Connect with us

Opini

Netanyahu Sewa Google Jadi Humas Perang

Published

on

Di tengah reruntuhan Gaza, ketika tubuh anak-anak terbujur kaku karena kelaparan, sebuah berita menyeruak dari jantung dunia digital: Google, raksasa teknologi yang sehari-hari kita andalkan untuk mencari resep nasi goreng atau jadwal KRL, disebut-sebut telah menerima 45 juta dolar dari kantor Netanyahu. Kontrak itu bukan untuk membangun ruang kelas, bukan pula untuk distribusi bantuan, melainkan untuk menjalankan propaganda bahwa “tidak ada kelaparan di Gaza.” Ironi yang begitu telanjang, sampai rasanya dunia seolah sedang menonton sandiwara murahan yang diproduksi dengan biaya mahal.

Saya kira inilah puncak absurditas abad ini: kelaparan yang sudah diverifikasi PBB, dengan ratusan nyawa melayang karena malnutrisi, masih harus “dilawan” dengan iklan berbayar. Jika realitas tak bisa dihapus, maka solusinya adalah mengiklankan kebohongan. Dan siapa yang lebih mumpuni untuk tugas itu selain Google dan YouTube—platform yang mengatur aliran informasi global, di mana kebenaran bisa disulap menjadi sekadar pilihan menu di layar gawai.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Bagi Netanyahu, kontrak ini bukan sekadar kampanye. Ia adalah tiket penyelamatan citra, sebuah lifeline untuk wajah politik yang kian tergerus. Seperti pasien yang panik kehilangan napas, ia menghubungi para raksasa digital agar menjadi Humas dadakan. Bayangkan: seorang perdana menteri negara yang konon “paling demokratis di Timur Tengah” harus menyewa Google, Meta, dan kawan-kawannya hanya untuk meyakinkan dunia bahwa yang dilihat mata kita semua adalah ilusi. Itu bukan kekuatan. Itu kepanikan.

Fenomena ini bukan pertama. Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB, sudah pernah memperingatkan bahwa perusahaan teknologi besar punya keterlibatan langsung dalam struktur pendudukan. Dari investasi Microsoft pada perusahaan pengawasan hingga sensor brutal Meta terhadap konten pro-Palestina, semua menunjukkan pola yang sama: Big Tech menjadi tangan panjang narasi zionis. Jadi, kabar Google ikut serta tidak mengejutkan. Yang mengejutkan justru seberapa vulgar dan terang-terangan kontrak ini diumumkan.

Propaganda semacam ini, menurut saya, bukan hanya soal membentuk persepsi. Ia adalah upaya menulis ulang realitas. Ketika rakyat Palestina mati kelaparan, iklan di layar kita menyodorkan pesan: “Lihat, mereka kenyang kok.” Di sini absurditas itu mencapai titik maksimal—ibarat seorang tetangga kaya membakar rumah Anda lalu menempel poster besar di depan gang bertuliskan “tidak ada kebakaran, semua baik-baik saja.” Publik tahu ia berbohong, tetapi karena ia punya uang untuk mencetak ribuan poster, kebohongan itu tetap menutupi pandangan banyak orang.

Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar dari kita adalah pengguna setia platform yang kini berfungsi sebagai pengeras suara propaganda perang. Kita membuka YouTube untuk menonton musik, diselipkan iklan tentang “kebenaran” versi Tel Aviv. Kita berselancar di X, menemukan unggahan yang menyalahkan PBB atas “sabotase bantuan.” Kita klik tautan berita, diarahkan pada narasi yang menyudutkan lembaga-lembaga kemanusiaan. Rasanya seperti makan nasi di warteg, tapi lauknya sudah ditentukan koki yang dibayar mahal oleh Netanyahu.

Ada yang mungkin berkata: ya namanya juga bisnis, perusahaan butuh uang. Tapi mari jujur sebentar. Berapa harga yang pantas untuk menyangkal kelaparan anak-anak? Apakah 45 juta dolar cukup untuk membungkam suara perut yang kosong? Jika logika dagang menjadi alasan, berarti kita semua sedang menyaksikan kapitalisme digital melucuti wajah moralnya. Google tidak lagi sekadar mesin pencari, ia berubah menjadi mesin pencitraan bagi kekuasaan yang kehilangan kendali narasi.

Di sinilah letak sindiran pahitnya. Semakin banyak uang yang dikeluarkan Netanyahu untuk propaganda, semakin jelas pula kepanikan yang melingkupinya. Seperti orang yang panik karena bau busuk bangkai di rumahnya, lalu membeli parfum termahal untuk menutupi bau itu. Parfum mungkin menipu sesaat, tapi tidak bisa menghapus sumber busuknya. Dunia internasional, perlahan tapi pasti, sudah mencium apa yang terjadi di Gaza. Dan parfum digital Google tak akan cukup kuat menutupi bau kemanusiaan yang membusuk itu.

Saya rasa kita di Indonesia bisa sangat memahami absurditas ini. Bukankah kita juga pernah menyaksikan bagaimana uang besar dipakai untuk mengatur opini publik? Dari buzzer politik di media sosial, iklan pencitraan pejabat, hingga kampanye yang lebih sibuk menutupi masalah daripada menyelesaikannya. Bedanya, di Palestina, taruhannya adalah nyawa, bukan sekadar elektabilitas.

Lalu apa yang harus kita simpulkan dari semua ini? Pertama, perang hari ini tidak hanya soal rudal dan drone, melainkan juga soal algoritma dan iklan. Kedua, perusahaan teknologi global bukanlah aktor netral—mereka bisa menjadi mitra perang jika harga yang ditawarkan tepat. Ketiga, setiap kali kita menekan tombol “skip ad,” mungkin kita juga sedang melompati sebuah propaganda yang dibiayai dengan darah orang lain.

Pada akhirnya, kontrak Google dengan Netanyahu ini adalah cermin paling jernih dari sebuah paradoks: di era informasi, kebenaran justru semakin rentan. Yang kuat bukan mereka yang punya bukti paling nyata, tetapi mereka yang punya dana paling besar untuk menyewa pengeras suara digital. Namun sejarah juga mengajarkan, betapapun kerasnya propaganda, realitas pada akhirnya akan berbicara sendiri. Dan di Gaza, realitas itu sudah berbicara dalam bahasa paling sunyi dan paling pedih: lapar yang merenggut nyawa.

Kita mungkin tak bisa menghentikan kontrak 45 juta dolar itu. Tapi kita bisa menolak untuk menjadi penonton pasif sandiwara ini. Dengan bersuara, dengan mengkritik, dengan tidak menelan mentah-mentah setiap iklan yang lewat, kita setidaknya menjaga nurani agar tetap waras. Sebab kalau nurani kita ikut tersandera iklan, maka perang ini bukan hanya membunuh tubuh orang Palestina, tapi juga membunuh akal sehat kita semua.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer