Connect with us

Opini

Negeri Oplosan: Dari Bensin hingga Kebijakan

Published

on

Di negeri ini, segalanya bisa dioplos. Dari bensin hingga kebijakan, dari janji hingga integritas. Kita hidup di tengah eksperimen kimia raksasa, di mana segala sesuatu bisa dicampur, dikocok, lalu dijual dengan label “asli”—meskipun isinya sudah penuh manipulasi. Masyarakat membayar mahal untuk Pertamax, tapi yang mereka dapat mungkin hanyalah Pertalite berbaju mewah. Begitulah nasib rakyat, membayar lebih untuk kebohongan yang disajikan dalam kemasan premium.

Bensin bukan satu-satunya yang dioplos. Kejujuran pun dicampur dengan kepentingan, keadilan dicairkan dengan negosiasi, hukum dikentalkan dengan pasal-pasal karet. Kata orang, ini negara hukum. Nyatanya, hukum di sini seperti oli bekas, hitam dan licin, bisa dipakai berulang kali untuk melumasi mesin kekuasaan. Kejahatan dilakukan terang-terangan, tapi selalu ada dalih untuk membenarkan. Ada kebocoran triliunan rupiah dalam bisnis migas, tapi yang disalahkan tetap rakyat karena terlalu banyak mengeluh soal harga BBM.

Kasus dugaan oplosan Pertamax dengan Pertalite ini bukan sekadar skandal bisnis, ini adalah pengkhianatan kolektif terhadap rakyat. Dari 2018 hingga 2023, kita dipaksa percaya bahwa Pertamina menjual bensin berkualitas, padahal mungkin yang kita beli adalah hasil olahan kreatif ala mafia migas. Rp 47 miliar per hari lenyap begitu saja—bukan karena gempa bumi atau bencana alam, tapi karena tangan-tangan tak kasat mata yang piawai meracik uang negara menjadi keuntungan pribadi. Dalam setahun, total kerugian masyarakat mencapai Rp 17,4 triliun. Itu cukup untuk membangun ribuan sekolah, rumah sakit, atau jembatan. Tapi sayang, uangnya lebih berguna untuk menggemukkan rekening para penikmat sistem.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mantan Komisaris Utama Pertamina, sudah lama mencium bau busuk ini. Tapi tanpa kewenangan penuh, ia hanya bisa menggeram tanpa menggigit. Ia bicara soal permainan, soal setoran, soal ganti pemain. Katanya, ada yang tak kebagian jatah, makanya ribut. Jadi ini bukan sekadar kasus korupsi biasa, ini adalah perang antar geng, perebutan lahan basah yang terlalu menggiurkan untuk dibiarkan begitu saja. Para pemain lama mungkin sudah tertangkap, tapi yang antre menggantikan mereka tak kalah rakusnya.

Masyarakat sering bertanya, bagaimana caranya korupsi bisa berlangsung begitu mulus? Jawabannya sederhana: tekniknya sudah disempurnakan. Oplos bensin, naikkan harga, lempar tanggung jawab. Beli minyak murah, jual sebagai premium, lalu pura-pura tidak tahu saat skandal terungkap. Manipulasi tender, atur pemenang, sisihkan pesaing. Dan yang paling penting, pastikan ada cukup uang untuk disetor ke atasan. Korupsi di negeri ini bukan sekadar pencurian, tapi sebuah industri dengan SOP yang jelas dan rantai pasok yang tertata rapi.

Dan kita semua tahu, ini bukan hanya terjadi di Pertamina. Oplosan kebijakan sudah menjadi budaya, dijual dalam bentuk janji kampanye, dipasarkan lewat media, dan dikonsumsi dengan sukarela oleh rakyat yang haus akan harapan. Subsidi BBM? Oplosan politik. Pengawasan ketat? Oplosan regulasi. Reformasi birokrasi? Oplosan narasi. Kita dibiarkan percaya bahwa pemerintah selalu bekerja untuk rakyat, sementara di balik meja, mereka sibuk menghitung komisi dari proyek-proyek yang dikendalikan oleh segelintir orang.

Tentu saja, solusi selalu ada. Tapi masalahnya, siapa yang mau menerapkannya? Ahok bilang negeri ini butuh macan sejati, bukan macan sirkus yang hanya berani mengaum saat sorotan kamera menyala. Kita butuh keberanian untuk menegakkan transparansi dalam pengadaan minyak. Kita butuh sistem digital yang bisa mengawasi setiap liter bensin yang keluar dari depot hingga sampai ke tangki kendaraan. Kita butuh auditor independen yang tak bisa dibeli, dan hukum yang benar-benar tajam untuk menindak setiap pelaku korupsi tanpa pandang bulu.

Tapi mari jujur pada diri sendiri. Apakah kita benar-benar menginginkan perubahan? Rakyat marah saat harga BBM naik, tapi toh tetap antre di SPBU. Kita geram saat korupsi terbongkar, tapi tetap memilih politisi yang sama. Kita tahu sistem ini busuk, tapi lebih suka mengutuk dalam hati ketimbang bertindak. Di sisi lain, para pelaku korupsi tetap tertawa. Mereka tidak takut, karena mereka tahu kebanyakan dari kita hanya bisa mengeluh di media sosial tanpa benar-benar menuntut perubahan.

Di negeri ini, keadilan adalah barang langka, kebenaran adalah komoditas mahal, dan kejujuran sering kali dianggap sebagai kebodohan. Kita sudah terlalu sering dipaksa percaya bahwa segalanya baik-baik saja, padahal yang kita hirup setiap hari adalah udara yang dipenuhi kebohongan. Bensin dioplos, kebijakan dioplos, hukum dioplos. Bahkan harapan pun mungkin sudah dioplos dengan keputusasaan. Dan seperti biasa, kita hanya bisa bertanya: siapa lagi yang akan menggantikan mereka? Bukan untuk memberantas, tapi sekadar untuk mengambil giliran menikmati pundi-pundi hasil pengoplosan berikutnya.

Negeri ini tidak butuh macan ompong yang hanya mengaum untuk kepentingan citra, tapi macan sejati yang tahu kapan harus menerkam. Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam siklus kebohongan yang sama, membeli harapan yang sudah dicampur dengan kepalsuan, dan menghirup udara yang semakin hari semakin beracun.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *