Connect with us

Opini

Netanyahu Main Dadu: Pemilu Dini di Tengah Krisis Haredi

Published

on

Dalam pusaran politik Israel yang bagaikan labirin tanpa ujung, spekulasi kini menyelubungi pemerintahan Benjamin Netanyahu seperti kabut yang tak mau pergi. Bisik-bisik di korong Knesset menyebut sang perdana menteri mungkin akan membubarkan koalisinya sendiri, melempar dadu dalam pemilu dini yang penuh risiko. Alasannya? Krisis wajib militer Haredi, duri tajam yang mengoyak jahitan koalisi rapuhnya. Ada absurditas yang menggelitik di sini: sebuah negara yang berperang, yang mengklaim diri sebagai benteng keamanan, justru tersandung pada pertengkaran siapa yang boleh menghindari seragam militer.

Netanyahu, sang maestro politik yang selalu punya trik di lengan jasnya, tampaknya melihat pemilu dini sebagai pelarian dari jerat yang kian mencekik. Koalisinya, sebuah pernikahan politik yang canggung antara ultra-Ortodoks Haredi, nasionalis garis keras, dan oportunis politik, kini di ambang perceraian. Partai-partai Haredi seperti Shas dan United Torah Judaism, yang menguasai 18 kursi, mengancam hengkang jika pengecualian wajib militer mereka dicabut. Sementara itu, anggota koalisi lain, seperti Bezalel Smotrich, mendengar bisik kemarahan dari pemilih mereka yang muak dengan “ketidakadilan” ini. Ironis, bukan? Sebuah pemerintahan yang bersumpah melindungi Israel dari ancaman eksternal justru terancam runtuh oleh pertengkaran internal soal siapa yang harus mengangkat senjata.

Isu Haredi ini bukan sekadar soal logistik militer; ini adalah cermin retaknya identitas Israel. Komunitas ultra-Ortodoks, yang kini 13% dari populasi, telah lama hidup di dunia paralel, mengabdikan diri pada studi Torah sambil menghindari wajib militer yang menjadi tulang punggung negara. Sebanyak 76% warga Israel, menurut jajak pendapat, mendukung perekrutan Haredi, namun hanya 19% yang percaya undang-undang koalisi saat ini akan berhasil. Publik marah, reservis dan warga sipil meradang, merasa beban pertahanan negara tak adil dibagi. Sementara itu, Mahkamah Agung, dengan pedang hukumnya, telah memutuskan bahwa pengecualian Haredi melanggar prinsip kesetaraan, memaksa Netanyahu mencari solusi yang tak kunjung ada. Sebuah negara yang berperang di Gaza, menghadapi Hizbullah di utara, tapi sibuk memikirkan bagaimana memaksa yeshiva boy mengenakan seragam.

Netanyahu, bagai pemain catur ulung, tahu bahwa kompromi dengan Haredi hampir mustahil. Seorang menteri senior, seperti dikutip Zman Yisrael, berkata, “Netanyahu tahu tak ada solusi. Dia hanya membeli waktu, lalu akan bilang, ‘Saya tak menyerah pada soal penting ini,’ dan memenangkan pemilu dengan dukungan reservis.” Cerdik, tapi sinis. Dengan memicu pemilu dini, Netanyahu ingin mengalihkan narasi, menyalahkan Mahkamah Agung, dan memobilisasi kemarahan publik terhadap Haredi. Ini politik ala Bibi: ketika terpojok, ubah papan permainan, lempar krisis ke pangkuan pemilih, dan berharap keajaiban kampanye membawanya kembali ke kursi kekuasaan.

Tapi betapa rapuhnya taruhan ini. Koalisi Netanyahu kini hanya punya 68 kursi di Knesset setelah Benny Gantz kabur pada Juni 2024. Kepergian satu partai besar—katakanlah Shas—bisa meruntuhkan semuanya. Di sisi lain, perang di Gaza telah menghabiskan kepercayaan publik. Jajak pendapat menunjukkan hanya 20-25% warga puas dengan kinerja Netanyahu. Kritik atas kegagalan militer, isolasi diplomatik, dan biaya hidup yang melonjak membuatnya terlihat seperti kapten kapal yang kehilangan kompas. Pemilu dini? Bisa jadi senjata makan tuan. Jika Likud hanya meraih 20-25 kursi, seperti prediksi survei, Netanyahu mungkin akan jadi penutup karier politiknya sendiri.

Lalu ada rancangan undang-undang baru dari Menteri Keamanan Israel Katz, yang ingin 50% pria Haredi direkrut pada 2031, lengkap dengan sanksi bagi yeshiva yang bandel. Kedengarannya ambisius, tapi coba dengar suara Haredi: “Kami akan mati daripada mendaftar,” kata mereka. Pemimpin ultra-Ortodoks menyebut ini sebagai serangan terhadap kebebasan beragama, sebuah upaya untuk “mensekulerkan” anak muda mereka. Sementara itu, warga sekuler Israel, yang sudah muak dengan pengecualian ini, melihatnya sebagai keadilan yang terlambat. Tapi dengan hanya 19% yang optimis tentang undang-undang ini, rasanya seperti menabur garam di laut—sia-sia belaka.

Ada ironi pahit di sini. Israel, yang selalu membanggakan diri sebagai negara yang bersatu melawan ancaman, ternyata terpecah oleh pertanyaan mendasar: siapa yang harus bertempur? Di tengah perang Gaza yang tak kunjung usai, ketika tentara cadangan dipanggil berulang kali, Haredi tetap duduk manis di yeshiva mereka, memicu kemarahan yang kian membara. Netanyahu, dengan insting bertahan hidupnya yang legendaris, melihat pemilu dini sebagai cara untuk menunggang gelombang kemarahan ini. Tapi, seperti penutur Talmud yang cerdas, ia tahu risiko: jika salah langkah, ia bisa kehilangan segalanya.

Sebuah pemerintahan yang sibuk bertengkar soal wajib militer sementara roket dari Gaza dan Lebanon mengintai. Netanyahu, bagai aktor teater yang tak pernah lelah, mungkin berpikir pemilu akan memberinya panggung baru untuk memainkan peran favoritnya—sang penyelamat Israel. Tapi publik bukan penonton yang mudah ditipu lagi. Dengan 54% warga skeptis terhadap undang-undang Haredi dan kepercayaan pada pemerintah merosot, pemilu bisa jadi seperti melempar korek api ke tumpukan jerami.

Apa yang kita pelajari dari sandiwara ini? Politik Israel adalah cermin dunia yang lebih luas: ketika identitas, agama, dan kekuasaan bertabrakan, solusi rasional jadi barang langka. Netanyahu, dengan segala kecerdikannya, mungkin bisa menunda krisis ini, tapi tak bisa lari selamanya. Haredi, dengan dunia paralel mereka, tak akan tunduk begitu saja. Dan rakyat Israel, yang lelah dengan janji-janji kosong, mungkin akan menulis babak akhir bagi Bibi di bilik suara. Atau, siapa tahu, ia akan kembali menari di atas puing-puing krisis yang ia ciptakan sendiri. Itulah politik—dan itulah Israel, negeri yang tak pernah kehabisan drama.

Sementara itu, kita hanya bisa menonton, tersenyum miris, dan bertanya: kapan badai ini akan reda? Mungkin tak pernah. Karena di sini, krisis bukan sekadar masalah—ia adalah cara hidup. Dan Netanyahu, dengan topi sulapnya, tahu betul bagaimana menjadikan kekacauan sebagai panggungnya. Tapi, seperti kata pepatah lokal, “Bila kau bermain dengan api, jangan kaget kalau akhirnya terbakar.”

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Netanyahu Tersudut, Apakah Palestina Akan Menang? - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *