembangan senjata nuklir. Ancaman justru bisa melahirkan keputusan final yang selama ini dihindari.
Grossi tidak berbicara dalam ruang hampa. Ia paham betul bahwa program nuklir Iran “dalam” dan “luas”, seperti diakuinya kepada The Jerusalem Post. Beberapa fasilitas bahkan dibangun di kedalaman yang mustahil dijangkau tanpa kekuatan destruktif yang luar biasa. Serangan, dalam situasi ini, bukan saja akan menimbulkan kerusakan fisik, tapi juga akan mengobarkan kehendak untuk melawan. Dan jika Iran benar-benar mundur dari NPT, dunia akan memasuki fase paling berbahaya sejak krisis misil Kuba di tahun 1962.
Kita tidak bisa membaca laporan-laporan ini tanpa mengingat bahwa kegagalan diplomasi punya konsekuensi sangat nyata. Sejak AS keluar dari kesepakatan nuklir JCPOA tahun 2018, kepercayaan Iran terhadap proses diplomatik runtuh. Kini, saat negosiasi kembali dicoba lewat jalur Oman, Iran justru menyoroti minimnya komitmen terhadap pencabutan sanksi. Bahkan, mereka menuduh laporan IAEA dipengaruhi dokumen palsu dari Israel. Saling tuding, saling curiga, dan saling bersiaga. Ini bukan skenario fiksi. Ini adalah realitas politik internasional yang dibiarkan membusuk terlalu lama.
Di Indonesia, kita mungkin merasa ini bukan urusan kita. Tapi kita tak bisa selamanya berdiri di pinggir arena sambil menonton dunia terbakar. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, Indonesia punya ikatan emosional dan geopolitik terhadap isu-isu di Timur Tengah. Kita bersuara lantang soal Palestina, tapi apakah kita juga cukup peka terhadap ancaman laten konflik yang bisa meledak sewaktu-waktu dan mengganggu stabilitas global, termasuk jalur energi dan perdagangan yang kita andalkan? Jika selat Hormuz kembali memanas, harga minyak dunia akan meroket—dan rakyat Indonesia akan langsung merasakannya.
Pertanyaannya kini bukan lagi soal siapa benar dan siapa salah. Dunia tidak kekurangan narasi pembenaran. Pertanyaannya adalah: sampai kapan kita bisa menahan ketegangan ini tanpa pecah menjadi perang terbuka? Jika ada satu pelajaran dari sejarah modern, maka itu adalah bahwa perang nuklir tak pernah dimulai dengan tombol merah. Ia dimulai dari kegagalan diplomasi, dari dendam yang tak selesai, dari penghinaan yang tak diakui, dan dari dokumen-dokumen yang bocor tanpa ada mekanisme tanggung jawab.
Pernyataan Donald Trump—yang entah disadari atau tidak—mengandung sinyal ganda. Ia menyebut Iran sebagai “negosiator hebat” sembari memperingatkan Netanyahu untuk tidak menyerang duluan karena “kita sudah dekat dengan solusi.” Tapi solusi seperti apa yang bisa lahir dari atmosfer penuh kecurigaan, ketika satu pihak mengancam dan pihak lain memamerkan peta fasilitas rahasia lawan? Diplomasi yang dipaksakan di bawah bayang-bayang ancaman hanyalah penundaan dari ledakan besar.
Dalam situasi ini, kita membutuhkan lebih dari sekadar pernyataan-pernyataan formal. Dunia butuh arah moral dan politik yang jelas: bahwa keamanan global tidak boleh ditentukan oleh satu pihak yang merasa kebal hukum internasional, atau oleh satu negara yang dibiarkan terus memperkuat senjata nuklir secara diam-diam. Iran bisa dikecam karena program nuklirnya, tapi siapa yang mengecam “Israel” yang bahkan tak pernah bersedia diawasi IAEA? Ketimpangan ini adalah sumber krisis yang sebenarnya.
Apa yang dibuka Iran ke publik bukan sekadar data. Itu adalah cermin yang memaksa dunia menatap wajah sendiri: wajah komunitas internasional yang membiarkan ketidakadilan berkembang, menormalisasi standar ganda, dan menganggap stabilitas sebagai hasil ancaman, bukan keadilan. Kita bisa bertanya, sampai kapan kita akan terus mengelola krisis dengan menumpuk krisis lain di atasnya?
Barangkali inilah saatnya kita tidak hanya menuntut perdamaian, tapi juga menuntut kejujuran. Sebab dalam perang bayangan ini, yang paling dulu hilang bukan senjata, tapi kebenaran.
Sumber:
Pingback: Ancaman Iran dan Penarikan AS: Ada Apa? - vichara.id