Connect with us

Opini

Netanyahu Dikritik, Perang Gaza Kian Dipertanyakan

Published

on

Di tengah gemuruh konflik yang tak kunjung usai, sebuah surat dari 1.000 reservis Angkatan Udara Israel, termasuk mantan kepala angkatan bersenjata Dan Halutz, mengguncang narasi resmi pemerintah. Mereka menyerukan penghentian perang di Gaza, menuduhnya tidak lagi mengejar tujuan strategis, melainkan digerakkan oleh kepentingan politik dan pribadi. Tuduhan ini, yang turut diamini oleh Amos Yadlin, mantan kepala intelijen militer, menyoroti pertanyaan yang mengguncang nurani: apakah nyawa puluhan ribu manusia layak dikorbankan demi ambisi kekuasaan?

Surat reservis itu bukan sekadar bentuk protes; ia adalah jeritan dari mereka yang berada di garis depan, yang menyaksikan langsung kontradiksi antara retorika pemerintah dan realitas di lapangan. Mereka menulis bahwa kelanjutan perang tidak mempercepat pembebasan sandera—tujuan yang dianggap sakral oleh masyarakat Israel—melainkan justru memperbesar risiko bagi nyawa para sandera, tentara, dan warga sipil. Dari 59 sandera yang masih ditahan di Gaza, hanya 22 yang diyakini masih hidup. Tekanan militer yang terus digencarkan kerap kali berujung pada kematian mereka. Ini bukan sekadar deretan angka; melainkan luka yang menganga bagi keluarga yang terus berharap akan kepulangan orang-orang tercinta.

Namun, pemerintah di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu menanggapi kritik ini dengan keras. Dengan menyebut para reservis sebagai “kelompok ekstremis pinggiran,” Netanyahu menegaskan bahwa menghentikan perang akan merusak persatuan nasional dan dianggap sebagai kemenangan bagi Hamas. Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, bahkan menyatakan bahwa surat tersebut merusak legitimasi perjuangan militer, sementara komandan Angkatan Udara Tomer Bar memecat para reservis aktif yang turut menandatangani pernyataan. Respons ini bukan hanya soal menjaga disiplin militer; ia mencerminkan ketakutan bahwa narasi pemerintah tentang keamanan nasional mulai runtuh oleh fakta-fakta yang tak bisa disembunyikan.

Fakta itu tampak jelas dalam kegagalan strategis yang mencolok. Setelah lebih dari setahun konflik berkecamuk, Hamas tetap eksis—baik secara militer maupun politik—meski Israel telah menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina dan meratakan sebagian besar wilayah Gaza. Upaya pembebasan sandera, yang semestinya menjadi prioritas, belum juga membuahkan hasil. Pelanggaran gencatan senjata pada Maret 2025, yang sebelumnya memungkinkan pertukaran tahanan, menunjukkan bahwa pemerintah lebih memilih jalur kekerasan ketimbang melanjutkan negosiasi yang terbukti efektif. Ini memunculkan pertanyaan mendasar: jika tujuan strategis tak tercapai, untuk apa perang ini dilanjutkan?

Tuduhan bahwa perang digerakkan oleh motif politik bukanlah hal baru, namun kini kian sulit untuk ditepis. Para reservis menuding pemerintah melanjutkan perang demi kepentingan politik dan pribadi—sebuah pandangan yang diperkuat oleh Yadlin, yang menyatakan bahwa Netanyahu telah menempatkan militer dalam posisi dilematis demi ambisi pribadi. Isu-isu domestik seperti reformasi yudisial, pemecatan kepala Shin Bet, dan upaya mengganti Jaksa Agung semakin menguatkan kecurigaan bahwa perang digunakan sebagai selubung untuk menutupi krisis politik internal dan menjaga stabilitas koalisi sayap kanan yang agresif.

Biaya kemanusiaan dari keputusan ini tidak dapat dikesampingkan. Lebih dari 50.000 nyawa telah melayang, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil. Gaza kini digambarkan sebagai “reruntuhan tanpa ujung”—bukti nyata dari skala kehancuran yang ditimbulkan. Tuduhan kejahatan perang dan genosida yang diajukan ke Mahkamah Kriminal Internasional serta Mahkamah Internasional menjadi beban moral dan diplomatik yang kian memberatkan Israel. Jika perang ini sebagian besar didorong oleh kepentingan politik—entah untuk melanggengkan kekuasaan atau menghindari konsesi yang tak populer—maka pertanyaan tak terhindarkan pun muncul: benarkah agenda politik layak ditebus dengan penderitaan puluhan ribu manusia?

Protes dari kalangan militer ini bukan hanya tentang perang; ia mencerminkan krisis kepercayaan yang mendalam. Dukungan dari 150 perwira Angkatan Laut dan ratusan reservis Korps Lapis Baja menunjukkan bahwa ketidakpuasan telah menyebar meluas di tubuh militer—institusi yang selama ini menjadi pilar persatuan nasional. Mereka menyerukan negosiasi untuk membebaskan sandera, mengingatkan bahwa gencatan senjata sebelumnya telah menunjukkan hasil. Namun, respons pemerintah lebih terfokus pada membungkam kritik daripada menanggapi substansinya. Pemecatan para reservis aktif menjadi bukti bahwa pemerintah lebih mengutamakan kontrol narasi daripada mencari solusi nyata atas krisis yang tengah berlangsung.

Netanyahu mungkin berargumen bahwa kelanjutan perang dibutuhkan untuk melemahkan Hamas dan mencegah serangan masa depan. Ancaman dari Hamas memang nyata, dan negosiasi sering kali menuntut konsesi besar seperti pembebasan tahanan Palestina atau penarikan pasukan—yang bisa dilihat sebagai kemenangan bagi lawan. Namun, setelah lebih dari satu tahun tanpa capaian strategis yang berarti, argumen itu kian kehilangan daya pikat. Jika tekanan militer gagal mengembalikan sandera hidup-hidup dan gagal pula melumpuhkan Hamas, maka yang tersisa hanyalah kehancuran, kematian, dan luka sosial yang menganga. Tuduhan bahwa motif politik berada di balik semua ini menjadi semakin masuk akal ketika pemerintah tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan.

Jumlah korban sipil yang sangat besar—lebih dari 50.000 jiwa—adalah pengingat tragis tentang apa yang sebenarnya sedang dipertaruhkan. Setiap nyawa yang hilang adalah sebuah dunia yang padam: keluarga yang berduka, komunitas yang kehilangan, dan masa depan yang dirampas. Bila perang ini diteruskan hanya untuk menjaga kestabilan politik Netanyahu atau memenuhi hasrat koalisi ekstrem kanan, maka ini bukan sekadar kebijakan yang salah arah—melainkan sebuah pengkhianatan terhadap prinsip bahwa kepemimpinan seharusnya melayani rakyat, bukan mempertaruhkan mereka demi ambisi pribadi. Reservis, dengan keberanian mereka, mengingatkan bahwa nilai sejati harus berpihak pada nyawa manusia, bukan kekuasaan.

Namun, kita juga tak boleh menafikan kerumitan konflik ini. Gaza adalah medan perang yang rumit—dengan Hamas yang kerap menggunakan taktik gerilya, menyembunyikan sandera di terowongan, serta menjadikan warga sipil sebagai tameng. Pemerintah Israel mungkin benar-benar percaya bahwa menghentikan perang akan memberi peluang strategis kepada Hamas untuk bangkit kembali, yang pada akhirnya bisa membahayakan keamanan nasional. Tapi ketika perang tak membuahkan hasil dan justru memperparah penderitaan, alasan keamanan mulai terdengar kosong. Motif politik, walau bukan satu-satunya faktor, tampak sebagai titik lemah yang paling nyata dan paling mengkhawatirkan.

Krisis ini tak hanya berdampak secara lokal, tetapi juga global. Tuduhan kejahatan perang di pengadilan internasional telah mencoreng citra Israel dan meretakkan hubungan diplomatiknya dengan banyak negara. Jika perang terus berlanjut demi kepentingan politik sempit, maka biayanya tidak hanya berupa korban jiwa, tapi juga isolasi internasional yang makin dalam. Pemerintahan Netanyahu mungkin berhasil mempertahankan kekuasaan untuk sementara, tetapi dengan harga yang terlampau mahal: kepercayaan publik yang hancur, militer yang terpecah, dan dunia yang kian menjauh.

Pada akhirnya, tuduhan motif politik bukanlah sekadar kritik biasa; ia adalah seruan untuk mawas diri. Konflik ini telah merenggut terlalu banyak: ribuan nyawa, masa depan generasi, dan harapan akan perdamaian. Jika motif kekuasaan menjadi salah satu pendorong utamanya, maka ini adalah pengingat keras bahwa kekuasaan, betapapun pentingnya, tak boleh menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan. Surat para reservis telah menyalakan obor diskusi yang sulit namun mendesak: sampai kapan harga yang tak terbayangkan harus dibayar untuk ambisi yang tak sepadan?

Jawabannya, bagi siapa pun yang mendengarkan suara hati nuraninya, adalah tegas: tidak ada agenda politik yang pantas dibayar dengan nyawa manusia. Tetapi pertanyaan yang lebih genting masih bergema—bagaimana kita mengakhiri siklus ini tanpa menambahkan korban berikutnya?

 

*Sumber:
https://www.aa.com.tr/en/middle-east/1-000-israeli-air-force-reservists-demand-end-to-gaza-war-to-return-captives/3533890

https://english.almayadeen.net/news/politics/war-in-gaza-is-political–not-strategic–former-israeli-inte

https://english.almayadeen.net/news/politics/israeli-air-force-chief-to-dismiss-reservists-over-gaza-serv

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *