Connect with us

Opini

Netanyahu dan Endgame Demokrasi: Drama Absurd di Atas Puing Gaza

Published

on

Apakah yang dicari Benjamin Netanyahu dalam perang yang tak kunjung usai di Gaza? Apakah kemenangan mutlak atas Hamas? Pengembalian seluruh sandera yang tersisa? Atau sekadar foto ops heroik di tengah reruntuhan Rafah yang tak lagi bisa disebut kota? Jika Anda membaca ulang deklarasi tujuan perang itu, rasanya seperti menonton ulang drama lawas dengan alur membosankan, tapi tokohnya tetap memaksakan diri tampil seolah pahlawan utama. Kita sudah tahu akhir ceritanya, hanya saja sang aktor belum mau turun panggung.

Netanyahu menyebut perang ini untuk “menghancurkan kekuatan militer Hamas dan kemampuannya memerintah.” Tapi apa daya, yang hancur justru rumah-rumah warga sipil, sumur-sumur air, dan sisa-sisa kemanusiaan. Ia ingin “mengembalikan sandera”—tapi entah bagaimana, operasi militer yang dilakukannya malah mengorbankan sebagian dari mereka. Ia bersumpah Gaza tak boleh menjadi ancaman lagi—dan karena itu, jalan tercepat, menurutnya, adalah dengan menghapus Gaza dari peta, atau setidaknya dari kehidupan manusia.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Bayangkan, 75% wilayah Gaza kini berada di bawah kendali Israel. Daerah itu seperti proyek reklamasi kemanusiaan, hanya saja isinya bukan lahan baru, tapi reruntuhan sekolah, rumah sakit, dan jasad anak-anak. Dua kilometer dari setiap sisi Gaza dijadikan “zona buffer”—bukan untuk mencegah ancaman, tapi untuk mencegah keberadaan. Rafah, yang dulunya tempat para pengungsi berusaha bertahan, kini dijadikan halaman kosong tempat Netanyahu bermimpi membangun “kota kemanusiaan.” Lucu juga. “Kota kemanusiaan” di atas kuburan massal. Kalau bukan sarkasme, ini mungkin teater absurd karya Kafka yang dipentaskan ulang oleh pemimpin zionis.

Tapi jangan salah. Di balik reruntuhan itu, bukan cuma Hamas yang jadi target. Ada logika politis yang lebih jahat, lebih halus, dan tentu saja lebih tahan banting: Netanyahu sedang berperang demi kekuasaannya sendiri. Ia tahu betul: selagi peluru berdesing dan kamera internasional sibuk merekam kehancuran, rakyatnya sendiri lupa siapa yang gagal mencegah serangan Hamas 7 Oktober. Siapa yang semestinya bertanggung jawab atas kecolongan terbesar dalam sejarah keamanan Israel? Siapa lagi kalau bukan dia. Tapi tentu, dalam logika politik murahan, lebih mudah mengubur kegagalan dengan bom 500 kilogram daripada dengan pengakuan.

Sementara tentara Israel menerima kabar duka karena tiga prajurit gugur, Netanyahu sibuk menyelamatkan koalisinya. Ia menggelar pertemuan darurat—bukan untuk membahas nasib Gaza, melainkan untuk membujuk partai-partai ultra-Ortodoks agar tetap mendukungnya. Tuntutannya? Tetap membebaskan pemuda Haredi dari wajib militer. Katanya sih, semua harus berkorban untuk negara. Tapi tentu, “semua” tak termasuk mereka yang sibuk membaca Talmud di kampung religius elit. Mungkin di sana, patriotisme dinilai dari jumlah doa, bukan darah di medan perang.

Lebih lucu lagi, sementara dunia bingung mencari solusi damai, Netanyahu justru menawarkan “jalan keluar” berupa pengusiran massal warga Gaza. Dengan wajah serius ia menyatakan bahwa “negara-negara” tengah bersedia menerima pengungsi Palestina. Tapi sejauh ini, tak satu pun negara muncul dengan tawaran konkret. Mungkin karena dunia tahu, ketika pemimpin zionis bilang “relokasi kemanusiaan,” yang ia maksud sebenarnya adalah etnis cleansing dengan cita rasa modern. Katanya demi perdamaian, tapi jalannya lewat eksodus. Memangnya ini Exodus 2.0?

Rencana membangun “kota tertutup” untuk 600.000 warga Gaza yang akan disaring, dimasukkan, tapi tidak boleh keluar, bahkan membuat Ehud Olmert—yang tak pernah dikenal sebagai pembela Palestina—berteriak: ini mirip kamp konsentrasi! Ironis ya, ketika mantan PM Israel sendiri menyamakan gagasan suksesor politiknya dengan kekejaman era Nazi. Tapi mungkin memang begitu siklusnya: yang dulu jadi korban kini belajar menjadi pelaku, dan sejarah diputarbalikkan menjadi senjata pembenaran.

Namun mari kita balik layar sebentar. Ternyata, di balik panggung Gaza yang menggelegar, ada drama kecil yang tak kalah penting: Netanyahu sedang bersiap menghadapi pemilu, tapi tentu dengan skenario ala sinetron—ia tak mau diseret ke arena pertarungan sebelum semua panggung siap. Ia ingin pemilu “di atas puing Hamas,” dengan bendera Israel berkibar di atas reruntuhan Gaza dan sandera yang (entah bagaimana) berhasil dipulangkan. Ia juga ingin menyingkirkan jaksa agung yang merepotkannya dalam kasus korupsi, mengganti kepala Shin Bet, kepala staf militer, dan siapa pun yang tak cukup loyal. Semua akan dibereskan lewat RUU ajaib yang memberi kewenangan kepada pemerintah baru untuk memecat siapa pun dalam 100 hari. Luar biasa, bukan? Demokrasi versi startup: cepat, ramping, dan tanpa oposisi.

Jika Anda berpikir ini semua hanya manuver sementara, mungkin Anda terlalu baik hati. Ini bukan soal kebijakan, ini soal proyek otoritarianisme yang dijalankan dengan garansi keamanan nasional. Atas nama perang, semua bisa dibenarkan. Bahkan kehancuran total pun bisa dijual sebagai “stabilitas jangka panjang.” Dan Netanyahu bukan satu-satunya pemimpin yang memainkan kartu ini—dunia punya banyak versinya, dari Myanmar hingga Moskow. Tapi Netanyahu, seperti pemain sulap veteran, tahu betul kapan menarik perhatian dan kapan mengalihkan fokus. Selama Gaza terbakar, orang lupa bahwa rumah tangga politiknya sendiri nyaris ambruk.

Sekarang mari kita jujur. Yang terjadi bukan perang demi keselamatan warga Israel. Ini adalah operasi penyelamatan… satu orang. Namanya Benjamin Netanyahu. Ia bukan sedang berjuang mengamankan perbatasan, tapi mengamankan masa depan politiknya sendiri. Dan seperti banyak tiran modern lainnya, ia tahu bahwa tragedi adalah bahan bakar terbaik untuk memperpanjang umur kekuasaan.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti memanggil ini sebagai “perang.” Karena perang punya tujuan, punya lawan yang jelas, punya akhir. Yang terjadi di Gaza lebih mirip permainan papan: yang satu melempar dadu, yang lain jadi bidak. Tapi bidak di sini bukan pion kayu, melainkan manusia—anak-anak, perempuan, orang tua, semua tanpa pilihan. Dan sang pemain tak sedang bermain untuk menang, ia hanya menolak kalah.

Begitulah Netanyahu merancang “endgame“-nya: bukan akhir dari perang, tapi akhir dari sistem yang bisa mengoreksi dirinya. Ia tidak sedang menghancurkan Hamas. Ia sedang menghancurkan ide tentang tanggung jawab. Dan selama dunia masih percaya bahwa ini semua demi keamanan, maka mungkin memang dunia layak disodori drama ini berulang kali.

Dan kita? Kita hanya bisa menyaksikan—dengan getir, dengan marah, atau dengan sinis—sambil bertanya-tanya: berapa banyak puing lagi yang dibutuhkan agar seseorang bisa menyatakan diri sebagai pahlawan?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer