Connect with us

Opini

Netanyahu: Perang demi Kursi, Bukan Rakyat

Published

on

Di ruang penuh keputusasaan, keluarga tawanan Israel menangis di depan mikrofon, suara mereka pecah menuntut akhir perang Gaza dan pembebasan anak-anak mereka, seperti dilaporkan The Times of Israel. Einav Zangauker, ibu Matan yang disandera, menuding Netanyahu mengorbankan nyawa demi kekuasaan, menyebut tekanan militer hanya “membunuh” tawanan. Yehuda Cohen, ayah Nimrod, melabeli sang Perdana Menteri “kriminal terhadap rakyatnya.” Namun, Netanyahu berdiri kokoh, seolah dunia cuma papan catur politiknya.

Sementara keluarga menjerit, Netanyahu bersikukuh bahwa hanya “kemenangan total” atas Hamas yang menjamin keamanan Israel. Tapi setelah 19 bulan perang, apa hasilnya? Hamas, meski melemah, masih bertahan, menurut Jerusalem Post. Infrastruktur Gaza hancur, tapi roket tetap meluncur dari puing-puing. Tawanan, yang seharusnya prioritas, malah jadi korban serangan Israel sendiri, seperti dilaporkan Brigade al-Qassam. Zangauker tepat: tekanan militer bukan membebaskan, tapi membunuh. Logika apa ini?

Laporan Israel Hayom mengungkap ketidaksepakatan dalam Kabinet Keamanan, dengan militer dan politisi saling berteriak dalam “alterkasi verbal tajam.” Militer mengusulkan distribusi bantuan kemanusiaan dengan pengawasan ketat, tapi menteri ekstremis seperti Bezalel Smotrich menolak, takut bantuan jatuh ke Hamas. Sementara itu, WFP melaporkan Gaza kehabisan makanan, harga pangan melonjak 1.400%, dan 116.000 ton bantuan tertahan. Netanyahu, alih-alih mendengar rakyat, memilih Smotrich, seolah kelaparan adalah taktik jitu.

Netanyahu mengklaim perang ini demi keamanan nasional, tapi benarkah? Hamas berdiri sejak 1987, dan Israel selama ini “mengelola” ancaman dengan gencatan senjata dan dana Qatar, seperti diakui Haaretz pada 2019. Mengapa baru sekarang, pasca-7 Oktober 2023, ia ngotot menghancurkan Hamas? Bukan karena ancaman tiba-tiba membesar, tapi kegagalan intelijen itu memukul reputasinya. Perang jadi topeng untuk menutupi noda, tapi noda kini bercampur darah tawanan.

Rakyat Israel, lewat suara keluarga tawanan, menuntut diplomasi. Jajak pendapat The Times of Israel menunjukkan mayoritas mendukung kesepakatan pertukaran tawanan, seperti yang membebaskan Gilad Shalit pada 2011. Diplomasi logis: nyawa tawanan diutamakan, krisis kemanusiaan diredakan, tekanan internasional mereda. Tapi Netanyahu menolak, menyebut gencatan senjata “kapitulasi.” Kapitulasi kepada siapa? Hamas yang melemah, atau rakyatnya yang menjerit agar anak-anak mereka pulang?

Yang luput dari Netanyahu adalah bahwa Hamas bukan lagi sekadar kelompok bersenjata, melainkan ide perlawanan. Penderitaan Gaza—kelaparan, kehancuran, kematian—memperkuat narasi bahwa hanya perjuangan bersenjata melawan Israel. Sejarah membuktikan: IRA di Irlandia Utara dan ANC di Afrika Selatan tak mati oleh peluru, tapi diredakan oleh dialog. Netanyahu, dengan tank dan bomnya, seolah ingin menulis ulang sejarah, meski tiap ledakan menciptakan lebih banyak “martir” Hamas.

Netanyahu bersikeras menghancurkan ide dengan kekerasan, tapi malah memperkuatnya. Penutupan jalur bantuan sejak 2 Maret, seperti dilaporkan Al Mayadeen, memaksa warga Gaza mencari kayu bakar untuk memasak, sementara anak-anak kelaparan. Ini bukan strategi keamanan; ini resep radikalisasi. Jika Hamas sebagai organisasi hancur, ide perlawanannya akan hidup di hati pemuda Gaza, di media sosial, di demonstrasi global. Netanyahu jadi arsitek kekalahan strategisnya sendiri.

Tawanan—yang oleh Cohen disebut “pion di papan catur” Netanyahu—terus terancam. Laporan al-Qassam menunjukkan beberapa tewas oleh serangan Israel, ironisnya dalam misi yang katanya untuk “membebaskan” mereka. Haaretz mencatat beberapa tawanan meninggal, entah oleh bom atau kondisi penahanan. Setiap hari perang berlanjut, peluang mereka pulang hidup menyusut. Tapi Netanyahu, seolah buta, memilih perang yang tak kunjung menang demi menyenangkan Smotrich dan Ben-Gvir.

Mengapa ia begitu keras kepala? Koalisi sayap kanan adalah penopang kekuasaannya. Jika beralih ke diplomasi, Smotrich dan Ben-Gvir bisa menarik dukungan, memicu pemilu yang menurut Channel 12 Israel dimenangkan oposisi. Ditambah tuduhan korupsi yang mengintai, Netanyahu punya alasan egois untuk memperpanjang perang: menunda akuntabilitas. Cohen tak sepenuhnya salah menyebutnya “kriminal”; meski secara hukum debatable, secara moral, mengorbankan tawanan demi kursi adalah pengkhianatan.

Rakyat Israel menawarkan jalan logis: kesepakatan pertukaran tawanan bisa menyelamatkan nyawa, seperti pada 2011. Membuka jalur bantuan dengan pengawasan PBB bisa meredakan kelaparan di Gaza, melemahkan narasi perlawanan. Gencatan senjata sementara, dimediasi Qatar atau Mesir, bisa membuka ruang negosiasi jangka panjang. Ini bukan kapitulasi, tapi strategi cerdas untuk mengelola ide perlawanan, bukan memperkuatnya dengan bom yang hanya menciptakan lebih banyak musuh.

Netanyahu memilih jalan lain: perang tanpa akhir, seolah waktu tak berarti bagi tawanan atau warga Gaza yang kelaparan. WFP memperingatkan Gaza menghadapi “titik kritis,” dengan toko roti tutup dan pasar ambruk. Polarisasi di Israel membesar, dengan keluarga tawanan dan oposisi melawan koalisi sayap kanan. Ketidaksepakatan dalam Kabinet Keamanan membuktikan bahwa bahkan militer ragu pada strategi ini. Namun, Netanyahu, bak raja, terus melangkah di atas jeritan rakyat.

Satir terbesar: Netanyahu mengira ia menang melawan Hamas, tapi ia kalah melawan dirinya sendiri. Setiap bom memupuk benih perlawanan baru. Setiap tawanan yang tak pulang membuatnya kehilangan hati rakyat. Setiap penolakan diplomasi menggali kubur politiknya. Hamas mungkin melemah, tapi ide perlawanannya tumbuh subur di puing-puing Gaza, dan Netanyahu, sang “penyelamat Israel,” jadi katalisnya.

Apa akhir cerita ini? Mungkin Netanyahu akan berperang sampai Gaza rata, tawanan hilang, dan dunia menoleh pergi. Atau, rakyat Israel, dengan suara menggema, akan memaksanya mendengar. Diplomasi bukan tanda lemah, tapi keberanian memilih nyawa di atas ego. Sayangnya, untuk pria yang lebih takut kehilangan kursi daripada hati rakyatnya, pilihan itu tampak terlalu mulia.

Mungkin suatu hari, ketika puing-puing Gaza dingin dan jeritan keluarga tawanan reda, Netanyahu akan menoleh ke cermin. Di sana, ia tak akan melihat penyelamat Israel, tapi seorang aktor dalam tragedi yang ia tulis sendiri. Rakyatnya menawarkan jalan keluar—diplomasi, nyawa, harapan. Tapi ia memilih perang, kekuasaan, dan ilusi kemenangan. Dan di Gaza, ide perlawanan tersenyum, tahu bahwa bom Netanyahu adalah bahan bakarnya.

 

Daftar Sumber

  1. The Times of Israel. “Israeli Captive Families Call for Immediate Deal to End Gaza War, Return Hostages.”
  2. Al Mayadeen. “Captive Families Say Netanyahu ‘Criminal Against His Own People’.” Diakses dari https://english.almayadeen.net/news/politics/captive-families-say-netanyahu–criminal-against-his-own-peo.
  3. Al Mayadeen. “‘Major Disagreements’ Between IOF, Cabinet Over Gaza War Policies.” Diakses dari https://english.almayadeen.net/news/politics/-major-disagreements–between-iof–cabinet-over-gaza-war-pol.
  4. Israel Hayom. “Israeli Security Cabinet Faces Major Disagreements Over Gaza War, Humanitarian Aid.”
  5. World Food Programme (WFP). “WFP Runs Out of Food Stocks in Gaza, Warns of Humanitarian Crisis.”
  6. Jerusalem Post. “Hamas Weakened but Still Active After 19 Months of War.”
  7. “Hostages Killed in Israeli Strikes, Conditions in Captivity Worsen.
  8. “Qatar Funds to Hamas: Israel’s Policy of Containment.”
  9. Channel 12 Israel. “Polls Show Netanyahu Likely to Lose Election to Opposition.” Jajak pendapat tentang prospek politik Netanyahu, 2024.
  10. “Unemployment in Gaza Reaches 50% Amid Ongoing Conflict.” Laporan tentang kondisi ekonomi Gaza, 2024.
  11. Middle East Institute. “Proposed Demilitarization and Economic Development for Gaza.”
  12. Al Jazeera. “Gaza Death Toll Rises Amid Israeli Military Operations.”
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *