Connect with us

Opini

Netanyahu Membakar Gaza, Membakar Negaranya Sendiri

Published

on

Sulit membayangkan absurditas yang kini terbentang di jantung politik Tel Aviv dan Yerusalem. Ketika ban-ban terbakar di depan rumah seorang perdana menteri, bukan karena rakyat menolak musuh di luar, melainkan karena mereka menjerit minta keluarganya sendiri dipulangkan dari penjara bawah tanah Gaza, kita tahu ada yang benar-benar retak dalam nalar sebuah bangsa. Api yang biasanya diarahkan keluar kini menyala ke dalam, ke jantung kekuasaan yang kian kehilangan kendali.

Demonstrasi itu bukan sekadar kerumunan emosional, melainkan manifestasi dari rasa frustasi kolektif. Bayangkan, keluarga para tawanan harus berteriak di jalanan hanya agar pemerintah mereka—yang katanya kuat, modern, berteknologi tinggi—mau mengutamakan nyawa warganya ketimbang kursi kekuasaan seorang politisi tua. Netanyahu, dengan wajah penuh kalkulasi politik, menolak tawaran kesepakatan gencatan senjata enam puluh hari, meski kepala staf militernya sendiri memperingatkan bahwa nyawa para tawanan bisa melayang setiap detik. Ironi apa yang lebih telanjang dari ini?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Dan lihat bagaimana absurditas itu bergulir. Di Gaza, rumah-rumah roboh, anak-anak lapar, keluarga terpisah tanpa tahu kapan bisa berkumpul lagi. Di Tel Aviv, para politisi berdebat soal siapa yang akan disalahkan jika tawanan tak pernah kembali. Dua dunia yang terhubung oleh satu benang: keras kepala Netanyahu. Di sinilah absurditas itu terasa paling pahit—bahwa perang yang digembar-gemborkan demi keamanan justru melahirkan ketidakamanan paling akut di dalam negeri mereka sendiri.

Haaretz menulis dengan getir, negara ini sedang berjalan dengan mata terbuka menuju bencana. Kalimat yang sederhana, tapi mengandung bobot sejarah. Kita pernah mendengar peringatan serupa di tempat lain: negeri yang sibuk mengurusi musuh di luar tapi abai pada api yang menjalar dari dalam. Sejarah penuh dengan kisah pemimpin yang gagal membaca tanda-tanda, menutup telinga pada rakyat, lalu terperosok dalam reruntuhan yang mereka bangun sendiri. Netanyahu tampaknya sedang berlari di jalur yang sama.

Saya rasa kita semua mengenal tipe orang seperti ini. Dalam lingkup kecil—di kantor, organisasi, bahkan keluarga—ada figur yang rela mengorbankan keharmonisan demi mempertahankan gengsi. Bedanya, kali ini taruhannya bukan rapat bubar berantakan atau reuni keluarga penuh cemberut, melainkan ratusan nyawa. Ada yang bilang kekuasaan itu candu; mungkin benar, sebab hanya kecanduanlah yang membuat seseorang menolak obat penawar meski sudah tahu penyakitnya semakin parah.

Yang lebih menyedihkan, bahkan sekutu terdekatnya, seperti Donald Trump, mulai gelisah. Tapi kegelisahan itu pun tak lahir dari rasa kemanusiaan, melainkan dari kalkulasi reputasi. “Mereka menang perang, tapi kalah perang citra,” katanya. Betapa getir. Jadi, ratusan ribu warga Gaza yang kehilangan rumah hanyalah “variabel” dalam persamaan citra internasional. Betapa dangkal dunia kita, yang menilai tragedi bukan dari jumlah korban, melainkan dari jumlah “like” di media sosial atau headline di CNN.

Di lapangan, metode militer yang digunakan pun semakin memperlihatkan kebangkrutan moral. Tuduhan bahwa pasukan memaksa warga Palestina menjadi tameng hidup seakan hanya catatan kaki dalam editorial, padahal di situlah inti kehancuran nilai sebuah bangsa. Jika sebuah tentara yang mengaku “paling bermoral di dunia” beroperasi dengan cara yang bahkan tak ingin kita bayangkan dilakukan pada hewan sekalipun, maka label moral itu bukan hanya retak—ia sudah hancur berkeping.

Namun, di luar laporan itu, ada hal yang lebih subtil tapi tak kalah penting: diamnya sebagian besar elite politik. Mereka tahu perang ini kehilangan arah, mereka tahu rakyat marah, tapi sebagian besar memilih diam atau hanya mengkritik setengah hati. Mengapa? Karena kalkulasi politik tak kalah dingin dari kalkulasi militer. Siapa yang berani terlalu lantang, bisa tersingkir dari peta kekuasaan. Jadi mereka memilih bertahan di zona abu-abu, membiarkan rakyat mengurus sendiri frustrasi mereka di jalanan.

Netanyahu mungkin berpikir sejarah akan mengingatnya sebagai pemimpin keras kepala yang “tak pernah menyerah”. Tapi saya curiga sejarah justru akan menuliskannya sebagai lelaki yang rela menukar negaranya dengan ego pribadi. Sama seperti kita mengingat para diktator lama yang berkeras mempertahankan kursinya di tengah reruntuhan kota. Dan jika kita tarik ke konteks Indonesia, saya yakin banyak dari kita masih trauma dengan bagaimana para pemimpin terdahulu menutup mata pada jeritan rakyat hanya demi memperpanjang masa berkuasa. Luka semacam itu tak mudah sembuh, dan saya rasa rakyat Israel kini sedang mencicipi pahit yang sama.

Masalahnya, perang ini sudah kehilangan arah. “Mengalahkan Hamas” sudah jadi slogan tanpa makna; “mengembalikan keamanan” terdengar sumbang di tengah sirene ambulans yang tak berhenti; dan “membawa pulang tawanan” berubah jadi bahan olok-olok, sebab justru rakyat sendiri yang harus memaksa pemimpinnya untuk bertindak. Bahkan media mainstream di sana berteriak agar pemerintah berhenti. Pertanyaannya: sampai kapan rakyat harus mengemis pada pemimpinnya sendiri?

Kita tahu, perang jarang sekali dimenangkan di medan tempur. Perang sejati dimenangkan dalam pikiran publik—di legitimasi, di kepercayaan, di moral. Dan di titik ini, Netanyahu kalah telak. Ia boleh saja mengklaim menghancurkan terowongan atau menewaskan komandan musuh, tapi apa artinya semua itu jika rakyatnya sendiri merasa dikhianati? Apa artinya semua itu jika dunia menatap dengan jijik, dan bahkan sekutunya mengeluh soal citra buruk?

Bayangkan seorang kepala keluarga yang bersikeras membakar rumah tetangganya, padahal api sudah merembet ke atap rumahnya sendiri. Alih-alih mengambil air untuk memadamkan, ia justru menambah bensin agar api tetangga makin besar, berharap itu akan membuatnya terlihat gagah. Hasilnya? Ia kehilangan rumah, kehilangan keluarga, dan pada akhirnya kehilangan segalanya. Analogi ini sederhana, tapi cukup menggambarkan kebijakan Netanyahu hari ini.

Gaza hancur, iya. Tapi jangan lupa: yang sebenarnya runtuh adalah pondasi moral dan politik di dalam negeri Israel. Ketika keluarga tawanan turun ke jalan, ketika ban-ban terbakar bukan di perbatasan tapi di depan rumah perdana menteri, ketika media elite menyerukan “berhenti sekarang”, itu tanda bukan hanya musuh di luar yang melawan, tapi juga nurani di dalam yang memberontak.

Dan jika Netanyahu tetap keras kepala, satu hal yang pasti: ia mungkin berhasil bertahan sebentar di kursinya, tapi ia sedang menulis akhir yang kelam, baik untuk dirinya maupun untuk bangsa yang dipimpinnya. Dalam bahasa yang sederhana, ia sedang membakar Gaza, sambil tanpa sadar membakar negaranya sendiri.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer