Opini
Netanyahu, Sandera, dan Politik Opera Sabun Israel

Dalam sebuah babak baru drama politik di Israel, pemerintahan Netanyahu tampaknya tengah menggelar sandiwara yang tak kalah menarik dari opera sabun. Bayangkan ini: kabinet keamanan mengumumkan kesepakatan pembebasan sandera, sembari menyisipkan tujuan perang tambahan, yakni meningkatkan keamanan di Tepi Barat. Namun, bukankah ini seperti menambahkan garam ke laut? Apa yang sebenarnya mereka cari?
Ironinya, kesepakatan ini justru memantik perpecahan dalam koalisi Netanyahu sendiri. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir bersikeras bahwa kesepakatan ini adalah bencana. Ben-Gvir bahkan mengancam akan keluar dari pemerintahan, sambil tetap bersumpah menjaga Netanyahu tetap berkuasa. Luar biasa, bukan? Sebuah ancaman yang tidak benar-benar mengancam.
Lalu, di sisi lain, ada para anggota kabinet yang menulis catatan mendukung kesepakatan ini sebelum pulang untuk merayakan Shabbat. “Siapa yang menyelamatkan satu nyawa Israel seolah menyelamatkan seluruh dunia,” tulis mereka. Sebuah kalimat yang menyentuh, tentu saja, tetapi apa artinya jika kesepakatan ini dianggap membuka pintu bagi lebih banyak kekerasan di masa depan?
Di tengah itu semua, IDF Chief of Staff Herzi Halevi memastikan bahwa kesepakatan ini tidak akan mengurangi kehadiran militer Israel di Koridor Philadelphi. Namun, apakah ini berarti Israel benar-benar berniat melindungi rakyatnya, atau hanya mempertahankan posisi di atas papan catur geopolitik? Pertanyaan ini mungkin lebih sulit dijawab daripada menyusun kesepakatan itu sendiri.
Sementara itu, di luar perbatasan, Hamas tersenyum lebar. Kesepakatan ini tidak hanya memberikan mereka waktu untuk bernafas tetapi juga keuntungan moral. Bagaimana tidak, mereka berhasil memaksa Israel bernegosiasi melalui pihak ketiga. Dalam hal ini, bahkan ada spekulasi bahwa Inggris memainkan peran besar dalam negosiasi ini, sebuah ironi sejarah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Namun, dampak perpecahan dalam koalisi Netanyahu ini menjadi teka-teki menarik. Apakah ini akan menjadi awal dari kejatuhan pemerintahannya? Kemungkinan itu tentu ada. Jika Ben-Gvir benar-benar keluar, pemerintahan ini akan semakin goyah. Tetapi pertanyaannya adalah: apakah ini akan membawa keuntungan bagi Palestina atau rakyat Israel sendiri? Mungkin jawabannya tergantung pada perspektif.
Bagi Palestina, perpecahan ini bisa menjadi celah untuk meraih keuntungan diplomatik. Jika Netanyahu tumbang, ada peluang bahwa kebijakan Israel akan berubah, meski tidak ada jaminan bahwa perubahan itu akan menguntungkan Palestina. Di sisi lain, bagi rakyat Israel, perpecahan ini bisa menjadi momen introspeksi, sebuah kesempatan untuk menilai ulang apakah jalan kekerasan benar-benar membawa keamanan.
Namun, mari kita tidak terlalu optimis. Politik di Israel, seperti yang telah kita lihat, sering kali lebih seperti permainan domino: satu gerakan kecil dapat menyebabkan efek besar, tetapi sering kali tidak terduga. Netanyahu mungkin akan tetap bertahan, seperti kucing dengan sembilan nyawa, atau dia mungkin akan jatuh dengan dramatis. Yang jelas, perpecahan ini adalah pengingat bahwa bahkan di tengah konflik, politik bisa menjadi permainan yang lebih berbahaya daripada perang itu sendiri.
Dan ketika debu konflik ini mereda, siapa yang benar-benar menang? Mungkin bukan rakyat Palestina, bukan pula rakyat Israel. Tetapi para politisi, seperti biasa, akan menemukan cara untuk memanfaatkan situasi ini demi keuntungan mereka sendiri. Pada akhirnya, mungkin yang kita butuhkan adalah bukan sekadar kesepakatan atau gencatan senjata, tetapi keberanian untuk memikirkan ulang apa artinya perdamaian.