Opini
Netanyahu: Perang Jadi Tameng Korupsi, Shin Bet Dibungkam?

Di tengah gemuruh konflik yang mengguncang wilayah Levant, sebuah drama politik terungkap di jantung kekuasaan Israel, menguak lapisan-lapisan intrik yang melibatkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan kepala Shin Bet, Ronen Bar. Dalam surat yang dikirim ke Mahkamah Tinggi Israel, Bar mengungkapkan bahwa Netanyahu berulang kali memintanya untuk memberikan opini keamanan palsu guna menunda persidangan korupsi yang membelit sang perdana menteri. Penolakan Bar untuk mematuhi permintaan itu memicu retakan kepercayaan yang berujung pada keputusan Netanyahu untuk memecatnya, sebuah langkah yang kini membakar perdebatan tentang independensi institusi dan motif di balik eskalasi perang.
Netanyahu, yang didakwa pada November 2019 atas tuduhan suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan, menghadapi tiga kasus besar yang dikenal sebagai Kasus 1000, 2000, dan 4000. Dalam Kasus 4000, ia dituduh memberikan keuntungan regulasi kepada seorang mogul telekomunikasi demi liputan media yang menguntungkan, sementara Kasus 2000 melibatkan kesepakatan serupa dengan penerbit surat kabar. Kasus 1000 mengungkap penerimaan hadiah senilai $200.000 berupa cerutu, sampanye, dan perhiasan dari para pengusaha demi promosi kepentingan mereka. Persidangan, yang dimulai pada Mei 2020, menjadi tonggak sejarah sebagai kali pertama seorang pemimpin Israel yang sedang menjabat menghadapi tuduhan kriminal di pengadilan.
Namun, proses hukum itu tidak berjalan mulus. Pengacara Netanyahu kerap menggunakan taktik penundaan, termasuk klaim bahwa sang perdana menteri berisiko diserang drone saat bersaksi di pengadilan terbuka, memaksa persidangan dipindahkan ke lokasi aman di Tel Aviv. Baru-baru ini, mereka juga berargumen bahwa perang di Gaza membuat Netanyahu tak bisa menghadiri sidang tiga kali seminggu, meskipun hakim hanya memberikan sedikit kelonggaran. Dalam suratnya, Bar mengungkapkan bahwa Netanyahu secara eksplisit memintanya untuk menyatakan bahwa situasi keamanan—terutama perang dengan Hezbollah di Lebanon—tidak memungkinkan kesaksian rutin, sebuah permintaan yang ditolak setelah Bar dan timnya menyimpulkan tidak ada ancaman nyata yang menghalangi jadwal sidang.
Penolakan Bar bukan tanpa konsekuensi. Ia menulis bahwa keputusannya untuk tetap independen memicu apa yang disebut Netanyahu sebagai “kurangnya kepercayaan” di antara mereka. Ketegangan ini memuncak ketika kabinet Netanyahu dengan suara bulat memilih untuk memecat Bar pada 21 Maret, sebuah keputusan yang segera menuai kecaman dari oposisi dan Mahkamah Agung Israel. Menurut laporan The Cradle, Bar mendesak pengadilan untuk membatalkan pemecatan itu, menyebutnya sebagai langkah politik yang mengancam otonomi Shin Bet. Ia memperingatkan bahwa tindakan tergesa-gesa ini, di tengah investigasi kriminal terhadap rekan-rekan Netanyahu, akan mengirim pesan kepada pejabat masa depan bahwa ketidakpatuhan pada elit politik berarti pemecatan instan.
Situasi ini menjadi semakin rumit dengan latar belakang perang yang melanda Israel. Saat Netanyahu diduga meminta opini keamanan dari Bar, Hezbollah tengah melancarkan serangan drone dan misil ke Tel Aviv, menciptakan suasana chaos yang tampaknya ingin dimanfaatkan sang perdana menteri untuk menunda persidangan tanpa batas. Namun, ketika Bar dan bahkan Home Front Command menolak mendukung narasi itu, Netanyahu kehilangan alat penting untuk melindungi dirinya dari sorotan hukum. Langkah memecat Bar bisa dilihat sebagai upaya terakhir untuk mengendalikan narasi keamanan, terutama ketika Mahkamah Agung kemudian membekukan keputusan pemecatan tersebut hingga sidang pada 8 April, sambil tetap mengizinkan Netanyahu mencari kandidat pengganti.
Kasus ini tidak berdiri sendiri. Ketegangan antara Netanyahu dan Bar telah membara sejak lama, termasuk atas peristiwa 7 Oktober, perang di Gaza, dan negosiasi pertukaran tahanan. Salah satu isu yang memperkeruh suasana adalah skandal “Qatargate,” di mana dua ajudan dekat Netanyahu, Yonatan Urich dan Eli Feldstein, ditangkap atas tuduhan berkomunikasi dengan agen asing, suap, penipuan, pelanggaran kepercayaan, dan pencucian uang terkait transfer dana Qatar ke Hamas. Qatar, yang dikenal sebagai pendukung politik Hamas dan mediator utama dalam perundingan gencatan senjata Gaza, menjadi pusat kontroversi ini. Oposisi menuduh Netanyahu berusaha menghalangi investigasi Shin Bet terhadap skandal tersebut, sementara ia sendiri menyebutnya sebagai “witch hunt.”
Di luar urusan domestik, Netanyahu juga menghadapi tekanan internasional. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menerbitkan surat perintah penangkapan untuknya dan mantan Menteri Keamanan Yoav Gallant pada November 2024 atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza, di mana lebih dari 50.400 orang—kebanyakan perempuan dan anak-anak—tewas sejak Oktober 2023. Tuduhan ini memperkuat persepsi bahwa Netanyahu mungkin sengaja memperpanjang konflik untuk mengalihkan perhatian dari masalah hukumnya, baik di dalam negeri maupun di panggung global. Dengan menghidupkan narasi ancaman eksternal, ia bisa memposisikan diri sebagai pemimpin yang tak tergantikan di masa krisis, sekaligus menunda akuntabilitas atas tuduhan yang menumpuk.
Namun, apakah perang benar-benar bagian dari strategi Netanyahu untuk menghindari persidangan? Kasus Shin Bet memberikan petunjuk yang menggugah. Tekanan terhadap Bar untuk memalsukan opini keamanan menunjukkan kesediaan Netanyahu untuk memanipulasi institusi demi kepentingan pribadi. Ketika Bar menolak, dan Home Front Command mengikuti jejak yang sama, sang perdana menteri beralih ke langkah ekstrem dengan mencoba memecat kepala Shin Bet—sebuah tindakan yang hanya bisa diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan hambatan. Pola ini menguatkan dugaan bahwa eskalasi militer, seperti perang dengan Hezbollah atau operasi di Gaza, mungkin bukan semata respons terhadap ancaman, melainkan juga alat untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan penundaan sidang.
Meski begitu, dugaan ini tetap membutuhkan bukti lebih konkret untuk menjadi fakta tak terbantahkan. Tanpa dokumen rahasia atau kesaksian langsung dari pelaku utama, spekulasi ini bergantung pada interpretasi pola perilaku Netanyahu. Namun, data yang ada—dari penolakan Bar hingga penangkapan ajudannya dalam “Qatargate”—membangun narasi yang sulit diabaikan. Laporan Al Mayadeen dan The Cradle, yang mengutip surat Bar dan dinamika politik terkini, menjadi sumber penting yang mendukung argumen ini, menunjukkan bahwa tekanan terhadap Shin Bet adalah cerminan dari strategi yang lebih luas.
Reaksi publik Israel terhadap skenario ini beragam. Oposisi dan Mahkamah Agung telah menunjukkan perlawanan, seperti terlihat dari pembekuan pemecatan Bar, tetapi pendukung Netanyahu mungkin melihatnya sebagai serangan politik terhadap pemimpin mereka. Di tingkat internasional, surat perintah ICC telah merusak legitimasi Netanyahu, namun sekutunya—terutama Amerika Serikat—belum menunjukkan tanda-tanda akan meninggalkannya. Jika dugaan bahwa perang adalah alat untuk menghindari hukum terbukti, dampaknya bisa mengguncang stabilitas politik Israel, memicu kemarahan publik, dan mempercepat tekanan global untuk mengakhiri konflik.
Pada akhirnya, kisah ini adalah pertarungan antara kekuasaan dan akuntabilitas. Langkah Mahkamah Agung untuk membekukan pemecatan Bar menawarkan secercah harapan bahwa sistem hukum Israel masih bisa menahan laju ambisi pribadi seorang pemimpin. Namun, jalan ke depan tetap penuh ketidakpastian. Dengan sidang dijadwalkan dua kali seminggu dan tekanan perang terus berlangsung, dunia menyaksikan bagaimana Netanyahu akan menyeimbangkan tuntutan pengadilan dengan narasi kepemimpinan dalam krisis—atau justru terus mencari celah untuk menghindari keduanya. Pertanyaannya kini sederhana namun menohok:
Apakah Israel tengah dipimpin oleh seorang negarawan di masa perang—atau oleh terdakwa yang menciptakan perang demi menyelamatkan dirinya dari jerat hukum?
sumber: