Opini
Netanyahu dan Bayangan Skandal yang Tak Pernah Usai

Ada sesuatu yang ironis ketika seorang pemimpin berpidato tentang keamanan, integritas, dan kepemimpinan moral di hadapan bangsanya, sementara bayangan skandal justru terus menguntit di belakang punggungnya. Benjamin Netanyahu, figur yang sudah puluhan tahun memegang kendali “Israel,” kembali terseret dalam pusaran kasus. Kali ini bukan sekadar dugaan korupsi yang melibatkan cerutu mahal atau sampanye, melainkan sesuatu yang lebih getir: aliran dana jutaan dolar dari Qatar yang disalurkan lewat lingkaran dalamnya sendiri. Rasanya seperti menonton panggung sandiwara, di mana aktor utamanya masih bersikeras memegang peran heroik, meski panggung sudah mulai runtuh di sekelilingnya.
Skandal Qatargate yang kini mencuat bukan sekadar daftar tambahan dalam kronik panjang kasus Netanyahu, tetapi sebuah cermin yang memperlihatkan betapa rapuhnya benteng moral seorang pemimpin. Laporan menyebutkan, Doha menggelontorkan sekitar 10 juta dolar untuk membiayai kampanye pencitraan pro-Qatar di “Israel.” Sebuah perusahaan milik Yisrael Einhorn, rekan dekat Netanyahu, menjadi pintu masuk aliran dana itu, dengan bayaran bulanan mencapai 45 ribu dolar. Dari jumlah itu, sebagian masuk ke kantong Jonatan Urich, salah satu penasihat Netanyahu, dan sebagian lagi ke Eli Feldstein, yang bahkan diduga terlibat dalam kebocoran informasi rahasia ke media asing. Jika ini benar, maka yang sedang kita saksikan bukan sekadar praktik lobi biasa, melainkan konspirasi kepentingan yang menusuk jantung kepercayaan publik.
Saya rasa, publik “Israel” berhak marah. Bagaimana tidak? Selama bertahun-tahun mereka dicekoki narasi tentang keamanan nasional, tentang ancaman dari luar, tentang musuh yang harus diwaspadai. Namun ternyata, musuh yang paling berbahaya justru bisa bersemayam di ruang kerja perdana menteri. Bayangkan saja: dana asing mengalir begitu deras, lalu dipoles menjadi narasi indah tentang Qatar, tanpa disadari masyarakat bahwa itu bukan suara tulus pemerintah, melainkan suara uang. Ironi ini begitu kental—seperti seseorang yang berteriak “jangan percaya pada propaganda musuh” sambil diam-diam menjual pengeras suaranya kepada musuh itu sendiri.
Netanyahu seolah hidup dalam lingkaran setan kasus hukum. Ia sudah lama berhadapan dengan pengadilan dalam berbagai tuduhan, mulai dari suap hingga penyalahgunaan jabatan. Namun, entah mengapa, ia selalu berhasil bertahan. Ada kalanya dengan manuver politik yang licin, ada kalanya dengan memainkan sentimen ketakutan rakyat. Kini, Qatargate menambah beban, dan lagi-lagi kita dipaksa bertanya: sampai kapan seorang pemimpin boleh terus berdiri di atas gunungan skandal sebelum kursi yang didudukinya benar-benar runtuh? Saya membayangkan, jika pemimpin semacam ini muncul di Indonesia, publik pasti sudah gaduh tak karuan, media sosial meledak dengan sindiran, dan para politisi saling berebut panggung untuk menunjukkan “tangan bersihnya.” Tapi di “Israel,” drama ini seperti bab tambahan dari buku lama yang membosankan: kasus korupsi Netanyahu jilid sekian.
Yang membuat skandal ini semakin memalukan adalah nama Qatar itu sendiri. Negara kecil yang kerap tampil sebagai “penolong” Gaza, yang mengucurkan bantuan ke Palestina, ternyata juga menyalurkan dana ke lingkaran Netanyahu. Dua wajah yang kontradiktif, dua langkah yang saling bertentangan, namun sekaligus menunjukkan kelihaian Doha dalam memainkan catur politik regional. Satu langkah ke Gaza untuk membuktikan solidaritas Arab, satu langkah ke Tel Aviv untuk menjaga pintu diplomasi tetap terbuka. Dan Netanyahu? Ia tampak hanya menjadi bidak yang rela digerakkan, selama uang tetap mengalir dan citra bisa dipoles.
Namun, mari kita tidak salah fokus. Skandal ini bukan hanya tentang Qatar, melainkan tentang kegagalan kepemimpinan Netanyahu yang seharusnya menjaga marwah jabatan. Bahwa ia membiarkan orang-orang terdekatnya menerima dana asing, bahkan saat perang Gaza sedang berlangsung, menunjukkan betapa rapuhnya garis pemisah antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Inilah wajah politik yang sejati: bukan tentang ideologi, bukan tentang visi besar, melainkan tentang transaksi yang kotor, yang bahkan tak lagi disembunyikan dengan baik.
Ada kalanya saya bertanya, mengapa rakyat masih bisa menerima semua ini? Mungkin jawabannya sederhana: ketakutan. Netanyahu ahli memainkan kartu ancaman eksistensial. Setiap kali kasus hukum membelitnya, ia mengangkat narasi “Israel” dikepung musuh, bahwa hanya dirinya yang mampu menjaga bangsa tetap berdiri. Ini bukan strategi baru. Pemimpin di banyak negara sering memakai taktik serupa: menutupi bau busuk dalam negeri dengan meledakkan kembang api ancaman dari luar. Bedanya, di “Israel,” permainan ini sudah begitu melekat hingga banyak orang lupa untuk marah.
Bagi saya, Qatargate adalah potret paling gamblang tentang kemunafikan kekuasaan. Netanyahu berbicara lantang soal integritas, tetapi orang-orang kepercayaannya justru berhubungan dengan agen asing. Ia bicara tentang bahaya propaganda, sementara narasi publik dibentuk dari uang asing. Ia mengaku sebagai benteng terakhir bangsa, padahal benteng itu sendiri penuh retakan. Situasi ini tak ubahnya rumah megah yang cat luarnya masih berkilau, tetapi bagian dalamnya lapuk dimakan rayap. Dari luar tampak kokoh, dari dalam siap runtuh kapan saja.
Kita semua tahu, skandal bisa terjadi di mana saja. Di Indonesia pun kasus serupa bukan barang langka. Namun, ada perbedaan mendasar: ketika seorang pemimpin sudah terlalu sering diseret kasus, normalnya ia kehilangan legitimasi moral untuk tetap berkuasa. Di “Israel,” anehnya, legitimasi itu justru terus dipelihara dengan retorika perang. Seakan-akan rakyat dipaksa percaya bahwa lebih baik dipimpin oleh pemimpin bermasalah ketimbang hidup tanpa pemimpin sama sekali. Padahal, sejarah sering membuktikan: pemimpin yang korup justru lebih berbahaya ketimbang musuh di luar pagar.
Netanyahu mungkin masih bisa menunda kejatuhannya. Ia masih punya jaringan, masih punya simpatisan, masih bisa memainkan retorika. Tetapi skandal demi skandal yang terus bermunculan akan menumpuk menjadi beban sejarah. Qatargate hanyalah salah satu bab, namun bab yang menyingkap absurditas terbesar: seorang pemimpin yang mengaku tak tergoyahkan, ternyata begitu mudah digoyahkan oleh kilau uang dari luar. Dan absurditas itu, saya rasa, sudah cukup membuat kita semua tersenyum getir, sekaligus bertanya dalam hati: apakah inilah wajah sejati kepemimpinan yang selama ini diagung-agungkan?
Pingback: Netanyahu Bertahan dengan Perang Gaza yang Berdarah
Pingback: Netanyahu Pecat Gallant, Israel Kian Terpuruk
Pingback: Proyek Netanyahu di Palestina Temui Jalan Buntu