Connect with us

Opini

Netanyahu dan Perang Tanpa Akhir: Kekuasaan di Atas Darah

Published

on

Perdamaian, seperti yang kita semua tahu, adalah sebuah konsep kuno yang hanya berlaku bagi mereka yang masih hidup dalam dunia khayalan. Di era modern, ketika diplomasi lebih banyak dilakukan dengan rudal daripada kata-kata, kita dipertontonkan sebuah pertunjukan spektakuler: negosiasi gencatan senjata yang sejak awal sudah dirancang untuk gagal. Benjamin Netanyahu, sang maestro besar dari teater perang ini, memainkan perannya dengan cemerlang.

Ketika perundingan Januari akhirnya menghasilkan gencatan senjata yang memberikan harapan tipis bagi Gaza, dunia berpikir mungkin, hanya mungkin, akan ada jeda dalam pertumpahan darah. Namun, Netanyahu adalah seorang seniman dalam menciptakan krisis. Tentu saja ia tidak akan membiarkan kesepakatan yang masuk akal merusak momentum perang yang begitu menguntungkan baginya. Maka, lahirlah proposal Witkoff yang tidak seorang pun tahu dari mana asalnya.

Proposal ini, kata Netanyahu, adalah gagasan Amerika. Amerika yang mana? Trump, sang presiden yang lebih sering menghabiskan waktunya mengeluh di media sosial daripada merancang strategi luar negeri? Ataukah Witkoff, seorang utusan misterius yang bahkan Gedung Putih sendiri tampak ragu untuk mengakui keberadaannya? Tidak ada yang tahu. Yang jelas, proposal ini berisi syarat yang hanya akan disetujui oleh seseorang yang sedang dikepung dan kehabisan pilihan.

Garis besar rencana ini sangat sederhana: Hamas harus menyerahkan separuh sandera mereka tanpa mendapatkan imbalan berarti, hanya janji negosiasi yang belum tentu menghasilkan apa pun. Israel, di sisi lain, tetap mempertahankan posisinya. Tawaran sepihak yang tentu saja mengundang pertanyaan: apakah ini gencatan senjata atau sekadar jeda bagi Israel untuk mengisi ulang amunisi dan menyusun strategi baru?

Namun, Netanyahu tidak hanya jenius dalam mengatur perang; ia juga ahli dalam menjaga kursi kekuasaannya. Dengan kondisi politiknya yang kian terjepit, perang menjadi penyelamatnya. Partai sayap kanan ekstrem yang menjadi sandaran kekuasaannya tidak akan menerima perdamaian. Mereka ingin Gaza dikosongkan, dihancurkan, dan dibangun ulang sesuai visi kolonial yang lebih cocok untuk abad ke-19 daripada abad ke-21.

Jadi, ketika Hamas menolak proposal yang jelas-jelas dirancang untuk merugikan mereka, Netanyahu dapat kembali ke podium, mengangkat bahunya, dan berkata, “Kami sudah mencoba, tetapi mereka tidak mau damai.” Sebuah trik klasik, dipakai berkali-kali oleh pemimpin-pemimpin perang sepanjang sejarah. Bukan karena mereka ingin menang, tetapi karena mereka ingin perang itu terus berlangsung.

Langkah berikutnya? Blokade total terhadap Gaza. Tanpa makanan, tanpa obat-obatan, tanpa bahan bakar. Jika Anda berpikir ini adalah taktik perang abad pertengahan, Anda tidak sendirian. Ini bukan lagi sekadar pertempuran militer; ini adalah hukuman kolektif. Dua juta orang harus membayar harga karena pemimpinnya tidak mau menyerah begitu saja pada perintah dari Tel Aviv dan Washington.

Sementara itu, di Washington, para pejabat tampak sibuk menyusun pernyataan ambigu. Mereka mendukung perdamaian, tentu saja. Mereka ingin gencatan senjata, tentu saja. Tetapi, jika Israel ingin melanjutkan operasi militernya, mereka juga akan mendukung itu. Sebuah keseimbangan moral yang luar biasa—di satu sisi menyerukan kemanusiaan, di sisi lain menandatangani kontrak pengiriman amunisi.

Trump, yang kini kembali menjadi bagian dari diskusi, tampak memiliki gagasan lain tentang Gaza. Mengapa tidak saja kita relokasi dua juta orang ini ke suatu tempat, lalu mengubah Gaza menjadi lokasi wisata? Bayangkan! Pantai-pantai indah, kasino, hotel mewah—sebuah Dubai versi mini. Para pemimpin Arab menolak ide ini dengan marah, tetapi Netanyahu, dengan senyum simpulnya, berkata bahwa itu bukan gagasan yang buruk. Genosida dengan sentuhan properti real estate.

Di sudut lain dunia, para analis mencoba membaca masa depan. Apakah perang ini akan berakhir? Apakah Netanyahu akan menyerah? Jawabannya mudah. Selama perang tetap menguntungkan baginya, selama ia bisa menggunakan konflik ini sebagai perisai politik, dan selama dunia tetap diam melihat kebrutalan ini, tidak akan ada akhirnya. Gaza akan tetap menjadi teater kekerasan, dan proposal demi proposal akan terus dibuat untuk memanipulasi opini publik.

Jika sejarah telah mengajarkan kita sesuatu, itu adalah bahwa perang tidak selalu soal menang atau kalah. Kadang-kadang, perang hanyalah cara bagi seorang pemimpin untuk menunda kejatuhan yang tak terhindarkan. Dan Netanyahu, sang maestro perang, tahu bahwa selama misil masih terbang dan darah masih mengalir, kursinya akan tetap aman. Perdamaian? Itu hanya ilusi yang ditawarkan kepada mereka yang masih percaya pada dongeng.

Namun, ilusi itu kini semakin rapuh. Dunia internasional mulai mempertanyakan kebijakan Israel secara terbuka. Protes meluas di berbagai belahan dunia, dari kampus-kampus di Amerika hingga jalanan Eropa. Opini publik yang dulu sepenuhnya mendukung Israel mulai goyah. Netanyahu mungkin masih bisa menekan Gaza, tetapi ia tidak bisa sepenuhnya mengontrol narasi global.

Jika tekanan ini terus meningkat, bukan tidak mungkin Netanyahu sendiri yang akan menjadi korban dari strateginya sendiri. Kekuasaannya semakin bergantung pada ekstremisme politik di dalam negeri, tetapi semakin ekstrem kebijakannya, semakin besar risiko kehilangan dukungan dari sekutu internasionalnya. Apakah Netanyahu bersedia mengorbankan hubungan diplomatiknya demi mempertahankan kekuasaan? Atau justru ia akan terseret ke dalam pusaran politik yang ia ciptakan sendiri?

Saat ini, dunia hanya bisa menunggu. Apakah perang ini akan berakhir dengan kehancuran total Gaza? Ataukah Netanyahu akhirnya akan dipaksa mundur oleh gelombang perlawanan, baik dari dalam maupun luar Israel? Yang jelas, jika ada satu hal yang tidak berubah, itu adalah fakta bahwa bagi Netanyahu, perang bukanlah alat untuk mencapai perdamaian, melainkan strategi untuk bertahan hidup secara politik. Dan seperti yang telah kita lihat berkali-kali dalam sejarah, pemimpin yang bermain api dengan perang biasanya akhirnya terbakar oleh api itu sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *