Connect with us

Opini

Netanyahu di Ambang Kehilangan Negeri

Published

on

Ada sesuatu yang ganjil, bahkan ironis, ketika seorang pemimpin yang gemar tampil di panggung internasional justru ditinggalkan oleh rakyatnya sendiri. Benjamin Netanyahu, yang selama bertahun-tahun membangun citra sebagai “Mr. Security” dan tokoh yang tak tergoyahkan, kini harus menghadapi kenyataan pahit: tingkat kepuasan publik terhadap dirinya anjlok ke angka 36 persen, sementara 59 persen masyarakat terang-terangan menyatakan ketidakpuasan. Angka ini bukan sekadar survei dingin yang tertera di kertas; ia adalah dentuman keras yang menggema dari jantung politik zionis, menyingkap jurang kepercayaan yang semakin melebar.

Bayangkan, di negeri yang begitu militeristik, di mana hampir setiap rumah punya cerita tentang anak atau kerabat yang sedang bertugas, kepercayaan publik justru lebih tinggi pada Kepala Staf Angkatan Darat Eyal Zamir. Survei menunjukkan 50 persen dukungan baginya, bahkan lebih banyak dari kalangan oposisi ketimbang pendukung koalisi. Artinya, masyarakat zionis sedang mengalihkan harapan dari politisi ke militer. Namun, bukankah justru militer inilah yang gagal mewujudkan “kemenangan total” di Gaza, gagal mengembalikan tawanan, gagal memastikan keamanan yang mereka janjikan? Ini mirip orang yang kehilangan arah lalu memilih menggenggam asap, karena percaya ada sesuatu yang bisa diselamatkan di sana.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Netanyahu mungkin merasa masih berkuasa, masih bisa bicara lantang di forum dunia, masih punya kesempatan menampilkan diri sebagai “juru bicara keamanan global.” Tapi rakyatnya tak lagi terpesona. Tuduhan yang dilemparkan Israel Today bukan main-main: Netanyahu melemahkan negara dari dalam. Ia mempermalukan komandan militernya sendiri, membiarkan tawanan dan keluarga korban perang menjerit tanpa jawaban, memberi celah bagi kelompok ekstremis untuk menghindari wajib militer, mengutak-atik sistem peradilan, lalu memilih menjawab pertanyaan media asing sembari mengabaikan sorotan tajam jurnalis lokal. Bukankah ini parodi kepemimpinan? Pemimpin yang lebih sibuk mengatur pencitraan luar negeri ketimbang merawat fondasi dalam negeri.

Saya rasa kita di Indonesia pun bisa merasakan absurditas ini. Pernahkah kita melihat seorang pejabat lebih sibuk menggelar konferensi pers dengan media asing, sementara rakyat di dalam negeri dibiarkan kebingungan? Pernah. Dan setiap kali itu terjadi, kita sadar ada yang rapuh di jantung kekuasaan: ketidakmampuan menghadapi kritik internal. Netanyahu hanyalah contoh ekstrem dari sindrom itu—sebuah sindrom pemimpin yang gemar menolak bercermin.

Ironi terbesar adalah: semakin ia berusaha tampil gagah, semakin jelas bayang-bayang kegagalannya. Survei ini hanya menegaskan apa yang sudah lama tercium: rakyat kehilangan kepercayaan. Bahkan Menteri Perangnya, Yisrael Katz, tak lebih baik. Dukungan padanya hanya 32 persen, angka yang lebih cocok disebut peringatan keras daripada legitimasi. Bagaimana bisa kabinet perang yang dibentuk untuk menenangkan publik justru menambah resah?

Kita bisa membayangkan suasana di ruang keluarga zionis biasa. Orang tua mengeluh karena anaknya harus tetap berangkat ke barak, sementara tetangga yang berafiliasi dengan kelompok ekstremis justru bisa menghindari dinas militer. Seorang ibu yang anaknya ditawan di Gaza menangis melihat perdana menteri tak juga menaruh kepedulian serius. Seorang ayah resah mendengar perdebatan soal peradilan yang terus digembosi demi kepentingan politik sempit. Semua itu menumpuk jadi satu: ketidakpercayaan yang meluas.

Fenomena ini, jika dilihat dari kacamata yang lebih luas, sebenarnya membuka tabir rapuhnya negara zionis. Negara yang kerap tampil arogan di kancah internasional ternyata berantakan di dalam. Masyarakatnya terbelah, militernya diragukan, pemimpinnya dilecehkan oleh media lokalnya sendiri. Apa yang tampak kokoh dari luar sebenarnya keropos dari dalam, ibarat bangunan megah yang fondasinya sudah dimakan rayap. Dan kita tahu, bangunan semacam itu mungkin masih berdiri, tapi setiap gempa kecil bisa merobohkannya.

Netanyahu jelas sedang memainkan waktu. Ia berharap badai ini berlalu, seperti badai-badai sebelumnya. Namun kali ini berbeda. Rakyat bukan hanya marah karena perang yang tak kunjung berakhir; mereka marah karena merasa ditinggalkan, dipermainkan, dan dipimpin oleh seseorang yang lebih peduli dengan wajahnya di panggung dunia ketimbang kehidupan sehari-hari mereka. Angka survei bukanlah sekadar data. Ia adalah cermin retak yang memperlihatkan wajah seorang pemimpin yang kian ditolak, dan wajah sebuah masyarakat yang tak lagi percaya pada janji-janji kosong.

Jika diibaratkan sebuah rumah tangga, Israel kini sedang dipimpin oleh seorang kepala keluarga yang suka bepergian, sering muncul di pesta tetangga dengan pakaian rapi dan senyum menawan, tapi di rumahnya sendiri ia acuh, membiarkan dinding retak, atap bocor, dan anak-anak kelaparan. Pada akhirnya, bukan pesta di luar yang menentukan, melainkan rumah yang perlahan hancur dari dalam. Dan di titik inilah Netanyahu berdiri—di ambang kehilangan bukan hanya kursi, tapi juga legitimasi sebagai pemimpin.

Saya tidak tahu apakah masyarakat zionis pada akhirnya akan menjatuhkannya secara resmi atau menunggu perhitungan politik di parlemen. Tapi yang jelas, sebuah rezim yang kehilangan kepercayaan publik, yang merusak lembaga-lembaga penting, yang mempermainkan militer dan peradilan demi mempertahankan kekuasaan, cepat atau lambat akan terhempas oleh sejarah. Netanyahu boleh saja berkoar di luar negeri, tetapi di dalam negeri, ia sedang dipatahkan oleh kenyataan. Dan kenyataan selalu lebih keras daripada retorika.

Di sinilah letak absurditasnya: pemimpin yang mengaku menjaga keamanan justru melahirkan rasa tidak aman, pemimpin yang mengklaim membawa kejayaan justru mengantar bangsanya ke jurang krisis. Publik mungkin masih bingung ke mana harus menaruh harapan, mungkin masih melirik ke militer sebagai penyelamat semu, tapi di balik semua itu satu hal pasti: Netanyahu tak lagi jadi simbol kekuatan. Ia hanya tinggal bayangan, terperangkap dalam permainan waktu, menunggu detik ketika sejarah sendiri mengetuk pintu dan berkata: sudah cukup.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Survei Guncang Netanyahu: Perang Gaza Kehilangan Dukungan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer