Connect with us

Opini

Neo-Khilafah vs Realpolitik: Tragedi di Suriah

Published

on

The Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) melaporkan lebih dari 1.500 warga sipil tewas di pesisir Suriah sejak 6 Maret. Mayoritas korban berasal dari komunitas Alawite yang dibantai oleh pasukan keamanan rezim baru pimpinan Ahmad al-Sharaa, eks pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Kini, pembantaian atas nama revolusi berganti menjadi pembantaian atas nama negara.

HTS dulu berteriak menentang kediktatoran Bashar al-Assad, menudingnya sebagai tiran yang menindas rakyat. Mereka menjual mimpi tentang keadilan Islam, kesejahteraan, dan perlawanan terhadap kekuatan asing. Kini, setelah mereka berkuasa, mereka justru menjadi tiran yang sama, menjalankan sistem yang mereka kutuk, hanya dengan bendera dan jargon yang berbeda.

Neo-Khilafahisme ala HTS hanyalah propaganda untuk merebut kekuasaan. Mereka berjanji menegakkan hukum Islam, tetapi yang terjadi hanyalah eksekusi massal, pembersihan etnis, dan penghancuran komunitas minoritas. Islam yang mereka bawa bukan lagi rahmat bagi semesta, melainkan palu godam yang menghantam siapa saja yang tak sepaham.

Pembantaian di pesisir Suriah adalah bukti bahwa slogan Islam HTS tak lebih dari topeng. Dulu mereka menyerang Assad karena menindas rakyat, kini mereka membantai rakyat sendiri. Dulu mereka menuduh musuh mereka sebagai kafir dan thaghut, kini mereka sendiri menggunakan kekerasan negara untuk menumpas lawan-lawan mereka.

Ahmad al-Sharaa, yang kini duduk di kursi kepresidenan transisi, dulu dicap sebagai teroris oleh Amerika Serikat. Ironisnya, kini dia menjadi kepala negara dengan sokongan asing. Mereka yang dulu mengutuk campur tangan asing kini berdiam diri saat zionis membombardir Damaskus. Revolusi mereka ternyata tak lebih dari pergantian penguasa, bukan perubahan sistem.

Ketika Bashar al-Assad tumbang, banyak yang berharap akan ada perubahan nyata di Suriah. Tapi HTS hanya mengganti dinasti politik dengan kediktatoran berjubah agama. Mereka tetap menggunakan kekerasan, tetap membungkam oposisi, dan tetap menebar ketakutan. Satu-satunya yang berubah adalah simbol di spanduk mereka.

PBB sudah mengecam pembantaian yang dilakukan oleh al-Sharaa, namun dunia sudah terlalu sering melihat pola ini berulang. Dulu Assad yang dicap penjahat perang, sekarang HTS yang melanjutkan jejaknya. Mereka hanya mengganti seragam tentara dengan jubah panjang dan sorban, tetapi metode mereka tetap sama: bunuh, hancurkan, dan bungkam.

Neo-Khilafahisme HTS kini berhadapan dengan realitas politik. Mereka dulu menyerukan jihad melawan penindasan, kini mereka sendiri menindas. Mereka dulu meneriakkan perjuangan melawan kekuatan asing, kini mereka membiarkan zionis menyerang Suriah tanpa perlawanan. Semua retorika itu hanyalah alat politik yang segera ditinggalkan setelah kekuasaan dalam genggaman.

Pembantaian ini bukan sekadar konflik sektarian. Ini adalah bukti bahwa ideologi yang diklaim sebagai solusi justru menjadi alat legitimasi bagi kediktatoran baru. HTS yang dulu berjanji membebaskan rakyat kini sibuk memenjarakan, membakar rumah, dan mengubur ratusan korban dalam kuburan massal di pesisir Suriah.

HTS kini memerintah seperti dinasti yang dulu mereka lawan. Mereka menciptakan birokrasi baru, menyingkirkan oposisi, dan menetapkan kebijakan otoriter dengan alasan stabilitas. Mereka tidak lagi peduli dengan mimpi revolusi, karena kekuasaan selalu lebih menggoda daripada prinsip. Islam yang mereka jadikan tameng kini hanya stempel untuk menjustifikasi kebrutalan mereka.

Dalam Neo-Khilafahisme HTS, hukum syariah hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara elite mereka bebas dari jeratan aturan yang mereka buat sendiri. Dulu mereka menyerukan hukum hudud bagi penguasa zalim, kini mereka menghindari hukuman atas kejahatan mereka sendiri. Ini bukan pemerintahan Islam, ini hanyalah tirani berkedok agama.

Zionis menyerang Damaskus, tapi al-Sharaa dan rezimnya tetap diam. Dulu mereka mengutuk setiap kebijakan Assad yang tidak melawan Israel, sekarang mereka sendiri mengulang sikap itu. Mereka tahu bahwa menghadapi zionis lebih sulit daripada membantai rakyat sendiri, jadi mereka memilih jalur pragmatis: diam, tunduk, dan sibuk dengan kekuasaan mereka sendiri.

Kini, HTS tak punya lagi dalih untuk menyalahkan Assad. Dulu mereka mengklaim bahwa semua kekacauan di Suriah adalah ulah rezim lama, tetapi sekarang mereka sendiri yang menebar kekacauan. Pembantaian yang mereka lakukan adalah bukti bahwa mereka bukan penyelamat, mereka hanya pembajak revolusi.

Tak ada yang berubah dalam politik Suriah, hanya wajah baru dengan metode lama. Dulu Assad menekan lawan-lawannya, kini HTS melakukan hal yang sama. Dulu rezim lama dicap brutal, kini HTS adalah manifestasi baru dari kebrutalan itu. Satu-satunya yang berganti adalah narasi propaganda yang mereka gunakan.

HTS berkuasa bukan karena mereka benar, tapi karena mereka cukup brutal untuk menang. Sejarah politik Suriah kembali membuktikan bahwa kekerasan adalah mata uang utama dalam perebutan kekuasaan. Siapa yang memiliki senjata, dialah yang menulis aturan. Dan HTS telah belajar dengan baik dari rezim-rezim sebelumnya.

PBB dan dunia internasional bisa saja mengecam pembantaian ini, tapi mereka tidak akan berbuat banyak. Seperti biasanya, kecaman hanyalah angin lalu yang tak akan menghentikan mesin kekerasan. HTS tahu itu, dan mereka akan terus melanjutkan tirani mereka di balik bayang-bayang revolusi yang sudah lama mati.

HTS dulu mengaku membawa harapan, kini mereka membawa kehancuran. Mereka yang dulu berbicara tentang jihad melawan penindasan, kini justru menjadi penindas. Mereka yang dulu berjanji membawa Islam sebagai solusi, kini hanya menggunakan Islam sebagai alat. Sejarah Suriah hanya berputar dalam lingkaran yang sama, dan HTS adalah bukti terbaru bahwa revolusi sering kali hanyalah jalan lain menuju tirani.

Kekuasaan telah mengungkap siapa mereka sebenarnya. Bukan pejuang kemerdekaan, bukan mujahid, bukan penyelamat umat. Mereka hanyalah aktor politik yang menggunakan agama sebagai panggung sandiwara mereka. Dan seperti semua rezim yang telah datang dan pergi di Suriah, mereka juga akan jatuh, meninggalkan jejak darah yang sama di tanah yang mereka klaim sebagai negeri Islam.

HTS telah menggantikan Assad, tetapi Suriah tetap sama. Darah masih mengalir, ketakutan masih membayang, dan rakyat tetap menjadi korban dari permainan kekuasaan. Inilah wajah sejati Neo-Khilafahisme—bukan Islam sebagai solusi, tapi Islam sebagai alat bagi para tiran baru yang hanya peduli pada singgasana mereka sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *