Opini
Netanyahu Vs Saudi

Benjamin Netanyahu kembali menunjukkan bakat luar biasanya dalam humor politik, kali ini dengan ide briliannya: memindahkan rakyat Palestina ke Arab Saudi. Dengan wajah serius, ia berkata, “Mereka punya banyak tanah di sana.” Tentu saja, ini bukan karena kepeduliannya terhadap Palestina, melainkan karena proyek pembersihan etnis harus dikemas dengan lebih elegan. Seorang jenius dalam absurditas.
Tak butuh waktu lama bagi seorang pejabat Saudi untuk membalas. Yousef bin Trad Al-Saadoun dari Dewan Syura Saudi, dengan kecerdasan yang tak kalah satir, mengusulkan agar Netanyahu dan rakyatnya dipindahkan ke Alaska, dan setelah itu ke Greenland—tentu saja setelah Trump berhasil mencaploknya. Skema kolonialisme modern seharusnya bisa diterapkan di mana saja, bukan hanya di Palestina.
Ide Netanyahu jelas bukan sekadar lelucon. Ia tengah menguji batas-batas kesabaran dunia dengan retorika yang semakin brutal. Dalam pikirannya, Gaza sudah menjadi negara Palestina sebelum 7 Oktober. Tentu saja, ia lupa bahwa negara biasanya memiliki kedaulatan, bukan sebuah penjara terbuka yang setiap jengkalnya diawasi oleh drone dan tembok beton.
Namun, Netanyahu bukan hanya seorang pemimpin Israel. Ia adalah dalang bagi pergeseran konsep kolonialisme abad ke-21. Ketika apartheid Afrika Selatan masih berkuasa, mereka setidaknya tidak pernah menyarankan penduduk kulit hitam agar dikirim ke Antartika. Netanyahu, dengan kreativitasnya, telah melampaui semua batasan moral yang tersisa.
Sementara itu, di Washington, Trump dengan tenang mengumumkan bahwa AS akan mengambil “kepemilikan” atas Gaza. Mungkin karena dalam pikirannya, dunia ini hanyalah real estate besar yang bisa dijual atau dibeli. Ketika Netanyahu berbicara tentang menyingkirkan Palestina, Trump berimajinasi tentang bagaimana ia bisa menambahkan Gaza ke portofolio properti keluarga.
Pernyataan resmi dari Saudi menegaskan kembali posisinya: tidak ada normalisasi tanpa negara Palestina. Tapi kita tahu, diplomasi itu cair. Ada tekanan, ada kesepakatan di balik layar, dan ada realitas politik yang bisa berubah sewaktu-waktu. Mungkin itulah sebabnya Netanyahu menganggap ide gilanya layak untuk diucapkan. Siapa tahu, dunia akhirnya terbiasa dengan kebiadaban.
Di tengah kebisingan ini, komunitas internasional bereaksi dengan kecaman yang tajam—atau setidaknya, cukup tajam untuk headline berita. Sebanyak 79 negara mengutuk langkah-langkah zionis yang terang-terangan merancang pembersihan etnis. Namun, Netanyahu tahu satu hal yang pasti: kutukan internasional hanyalah suara latar yang akan segera dilupakan begitu siklus berita berganti.
Mesir pun geram. Negeri yang sudah lama menjadi pialang utama dalam konflik Palestina-Israel itu menyebut pernyataan Netanyahu “tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diterima.” Tetapi, dalam kenyataannya, Mesir juga membiarkan Gaza tercekik dalam blokade bertahun-tahun. Jadi, marahnya Mesir lebih seperti seorang hakim yang kesal karena maling beroperasi tanpa izinnya.
Netanyahu tampaknya sedang menikmati permainan ini. Ia tahu, tak ada konsekuensi nyata. Amerika tetap akan mengirim bantuan militer. Eropa tetap akan ragu-ragu mengambil tindakan tegas. Arab tetap akan sibuk dengan masalah internal mereka sendiri. Sementara itu, di Gaza, bom tetap jatuh dan nyawa tetap melayang tanpa sempat berdebat di forum internasional.
Mungkin, bagi Netanyahu, ide pengusiran massal ini hanyalah strategi negosiasi. Ucapkan sesuatu yang sangat ekstrem, biarkan dunia marah, lalu ajukan alternatif yang sedikit lebih “masuk akal”—yang pada akhirnya tetap sama kejamnya. Dunia pun akan merasa telah mencegah bencana besar, padahal mereka hanya menyerah pada versi lain dari bencana itu.
Di akhir permainan ini, yang tersisa hanyalah Palestina yang terus terluka, dan dunia yang semakin terbiasa dengan ketidakadilan. Netanyahu bisa berkelakar sesukanya, Trump bisa bermain sebagai makelar geopolitik, dan para pemimpin Arab bisa terus menyusun pernyataan resmi. Namun, bagi rakyat Palestina, satu hal yang pasti: mereka tak akan pernah meninggalkan tanah mereka, bahkan jika Netanyahu menyuruh mereka pergi ke bulan.