Connect with us

Opini

Netanyahu dan Lagu Perangnya yang Mulai Membosankan

Published

on

Benjamin Netanyahu tampaknya telah menemukan lagu favoritnya—sebuah melodi propaganda yang ia putar berulang-ulang, berharap dunia akan terus menari mengikuti iramanya. Setiap baitnya berisi janji kosong, setiap nadanya dipenuhi ancaman, dan setiap pengulangannya hanya menegaskan satu hal: ini bukan tentang keamanan, bukan tentang sandera, bukan tentang Hamas. Ini tentang dirinya. Seorang pria yang begitu takut kehilangan kekuasaannya hingga rela menukar nyawa ribuan manusia demi mempertahankan tahtanya.

Setiap kali ia berbicara di Knesset, kita sudah tahu apa yang akan keluar dari mulutnya. Seperti kaset rusak, ia terus mengulang bahwa “tekanan lebih besar akan membebaskan sandera.” Seolah dunia tak punya ingatan, seolah dunia tak melihat bahwa strateginya gagal berkali-kali. Ia telah menghancurkan Gaza, membunuh ribuan orang—termasuk sandera yang katanya ingin ia selamatkan. Tapi kenyataannya? Sandera masih di tangan Hamas, dan rakyat Gaza yang tidak bersalah menjadi korban utama. Nyanyian Netanyahu adalah kebohongan yang dipoles dengan darah dan air mata.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sudah lima belas bulan berlalu, dan ia masih belum mendapatkan kemenangan yang didambakan. Ia ingin tampil sebagai penyelamat rakyatnya, tetapi justru menjadi algojo mereka. Keluarga sandera tak lagi bersorak untuknya; mereka marah dan muak. Mereka tahu bahwa setiap kali bom Israel menghantam Gaza, kemungkinan besar justru saudara mereka yang menjadi korban. Namun Netanyahu terus memainkan nadanya. Ia ingin dunia percaya bahwa lebih banyak perang adalah solusi, bahwa lebih banyak kematian akan membawa pembebasan. Ini bukan hanya kebohongan—ini adalah kegilaan.

Negosiasi sebenarnya telah terbuka berkali-kali. Hamas sudah menunjukkan kesediaan untuk pertukaran sandera dalam skema gencatan senjata. Tapi Netanyahu? Ia lebih memilih menghancurkan Gaza daripada mengakui bahwa negosiasi adalah satu-satunya jalan keluar. Ia tahu bahwa duduk di meja perundingan berarti mengakui Hamas sebagai lawan yang sah, bukan sekadar kelompok yang bisa dihancurkan dengan rudal dan tank. Dan lebih dari itu, ia tahu bahwa negosiasi akan menjadi bukti kegagalannya sendiri. Jadi, ia terus bernyanyi, berharap dunia akan lupa bahwa ia sedang menutupi kebrutalan dengan dalih keamanan.

Sementara itu, rakyat Gaza terus menjadi tumbal ambisinya. Anak-anak mati dalam tidur mereka, bangunan runtuh dengan manusia masih di dalamnya, rumah sakit dibom dengan alasan “keamanan.” Netanyahu tak peduli. Ia butuh musuh, ia butuh perang, ia butuh alasan untuk tetap berkuasa. Jika Gaza hancur, itu adalah harga yang bersedia ia bayar. Jika rakyat Palestina harus lenyap dari tanah mereka, itu adalah konsekuensi yang ia anggap wajar. Dan jika dunia mengutuknya? Ia tahu sekutunya di Barat akan tetap berdiri di belakangnya, tetap mengirim senjata, tetap memberikan dukungan diplomatik. Ia tak butuh pembenaran, ia hanya butuh waktu.

Tapi mengapa Netanyahu begitu bergantung pada perang ini? Jawabannya sederhana: politik domestik Israel kacau. Demonstrasi menentangnya terus berlangsung di Tel Aviv dan kota-kota lain. Skandal korupsinya semakin sulit disembunyikan. Ketidakmampuannya mengelola ekonomi dan sosial semakin nyata. Ia berada di ujung jurang politiknya sendiri. Tanpa perang ini, tanpa narasi “eksistensi Israel yang terancam,” Netanyahu hanyalah pemimpin gagal yang pantas disingkirkan.

Jika kita melihat sejarah Israel, Netanyahu bukanlah yang pertama menggunakan perang sebagai alat politik. Setiap kali ada krisis internal, pemerintah Israel selalu mencari cara mengalihkan perhatian dengan menciptakan musuh eksternal. Kali ini, Gaza adalah panggungnya, dan rakyat Palestina adalah korban utamanya. Ia berharap dengan terus menggempur Gaza, rakyat Israel akan lupa akan kegagalannya. Ia berharap dengan lebih banyak darah, rakyatnya akan kembali bersatu di belakangnya. Namun, strategi ini tak lagi berhasil seperti dulu.

Rakyat Israel sendiri semakin terpecah. Keluarga sandera semakin vokal, menuntut Netanyahu bernegosiasi, bukan terus berperang. Analis politik di Israel mulai mempertanyakan apakah strategi ini benar-benar demi keamanan, atau sekadar menyelamatkan kursi Netanyahu. Fakta bahwa Hamas masih bisa meluncurkan roket setelah lima belas bulan perang membuktikan tak ada kemenangan nyata. Jika perang ini dimulai dengan tujuan menghancurkan Hamas, kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: Hamas tetap bertahan, sementara Netanyahu semakin kehilangan legitimasi.

Di sisi lain, dunia internasional pun mulai lelah. Dukungan buta dari sekutu Israel di Barat mulai goyah. Demonstrasi pro-Palestina terjadi di berbagai negara. Semakin banyak orang sadar bahwa ini bukan perang untuk keamanan, melainkan pembersihan etnis yang dibungkus propaganda. Organisasi kemanusiaan melaporkan angka kematian yang mengerikan, dengan anak-anak dan perempuan sebagai korban terbanyak. Namun, Netanyahu tetap keras kepala, tetap memainkan lagunya, tetap berpura-pura bahwa semua ini demi menyelamatkan Israel.

Tapi seperti semua propaganda, ada batas waktu di mana kebohongan tak bisa lagi ditutupi. Dunia melihat, dunia mendengar, dan dunia mulai bergerak. Ketika lagu yang sama dimainkan terlalu sering, orang-orang mulai bertanya: mengapa kita masih percaya? Mengapa kita masih membiarkan Netanyahu menyanyikan lagu ini sementara ribuan nyawa melayang? Sampai kapan dunia harus menjadi penonton dari panggung sandiwara politik yang hanya membawa kehancuran?

Mungkin Netanyahu berpikir setelah lima belas bulan ini, dunia akan kembali mempercayainya. Mungkin ia berharap orang akan lupa akan kegagalannya. Tapi dunia tak lupa. Dunia melihat dengan jelas bahwa ini bukan perjuangan melawan terorisme—ini adalah genosida. Ini adalah ambisi pribadi yang dibayar dengan darah orang tak bersalah. Ini adalah seorang pria yang tak berani mengakui kegagalannya, sehingga memilih terus membunuh demi menutupi rasa malunya.

Namun, bahkan lagu terburuk pun tak bisa terus diputar selamanya. Suatu hari nanti, dunia akan mematikannya. Dan saat itu terjadi, Netanyahu akan menghadapi keheningan paling menakutkan: suara kebenaran yang akhirnya tak bisa lagi ia bungkam.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer