Connect with us

Opini

Noda di Tubuh Meta

Published

on

Di balik kilau teknologi dan janji konektivitas global, sebuah laporan kelam muncul dari Accra, ibu kota Ghana. The Bureau of Investigative Journalism dan The Guardian mengungkap operasi moderasi konten Meta yang “rahasia”, di mana 150 pekerja menangani materi mengerikan seperti kekerasan grafis dan pelecehan anak. Mereka bekerja dalam tekanan ekstrem, dengan dukungan psikologis minim, hingga menderita depresi, insomnia, bahkan percobaan bunuh diri. Kisah ini bukan sekadar berita, tetapi noda di tubuh raksasa teknologi.

Pusat moderasi di Accra bukanlah tempat kerja biasa. Pekerja, banyak di antaranya dari wilayah konflik, dilarang mengungkapkan pekerjaan mereka, bahkan kepada keluarga, dengan ancaman pemecatan atau deportasi. Mereka menghadapi target kerja yang kabur namun ketat, memaksa mereka menelusuri konten traumatis di platform seperti Facebook, Instagram, dan Messenger. Laporan menyebutkan kondisi kerja di Ghana lebih buruk dibandingkan pusat moderasi sebelumnya di Kenya, yang ditutup pada 2023.

Kenya menjadi babak sebelumnya dalam saga Meta. Di sana, pekerja moderasi konten yang dipekerjakan oleh Sama, kontraktor pihak ketiga, menggugat Meta atas tuduhan pemecatan tidak adil, pembungkaman serikat pekerja, dan paparan konten berbahaya tanpa perlindungan memadai. Setelah Sama mundur, Meta memindahkan operasinya ke Ghana, kali ini melalui Teleperformance, perusahaan dengan riwayat kontroversi hak buruh. Pemindahan ini menunjukkan pola: menghindari akuntabilitas dengan berpindah ke lokasi baru.

Teleperformance, yang mengakuisisi Majorel pada 2024, mengklaim memiliki “program kesejahteraan yang kuat” dengan psikolog berlisensi untuk mendukung pekerja. Namun, laporan TBIJ dan The Guardian membantah klaim ini. Pekerja di Accra melaporkan dukungan psikologis yang nyaris tidak ada, sementara tekanan untuk memenuhi kuota kerja mendorong mereka ke ambang kehancuran mental. Beberapa pekerja bahkan berusaha bunuh diri, sebuah tragedi yang menggarisbawahi kegagalan sistemik dalam melindungi mereka.

Martha Dark, co-executive director Foxglove, organisasi hukum yang mendukung gugatan melawan Meta, menyebut kondisi di Accra sebagai yang terburuk dalam enam tahun pengalamannya. “Saya kira Kenya sudah buruk, tapi ini lebih parah,” katanya. Foxglove kini bersiap menggugat Meta dan Teleperformance atas eksploitasi pekerja di Ghana. Pengacara Ghana, Carla Olympio, juga menyatakan kekecewaannya, menyoroti bagaimana raksasa teknologi terus mengabaikan hak pekerja demi keuntungan.

Eksploitasi ini bukan sekadar cerita lokal. Ini adalah cerminan dari model bisnis Big Tech yang sering kali mengorbankan kesejahteraan pekerja demi efisiensi. Moderasi konten adalah tulang punggung platform seperti Facebook, yang mengandalkan pekerja untuk menyaring materi berbahaya agar pengguna tetap aman. Namun, pekerja ini, yang menjadi garda terdepan, justru diperlakukan sebagai komoditas yang bisa diganti. Upah rendah, kondisi kerja buruk, dan ancaman terus-menerus adalah harga yang mereka bayar.

Data dari laporan menunjukkan bahwa Meta sengaja menutupi operasinya di Ghana. Tidak ada pengumuman resmi tentang kontraktor baru, dan Teleperformance tidak disebutkan sebagai mitra hingga investigasi media mengungkapnya. Kerahasiaan ini, menurut TBIJ, bertujuan melindungi Meta dari akuntabilitas. Dengan menyembunyikan detail operasional, Meta menghindari pengawasan publik dan hukum, sebuah taktik yang memperkuat persepsi bahwa perusahaan lebih mementingkan reputasi daripada memperbaiki kesalahan.

Pola ini bukan hal baru. Di Kenya, Meta menghadapi gugatan serupa setelah Sama dituduh memecat pekerja yang mencoba membentuk serikat. Ketika tekanan hukum meningkat, Meta tidak mereformasi praktiknya, melainkan pindah ke Ghana, di mana regulasi tenaga kerja mungkin lebih longgar. Teleperformance, dengan rekam jejaknya yang bermasalah, menjadi pilihan yang kontroversial. Pada 2022, serikat pekerja di Eropa menuduh Teleperformance melanggar hak pekerja, sebuah fakta yang seharusnya menjadi peringatan bagi Meta.

Kerahasiaan Meta juga mencerminkan masalah yang lebih luas dalam industri teknologi: kurangnya transparansi dalam rantai pasok tenaga kerja. Moderasi konten sering dialihdayakan ke negara-negara berkembang, di mana biaya tenaga kerja rendah dan perlindungan pekerja lemah. Menurut laporan 2023 dari Time, pekerja moderasi konten di negara-negara seperti India dan Filipina juga melaporkan kondisi serupa: trauma psikologis, upah rendah, dan tekanan kerja yang tidak manusiawi. Ghana hanyalah titik terbaru dalam peta eksploitasi ini.

Dampak dari praktik ini tidak hanya dirasakan oleh pekerja, tetapi juga oleh masyarakat luas. Ketika pekerja moderasi konten tidak didukung, kualitas moderasi bisa menurun, memungkinkan konten berbahaya menyebar di platform. Ini ironis, mengingat Meta sering mengklaim bahwa keamanan pengguna adalah prioritas. Namun, bagaimana mereka bisa menjaga keamanan pengguna jika pekerja yang menyaring konten berbahaya sendiri tidak dilindungi? Kegagalan ini adalah noda yang sulit dihapus.

Reaksi publik terhadap laporan ini mulai terlihat. Foxglove dan aktivis hak buruh menyerukan boikot dan tekanan hukum terhadap Meta. Di media sosial, terutama di X, pengguna mulai mendiskusikan isu ini, dengan beberapa menyerukan agar Meta bertanggung jawab. Namun, tanpa tekanan yang lebih besar—baik dari konsumen, regulator, atau investor—Meta mungkin akan terus menghindari konsekuensi. Sejarah menunjukkan bahwa perusahaan ini pandai mengelola krisis PR tanpa mengubah inti praktiknya.

Apa yang bisa dilakukan? Pertama, Meta harus transparan tentang operasi moderasi kontennya, termasuk nama kontraktor dan kondisi kerja. Kedua, mereka harus menerapkan standar global untuk kesejahteraan pekerja, termasuk akses wajib ke konseling psikologis dan batas kerja yang manusiawi. Ketiga, regulator di negara-negara seperti Ghana harus memperketat pengawasan terhadap perusahaan asing yang mengalihdayakan tenaga kerja. Tanpa langkah-langkah ini, noda di tubuh Meta hanya akan semakin dalam.

Namun, tanggung jawab tidak hanya ada pada Meta. Konsumen juga memiliki peran. Dengan terus menggunakan platform seperti Facebook dan Instagram tanpa mempertanyakan praktik di balik layar, kita secara tidak langsung mendukung sistem yang mengeksploitasi pekerja. Menuntut transparansi dan mendukung organisasi seperti Foxglove adalah langkah kecil yang bisa mengubah narasi. Jika kita ingin teknologi yang etis, kita harus menuntutnya sekarang.

Noda di tubuh Meta bukan sekadar cerita tentang Ghana atau Kenya. Ini adalah cerminan dari sistem yang mengutamakan keuntungan di atas kemanusiaan. Pekerja moderasi konten adalah pahlawan tak dikenal yang menjaga platform tetap bersih, namun mereka dibayar dengan trauma dan ancaman. Laporan ini adalah panggilan untuk bertindak—bagi Meta, bagi regulator, dan bagi kita semua. Sampai perubahan nyata terjadi, noda ini akan terus menghantui raksasa teknologi itu.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *