Opini
Netanyahu dan Perang Tak Berujung: Melawan Hukum?

Media Times of Israel dalam laporannya mengungkapkan bahwa dua pembantu dan satu mantan rekan Benjamin Netanyahu didakwa atas intimidasi saksi dalam kasus korupsi yang melilit sang Perdana Menteri sejak 2019. Tentu saja, ini bukan kabar baru. Netanyahu dan hukum adalah dua kutub yang selalu bertabrakan, seperti seorang pesulap yang terus mencoba meloloskan diri dari borgolnya sendiri.
Namun, bagaimana caranya melarikan diri dari belitan hukum yang semakin ketat? Tentu saja, dengan menciptakan panggung yang lebih besar! Mengalihkan perhatian! Daripada membahas intimidasi saksi atau bocoran dokumen rahasia, mengapa tidak memastikan seluruh bangsa berbicara tentang perang? Perang adalah jawaban bagi setiap pemimpin yang terpojok, dan Netanyahu tampaknya memahami strategi ini dengan sangat baik.
Sejak perang di Gaza meletus, semua mata tertuju ke medan tempur. Pembantaian terjadi, bom dijatuhkan, dan Netanyahu berdiri tegak di panggungnya, berbicara dengan nada patriotik tentang “keselamatan Israel” dan “perjuangan melawan Hamas.” Sementara itu, pengadilan terus berjalan, tetapi siapa yang peduli pada persidangan saat rudal beterbangan dan rakyat dicekam ketakutan?
Para penasihat Netanyahu yang didakwa atas intimidasi saksi, termasuk Ofer Golan dan Jonatan Urich, mungkin patut berterima kasih. Jika bukan karena perang ini, nama mereka akan menjadi topik utama. Sekarang? Mereka hanyalah catatan kaki dalam berita yang dipenuhi laporan korban dan pernyataan militer. Strategi pengalihan sempurna—bukan hanya bagi Netanyahu, tetapi juga untuk seluruh lingkaran dalamnya.
Namun, perang ini bukan hanya sekadar tabir asap bagi kasus hukum Netanyahu. Ini adalah panggung megah yang memungkinkan ia tetap bertahan. Efek “rally around the flag” terjadi, di mana rakyat bersatu di belakang pemimpin mereka saat negara dalam bahaya. Tidak peduli seberapa dalam korupsi yang menyelimutinya, selama Hamas masih menembakkan roket, Netanyahu tetap bisa berteriak sebagai penyelamat.
Dan apa yang lebih baik daripada memperpanjang perang untuk memperpanjang kekuasaan? Gencatan senjata? Tentu tidak! Mengakhiri perang berarti kembali ke pengadilan, kembali ke sorotan skandal, kembali ke berita yang membahas intimidasi saksi, kebocoran dokumen, dan kasus suap. Lebih baik memastikan pertempuran terus berlanjut, bahkan jika itu berarti lebih banyak nyawa yang hilang.
Tentu, ada yang akan berteriak bahwa ini hanyalah teori konspirasi. Bahwa Netanyahu hanyalah seorang patriot yang ingin melindungi Israel. Bahwa semua keputusan militernya murni demi keamanan. Tetapi mari kita jujur—apa jadinya Netanyahu tanpa perang ini? Seorang terdakwa dengan popularitas merosot, terseret dalam ruang sidang, kehilangan daya pikatnya sebagai pemimpin kuat.
Lihat bagaimana reaksi lingkaran dekatnya. Mereka yang didakwa karena intimidasi saksi segera menuduh ini sebagai permainan politik. Mereka bersumpah akan melawan di pengadilan, seolah-olah mereka korban dari ketidakadilan yang lebih besar. Dan Netanyahu? Ia cukup sibuk mengarahkan rudal ke Gaza, memastikan bahwa perhatian publik tetap jauh dari ruang sidang.
Mungkin ini sebabnya ia sangat marah ketika ada desakan gencatan senjata. Perang yang terlalu cepat berakhir berarti fokus akan kembali ke persoalan hukum. Maka, Netanyahu dan para jenderalnya berbicara tentang ancaman yang masih ada, bahaya yang masih mengintai, dan bagaimana perang ini harus terus berlangsung. Seolah-olah, tanpa perang, Israel akan runtuh. Padahal, yang lebih mungkin runtuh adalah Netanyahu sendiri.
Bahkan dalam konflik ini, muncul dugaan bahwa Netanyahu membiarkan bocoran dokumen Gaza tersebar untuk mendukung narasi perang yang ia butuhkan. Laporan menyebutkan bahwa dokumen yang diduga membuktikan rencana Hamas untuk menyelundupkan sandera ke Iran atau Yaman mungkin sengaja disebarkan untuk memanipulasi opini publik. Dan ketika kebenaran terkuak, siapa yang akan disalahkan? Orang lain, tentu saja.
Kini, sang Perdana Menteri menghadapi ujian. Jika perang ini gagal menyelamatkannya dari jeratan hukum, apa langkah berikutnya? Mungkin skandal yang lebih besar? Provokasi yang lebih luas? Atau malah perang lain yang lebih besar? Kita tidak bisa memastikan. Tetapi satu hal yang pasti—Netanyahu adalah maestro dalam memainkan politik krisis. Dan bagi seorang maestro, pertunjukan harus terus berlanjut, tidak peduli berapa banyak korban yang jatuh di panggungnya.