Opini
Netanyahu: Gagal Memimpin, Gagal Merasa

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mencoba membingkai penundaan pernikahan putranya, Avner, sebagai simbol persatuan dan penderitaan bersama para pemukim Israel. Namun, alih-alih mengundang simpati, pernyataan itu justru memicu gelombang ejekan luas di kalangan masyarakat Israel sendiri, khususnya di internet berbahasa Ibrani. Reaksi publik begitu keras, seolah menunjukkan bahwa simpati terhadap Netanyahu telah tergerus habis. Kata-katanya bagai roket yang salah sasaran, bukan menyatukan, tapi justru memperlebar jurang antara elite politik yang hidup nyaman dan rakyat yang berduka karena kehilangan anggota keluarga mereka akibat konflik yang belum reda.
Di saat banyak keluarga di Israel meratapi kematian anak, saudara, atau orang tua mereka, Netanyahu berbicara tentang pesta keluarga yang tertunda. Upaya untuk menyamakan penundaan perayaan pernikahan dengan penderitaan nasional terasa seperti kekeliruan yang fatal—dan mungkin lebih dari itu, pengkhianatan terhadap rasa empati publik. Penyataan tersebut menjadi semacam simbol baru dari keterputusan pemimpin yang sudah terlalu lama berkuasa dan kehilangan kepekaan terhadap realitas bangsanya.
Menurut laporan Al Mayadeen pada 19 Juni 2025, Netanyahu secara terbuka menyatakan bahwa keluarganya menunda pernikahan Avner demi menunjukkan solidaritas terhadap penderitaan nasional. Namun publik menanggapinya secara sinis. Cemoohan, sindiran, dan meme menyebar di media sosial, mengolok-olok absurditas perbandingan tersebut. Bagi warga yang sedang menggali kuburan, melihat pemimpinnya bersedih karena tidak bisa menggelar pesta pernikahan anaknya terasa seperti penghinaan. Penyebutan istrinya, Sara Netanyahu, sebagai “ibu pengantin yang kecewa” justru memperburuk keadaan. Frasa tersebut terdengar dramatis dan tak layak, apalagi di tengah situasi yang sedang begitu genting. Bukannya mengundang empati, ia malah terdengar dangkal dan mempertegas kesan pemimpin yang hidup di dalam gelembung keluarga istananya sendiri.
Netanyahu bahkan mencoba meniru nada heroik Winston Churchill, dengan mengatakan bahwa penderitaan rakyat Israel saat ini mengingatkannya pada rakyat Inggris ketika menghadapi Blitz. “Ini benar-benar mengingatkan saya pada rakyat Inggris selama Blitz. Kita sedang menghadapi Blitz,” ujarnya. Tapi publik tahu, perbandingan itu tidak berdasar. Blitz merupakan serangan udara intensif dari Nazi Jerman yang menewaskan lebih dari 40.000 warga sipil di Inggris antara 1940 dan 1941. Menyamakan itu dengan penundaan pernikahan, bahkan di tengah perang sekalipun, adalah lompatan logika yang sulit diterima. Pernyataan ini tidak hanya gagal secara retoris, tetapi juga memperlihatkan upaya manipulatif yang kasar, seperti ingin menumpang pada memori kolektif sejarah untuk menutup luka yang sedang terbuka.
Dalam politik, narasi adalah alat. Namun ketika narasi digunakan untuk menyamarkan kenyataan, ia menjadi alat penipuan. Dan Netanyahu, dalam kasus ini, menunjukkan betapa berbahayanya seorang pemimpin yang lebih mengandalkan dramatisasi pribadi daripada menanggapi krisis secara nyata dan serius. Komentar soal pernikahan itu seolah menegaskan bahwa bagi Netanyahu, rasa kehilangan berarti tidak bisa berpesta, bukan kehilangan nyawa atau masa depan.
Sebagai pemimpin yang telah berkuasa selama 17 tahun—pertama pada 1996–1999, dan kembali sejak 2009 hingga sekarang—Netanyahu membangun citra sebagai penyintas politik. Tapi dalam upaya mempertahankan kekuasaan, ia kehilangan substansi kepemimpinan itu sendiri. Sepanjang 2023, ia telah menghadapi gelombang demonstrasi besar akibat reformasi yudisial yang dinilai melemahkan independensi peradilan. Koalisinya yang semakin konservatif, bahkan ekstrem, menambah keretakan dalam masyarakat Israel. Dalam konteks itu, komentar tentang pernikahan bukan sekadar kesalahan komunikasi, melainkan sinyal bahwa Netanyahu kini berdiri sendirian dalam sebuah panggung kekuasaan yang terputus dari panggung kenyataan.
Perang yang sedang berlangsung saat itu, yang menurut laporan Al Mayadeen dipicu oleh ketegangan yang meningkat dengan Iran, memperburuk sentimen publik terhadap Netanyahu. Tidak dijelaskan secara rinci jumlah korban atau rincian operasi militer, namun fakta bahwa Netanyahu memilih membicarakan soal keluarga di tengah konflik menunjukkan betapa sempitnya sudut pandang yang ia gunakan dalam menanggapi krisis. Ia tidak berbicara soal jalan keluar, tidak menyampaikan empati yang tulus, dan tidak menenangkan publik yang dilanda kecemasan. Ia justru menyampaikan keluhan pribadi yang tak relevan dan mengabaikan realitas penderitaan nasional.
Ini bukan kali pertama Netanyahu gagal membaca suasana batin rakyatnya. Namun, kali ini skalanya lebih besar. Rasa jenuh, amarah, dan ketidakpercayaan publik kini menyatu dalam satu ledakan digital yang mencerminkan titik balik kepercayaan terhadapnya. Dan ini bukan hanya soal Netanyahu; ini soal bagaimana publik mulai mempersoalkan kepemimpinan yang sudah kehilangan empati. Seorang pemimpin boleh saja memiliki visi, strategi, bahkan keberanian, tetapi tanpa empati dan kemampuan membaca luka rakyatnya, semua itu akan runtuh di hadapan kenyataan yang pahit.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, kita mengenal betul dampak dari pemimpin yang gagal membaca penderitaan rakyat. Dalam berbagai bencana dan krisis sosial, rakyat bisa memaafkan keterbatasan teknis, tapi tidak akan pernah memaafkan sikap acuh. Seperti saat banjir besar melanda Jakarta pada 2019 dan respons pemerintah dianggap lambat—kemarahan publik bukan hanya karena banjir itu sendiri, tetapi karena rakyat merasa tidak diperhatikan. Hal serupa kini dirasakan banyak warga Israel terhadap Netanyahu: bukan hanya soal perang, tapi soal perasaan ditinggalkan dan diremehkan oleh pemimpin mereka sendiri.
Yang terjadi bukan sekadar insiden komunikasi buruk. Ini adalah penanda bahwa Netanyahu telah kehilangan daya cengkeram atas narasi nasional. Bahkan ketika ia berusaha tampil sebagai figur kuat, reaksinya menunjukkan bahwa ia sebenarnya telah kehilangan koneksi dengan denyut rakyatnya. Dunia politik bukan hanya soal kemenangan pemilu, tapi juga kemampuan untuk mewakili dan merasakan apa yang dirasakan rakyat. Tanpa itu, kekuasaan hanyalah kerangka kosong.
Kini publik bertanya: jika Netanyahu tak bisa membedakan antara duka rakyat dan ketidaknyamanan keluarga, bagaimana mungkin ia bisa dipercaya memimpin di masa perang? Jika di saat krisis ia lebih memilih mengangkat kisah pernikahan daripada membahas strategi perdamaian atau rencana bantuan kemanusiaan, maka ke mana arah kepemimpinannya?
Kemarahan publik atas pernyataannya bukan hanya karena ia bicara tentang pernikahan di tengah perang, tapi karena itu memperlihatkan betapa ia telah terasing dari realitas. Netanyahu bukan lagi pemimpin yang berdiri bersama rakyatnya, melainkan seorang politisi yang hidup di dalam gelembung narasi personal, memperalat tragedi nasional untuk menyelamatkan citra keluarga.
Dalam jangka panjang, ini bisa berdampak serius terhadap legitimasi pemerintahannya. Di era digital, satu kalimat bisa menjadi pembuka kejatuhan. Kepercayaan yang terbangun puluhan tahun bisa runtuh dalam semalam jika pemimpin menunjukkan bahwa ia tak lagi mampu merasakan denyut luka bangsanya. Dan hari itu, saat Netanyahu membandingkan pesta keluarga dengan penderitaan perang, mungkin menjadi salah satu momen yang akan dikenang sebagai titik nadir kepemimpinannya.
Di tengah perang yang belum jelas akhirnya, dengan korban terus berjatuhan dan luka sosial terus menganga, rakyat membutuhkan pemimpin yang hadir sepenuhnya—bukan pemimpin yang sibuk mengeluh karena pesta keluarganya tertunda. Netanyahu telah memilih panggungnya. Sayangnya, panggung itu bukan di tengah rakyatnya, tapi di dalam rumahnya sendiri—penuh drama, penuh ilusi, dan kosong dari empati.