Connect with us

Opini

Netanyahu di Ujung Tanduk, Oposisi Masih Gaduh!

Published

on

Israeli opposition leader Yair Golan akhirnya menemukan solusi paling revolusioner untuk mengatasi krisis kepemimpinan di Israel: mematikan ekonomi dan layanan publik. Seperti seorang juru selamat yang baru saja tersadar dari tidur panjang, ia menyerukan perlawanan. “Kita harus bergerak dari protes ke perlawanan!” katanya dengan penuh semangat, seakan ini adalah penemuan politik paling brilian abad ini.

Golan dan para pemimpin oposisi lainnya mengusulkan sebuah eksperimen sosial yang luar biasa: jika negara dihancurkan dari dalam, maka Netanyahu akan tumbang dengan sendirinya. Logika ini begitu tajam, hampir bisa menembus baja. Sayangnya, Netanyahu adalah politisi yang lebih licin dari belut, dan tidak mudah dijatuhkan hanya dengan protes massal yang diisi orang-orang berteriak di jalanan.

Benny Gantz, sang tokoh moderat yang dikenal karena pernyataan-pernyataan kosongnya, memperingatkan bahwa Netanyahu sedang menghancurkan institusi negara. Pernyataan yang mengejutkan, tentu saja, karena seolah-olah rakyat Israel baru sadar bahwa pemimpin mereka bukan seorang malaikat yang datang untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran total. Siapa sangka, bukan?

Netanyahu, dengan penuh percaya diri, menolak bertanggung jawab atas kegagalan intelijen yang menyebabkan serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Bagi Netanyahu, tanggung jawab adalah konsep abstrak yang hanya berlaku untuk rakyat jelata. Ia lebih memilih memecat pejabat-pejabat penting seperti kepala Shin Bet dan Jaksa Agung, seolah ini adalah permainan catur di mana ia bisa menukar pion dengan bidak lain yang lebih loyal.

Namun, protes demi protes terus menggema di jalanan Israel. Ribuan orang turun ke jalan, marah atas pemecatan Ronen Bar dan Gali Baharav-Miara. Ini adalah gerakan yang luar biasa, kecuali bahwa Netanyahu sudah mengantisipasi semuanya. Ia tahu bahwa selama ia masih bisa memanipulasi situasi perang, tidak ada yang benar-benar bisa menyentuhnya. Pemerintahannya ibarat kapal yang bocor, tapi tetap mengapung karena nakhodanya pandai menipu awak kapal.

Israel kini menghadapi dua ancaman besar: perang di Gaza dan perang internal melawan Netanyahu. Sementara ribuan warga Palestina dibantai tanpa ampun, Netanyahu sibuk memastikan bahwa ia tetap berkuasa. Dengan dalih keamanan nasional, ia menekan oposisi, membungkam kritik, dan memastikan bahwa rakyat lebih takut kepada ancaman eksternal daripada kehancuran yang ia ciptakan dari dalam.

Dan memang, taktik ini berhasil. Selama lebih dari satu dekade, Netanyahu telah menguasai seni bertahan hidup politik dengan cara yang luar biasa. Ia telah berulang kali lolos dari skandal korupsi, membentuk koalisi yang mustahil, dan mempermainkan sistem hukum serta politik seperti seorang maestro. Bahkan ketika dunia mengutuk kebijakan brutalnya di Gaza, ia tetap berpegang teguh pada kursinya.

Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Kepercayaan publik terhadap pemerintah Israel telah jatuh ke titik terendah. Survei demi survei menunjukkan bahwa rakyat semakin muak dengan Netanyahu. Namun, muak saja tidak cukup untuk menggulingkan seorang diktator demokratis. Dibutuhkan lebih dari sekadar opini publik yang buruk untuk merobohkan seseorang yang telah mengakar begitu dalam di sistem kekuasaan.

Masalah utama oposisi Israel adalah ketidakmampuan mereka untuk bersatu. Sementara rakyat di jalanan berteriak menuntut perubahan, para pemimpin oposisi masih sibuk berdebat siapa yang lebih layak menggantikan Netanyahu. Ini adalah ironi yang menggelikan: mereka sepakat bahwa Netanyahu harus pergi, tetapi tidak bisa sepakat siapa yang akan mengambil alih setelahnya.

Netanyahu paham betul cara memainkan ketidaksempurnaan lawan-lawannya. Ia tahu bahwa selama oposisi tetap terpecah, mereka tidak akan pernah bisa mengalahkannya. Ini adalah strategi klasik para diktator: membuat oposisi terlalu sibuk bertengkar satu sama lain sehingga mereka lupa bagaimana cara menjatuhkan musuh bersama.

Sementara itu, dunia hanya bisa menyaksikan dengan rasa geli dan jijik. Israel, negara yang selalu menggembar-gemborkan diri sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah, kini lebih mirip dengan republik pisang yang dipimpin oleh seorang autokrat yang tak mau lengser. Mereka terus berbicara tentang kebebasan dan nilai-nilai demokrasi, tetapi di saat yang sama, mereka mendukung seorang pemimpin yang jelas-jelas bertindak seolah hukum hanya berlaku untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri.

Di tengah semua kekacauan ini, Netanyahu masih punya kartu terakhir: ketakutan. Ia akan terus mengingatkan rakyat Israel bahwa musuh ada di luar sana, bahwa perang belum selesai, bahwa mereka membutuhkan pemimpin yang kuat untuk menghadapi ancaman eksistensial. Dan dalam banyak hal, ini adalah strategi yang brilian. Karena ketika rakyat dipenuhi ketakutan, mereka lebih cenderung memilih stabilitas daripada perubahan.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa bahkan pemimpin yang paling licik pun tidak bisa bertahan selamanya. Ada titik di mana kesabaran publik habis, di mana bahkan para pendukung paling setia mulai mempertanyakan kesetiaan mereka. Netanyahu mungkin masih berkuasa hari ini, tetapi bayangan kejatuhannya semakin jelas. Pertanyaannya bukan lagi apakah ia akan jatuh, tetapi kapan.

Jadi, sementara Yair Golan dan rekan-rekannya sibuk merancang strategi untuk “mematikan ekonomi dan layanan publik,” mungkin mereka perlu mempertimbangkan sesuatu yang lebih mendasar: bersatu. Karena tanpa persatuan yang kuat dan strategi yang jelas, mereka hanya akan menjadi bagian dari sandiwara panjang Netanyahu, di mana ia tetap menjadi aktor utama dan mereka hanya figuran yang berteriak tanpa hasil.

Dan mungkin, ketika semua ini akhirnya berakhir, Israel bisa melihat ke belakang dan belajar satu hal penting: bahwa demokrasi bukan hanya tentang mengadakan pemilu, tetapi juga tentang memastikan bahwa pemimpin yang gagal bisa digulingkan tanpa harus menunggu kehancuran total terlebih dahulu.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *