Connect with us

Opini

Netanyahu dan Hanibal: Mengorbankan Rakyat Demi Perang

Published

on

Empat puluh mantan sandera dan 250 keluarga korban penculikan di Gaza telah mengirimkan surat kepada Benjamin Netanyahu, memohon agar agresi dihentikan dan negosiasi segera dilanjutkan. Mereka tahu, lebih dari siapa pun, bahwa setiap peluru yang ditembakkan adalah ancaman bagi keselamatan sandera. Tetapi Netanyahu tidak peduli. Ia lebih memilih perang daripada nyawa warganya sendiri.

Netanyahu bukan sekadar pemimpin yang keras kepala atau egois. Ia adalah manifestasi dari politik kekuasaan yang lebih menghargai kelangsungan perang daripada kelangsungan hidup rakyatnya sendiri. Puluhan sandera sudah terbunuh karena kebijakan militeristiknya, tetapi ia tetap bersikeras bahwa agresi adalah satu-satunya jalan. Bukankah ini bentuk kejahatan terhadap bangsanya sendiri?

Dalam surat yang mereka kirim, para keluarga sandera menyebut Netanyahu telah memilih perang yang tak berkesudahan daripada menyelamatkan rakyatnya. Mereka bahkan menyebutnya sebagai kebijakan kriminal. Sebuah tuduhan yang tak berlebihan, mengingat betapa dinginnya Netanyahu dalam menghadapi nasib sandera. Seolah-olah mereka hanyalah angka di atas kertas, bukan manusia dengan keluarga dan harapan.

Tapi, ini bukan pertama kalinya Netanyahu menunjukkan bahwa nyawa warganya tak lebih dari sekadar alat dalam permainan politiknya. Ingat Hanibal Protocol? Sebuah kebijakan brutal yang mengizinkan militer zionis membunuh tentaranya sendiri jika mereka tertangkap oleh musuh. Perintahnya jelas: lebih baik mereka mati daripada jatuh ke tangan lawan. Apa yang lebih mengerikan dari pemerintahan yang rela menghabisi rakyatnya sendiri demi gengsi perang?

Pada 7 Oktober, Hanibal Protocol kembali diterapkan. Militer zionis membombardir daerah yang diduga menjadi lokasi tawanan, dengan dalih “menghancurkan musuh.” Padahal yang hancur bukan hanya Hamas, tetapi juga warganya sendiri yang dijadikan sandera. Ini bukan sekadar efek samping perang; ini adalah pembantaian sistematis yang dilakukan oleh pemimpinnya sendiri.

Dalam politik realisme, pemimpin dipandang sebagai sosok yang hanya peduli pada kekuasaan dan keamanan negara, bukan rakyatnya. Netanyahu telah membuktikan dirinya sebagai contoh paling ekstrem dari teori ini. Ia rela mengorbankan sandera demi mempertahankan citranya sebagai pemimpin perang yang tangguh. Bahkan ketika ada kesempatan untuk negosiasi, ia lebih memilih memerintah dengan bom dan peluru.

Tentu saja, langkah ini bukan tanpa tujuan. Netanyahu saat ini menghadapi tekanan politik yang besar di dalam negeri. Kasus korupsinya masih membayangi, dan popularitasnya menurun di tengah protes besar-besaran. Dalam situasi seperti ini, perang adalah alat yang paling efektif untuk mempertahankan kekuasaannya. Selama masih ada musuh yang bisa ditembak, selama itu pula ia bisa bersembunyi di balik tirai asap peperangan.

Kebijakan Hanibal Protocol dan pengabaian terhadap sandera juga bisa dilihat dari perspektif biopolitik. Negara, dalam hal ini Israel, memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang bisa dikorbankan. Dalam logika Netanyahu, para sandera ini tidak lebih dari sekadar barang yang sudah usang. Jika mereka tidak bisa diselamatkan dengan mudah, maka mereka lebih baik dimusnahkan.

Tapi pertanyaannya, sampai kapan rakyatnya sendiri mau terus tertipu? Keluarga sandera telah sadar bahwa pemimpinnya tidak sedang berusaha menyelamatkan mereka, melainkan mengorbankan mereka untuk mempertahankan kekuasaan. Protes mulai bermunculan, tekanan semakin meningkat. Namun Netanyahu tetap tak bergeming. Ia seperti seorang raja lalim yang lebih memilih melihat rakyatnya mati daripada mengakui kesalahannya.

Pendekatan militerisme dalam kebijakan Netanyahu juga tidak bisa diabaikan. Kompleks industri militer di Israel memiliki kepentingan besar dalam melanjutkan perang ini. Setiap rudal yang ditembakkan berarti miliaran keuntungan bagi perusahaan-perusahaan pertahanan. Netanyahu tahu bahwa selama ada perang, ada uang yang mengalir. Dan selama ada uang yang mengalir, kekuasaannya tetap terjaga.

Hanibal Protocol adalah bukti bahwa dalam sistem pemerintahan Netanyahu, kematian bukanlah kegagalan, melainkan strategi. Tentara yang tertangkap lebih baik mati. Sandera yang tidak bisa diselamatkan lebih baik hilang. Bahkan dalam skenario terburuk, mereka bisa dijadikan alasan untuk serangan lebih lanjut. Dengan kata lain, nyawa rakyatnya sendiri adalah alat propaganda untuk melanggengkan perang.

Ketika Hamas menawarkan kesepakatan pertukaran sandera dengan gencatan senjata, Netanyahu menolak. Mengapa? Karena kesepakatan itu akan menghentikan perang, dan Netanyahu tidak ingin perang berakhir. Jika perang berakhir, ia akan kehilangan justifikasi untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia lebih memilih membiarkan warganya mati daripada kehilangan kekuatan politiknya.

Dalam sejarah dunia, banyak pemimpin yang mengorbankan rakyatnya demi ambisi pribadi. Tapi Netanyahu telah melangkah lebih jauh dengan menerapkan kebijakan yang secara aktif membunuh rakyatnya sendiri. Bahkan diktator yang paling kejam sekalipun biasanya mencoba memberikan ilusi bahwa mereka peduli pada rakyatnya. Netanyahu? Ia bahkan tak repot-repot berpura-pura.

Bagi keluarga sandera, kenyataan ini semakin menyakitkan. Mereka tidak hanya kehilangan orang-orang yang mereka cintai, tetapi juga menyadari bahwa pemimpinnya sendiri yang telah membunuh mereka. Netanyahu bukan hanya musuh Palestina; ia juga musuh bagi warganya sendiri. Ia bukan hanya perusak Gaza; ia juga perusak harapan rakyatnya sendiri.

Tapi sampai kapan Netanyahu bisa terus memainkan permainan ini? Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang mengabaikan rakyatnya sendiri tidak akan bertahan lama. Ketika rasa takut dan propaganda tidak lagi bisa menutupi kebohongan, rakyat akan bangkit. Jika Netanyahu terus bersikeras melanjutkan kebijakan brutalnya, bukan tidak mungkin ia akan menghadapi nasib yang sama seperti banyak diktator sebelum dirinya.

Namun, sebelum hari itu tiba, berapa banyak lagi nyawa yang harus dikorbankan? Berapa banyak lagi sandera yang harus mati? Berapa banyak lagi keluarga yang harus menangis tanpa mendapatkan keadilan? Netanyahu mungkin tidak peduli dengan pertanyaan ini. Tapi rakyatnya? Mereka mulai sadar bahwa mereka sedang diperintah oleh seorang pemimpin yang lebih takut kehilangan kekuasaan daripada kehilangan rakyatnya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *