Opini
Normalisasi dengan Israel: Perdamaian atau Pengkhianatan Palestina?

Laporan baru-baru ini mengungkapkan komentar Donald Trump yang penuh optimisme tentang gencatan senjata Gaza. Dengan penuh semangat, ia menyatakan bahwa “kesepakatan epik” ini akan memperluas Abraham Accords, sebuah kesepakatan yang menghubungkan Israel dengan beberapa negara Arab. Namun, yang lebih menarik dari laporan ini bukanlah optimisme Trump, melainkan kenyataan pahit yang tersembunyi di baliknya.
Trump, yang selalu mencintai kata-kata bombastis, menyebut gencatan senjata ini sebagai “sebuah kemenangan besar.” Hanya ada satu masalah—pihak yang sebenarnya dirugikan, yaitu Palestina, tidak merasakan hal yang sama. Sejak awal konflik, Israel telah melakukan pembantaian besar-besaran di Gaza, dan kini gencatan senjata itu, menurut Trump, justru menjadi kesempatan emas untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara Arab. Seolah-olah Gaza hanyalah latar belakang dalam permainan besar ini.
Yang lebih mengejutkan adalah gagasan bahwa normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab—yang telah lama menjadi agenda besar Israel dan sekutunya—akan menguntungkan Palestina. Salah satu pernyataan Trump yang paling mencolok adalah: “Kita akan terus mempromosikan DAMAI MELALUI KEMAMPUAN MILITER.” Ini terdengar seperti trik sulap, di mana kedamaian dipromosikan dengan senjata, kekerasan, dan pengkhianatan. Lalu, siapa sebenarnya yang akan menikmati ‘kedamaian’ ini?
Banyak yang bertanya-tanya: apakah negara-negara Arab benar-benar bersedia menerima normalisasi ini setelah melihat ribuan nyawa melayang di Gaza? Tentu saja, mereka punya alasan kuat untuk mempertimbangkan hal tersebut—keuntungan politik dan ekonomi yang ditawarkan oleh hubungan dengan Israel. Namun, itu tidak mengubah kenyataan bahwa, bagi rakyat Palestina, ini adalah penyerahan yang pahit dan penuh penghianatan. Gaza yang hancur tak akan mendapat keadilan dari hubungan baru yang dibangun atas darah dan kehancuran.
Trump dan rekan-rekannya mungkin berpikir mereka sedang menulis ulang peta politik Timur Tengah, tetapi mereka tampaknya melupakan satu hal: rakyat Palestina. Dalam laporan tersebut, tidak ada satu pun kalimat yang benar-benar mengakui penderitaan mereka atau mengekspos kerugian besar yang dialami Gaza. Seolah-olah penderitaan ribuan warga Palestina adalah statistik yang tak layak dihitung dalam perjanjian mereka. Begitulah cara mereka menulis sejarah—mengabaikan korban dan memberi penghargaan kepada penjajah.
Maka, saat Trump berbicara tentang “keamanan bagi semua pihak,” kita harus bertanya: siapa yang benar-benar aman? Apakah ini tentang keamanan bagi rakyat Palestina yang terus menerus dihancurkan, ataukah ini hanya soal keamanan Israel dan negara-negara Arab yang lebih fokus pada kesepakatan ekonomi daripada keadilan? Negara-negara Arab mungkin merayakan “kemajuan diplomatik,” tapi rakyat Palestina akan tetap mengingat bagaimana mereka ditinggalkan dalam debu perjanjian ini.
Jadi, apakah perlawanan Palestina akan berhenti dengan “kesepakatan damai” yang diusung Trump? Tidak mungkin. Perlawanan ini bukan hanya soal senjata—ini adalah perlawanan ideologis dan moral. Mereka tidak akan menerima normalisasi ini begitu saja, karena bagi mereka, itu adalah sebuah penghianatan terhadap perjuangan panjang mereka. Bahkan jika sejumlah negara Arab berharap untuk meraih keuntungan dari hubungan dengan Israel, rakyat Palestina akan tetap menuntut keadilan dan kemerdekaan.
Dengan segala klaim mengenai gencatan senjata dan Abraham Accords, kita harus mengingat satu hal: perdamaian yang sejati tidak bisa dibeli dengan kesepakatan yang menguntungkan satu pihak dan mengorbankan yang lain. Trump dan sekutunya mungkin akan merayakan kemenangan diplomatik mereka, tetapi bagi Palestina, ini lebih mirip penghianatan yang menyakitkan. Kemenangan yang sesungguhnya hanya akan datang ketika keadilan ditegakkan—bukan ketika perjanjian dibuat atas darah dan penderitaan.