Connect with us

Opini

Negara Teluk dan Skandal Pengkhianatan Palestina

Published

on

Keterlibatan negara-negara Teluk dalam menghancurkan Palestina bukanlah sekadar isu diplomasi atau sikap politik yang setengah hati. Ini adalah proyek sistematis yang dirancang dengan aliran dana yang terstruktur, kebijakan yang didikte oleh kepentingan asing, serta kepatuhan terhadap agenda Barat dan zionis. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain bukan hanya sekadar diam, tetapi aktif menyalurkan dana, membuka jalur perdagangan, serta mendukung normalisasi dengan entitas zionis. Semua dilakukan dengan dalih pragmatisme politik dan kepentingan ekonomi, tetapi di baliknya adalah pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina.

Aliran dana yang menopang proyek penghancuran Palestina ini tidaklah rumit untuk ditelusuri. Arab Saudi, misalnya, melalui PIF (Public Investment Fund), telah menggelontorkan investasi besar ke sektor teknologi dan pertahanan yang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan zionis. UEA dengan ADQ (Abu Dhabi Developmental Holding Company) juga secara terang-terangan berinvestasi di industri teknologi pengawasan yang kemudian digunakan oleh zionis untuk memata-matai dan menekan rakyat Palestina. Bahrain, meskipun lebih kecil skalanya, turut berperan dengan membuka jalur komunikasi dan perdagangan yang semakin memperkuat normalisasi dan melemahkan solidaritas regional terhadap Palestina.

Lebih dari itu, keterlibatan negara-negara Teluk ini bukan hanya dalam bentuk investasi ekonomi. Mereka juga memfasilitasi pertemuan rahasia dengan pejabat zionis untuk membangun kesepakatan yang menguntungkan kepentingan politik dan keamanan mereka sendiri, dengan mengorbankan hak-hak rakyat Palestina. UEA, misalnya, telah menandatangani perjanjian keamanan siber yang memungkinkan pertukaran teknologi dan informasi intelijen dengan zionis, yang pada akhirnya digunakan untuk menargetkan para aktivis pro-Palestina dan membungkam suara perlawanan.

Arab Saudi, sebagai pemain kunci di kawasan, bahkan mulai beralih dari retorika dukungan terhadap Palestina ke langkah-langkah konkret yang merugikan perjuangan rakyatnya. Lewat proyek-proyek ekonomi yang melibatkan entitas zionis, seperti NEOM, Arab Saudi membentuk aliansi terselubung yang memperkuat cengkeraman zionis di kawasan Timur Tengah. Bahkan, dalam beberapa kasus, Riyadh menekan negara-negara Muslim lain untuk tidak bersikap terlalu keras terhadap zionis dengan iming-iming bantuan ekonomi atau ancaman diplomatik.

Baca Juga: Liga Arab Bicara Palestina, Tanpa Palestina!

Tak bisa dilupakan pula peran Qatar yang meskipun di satu sisi mendukung Hamas secara finansial, di sisi lain tetap menjalin hubungan bisnis dan politik dengan entitas zionis. Dana bantuan Qatar yang dikirim ke Gaza sering kali dikendalikan oleh mekanisme yang disepakati dengan zionis, memastikan bahwa aliran uang tersebut tetap dalam kendali dan tidak digunakan untuk perlawanan yang lebih luas. Ini adalah bentuk kontrol terselubung yang tetap menguntungkan zionis dalam jangka panjang.

Normalisasi hubungan yang didorong oleh Abraham Accords hanyalah puncak gunung es dari proyek penghancuran Palestina oleh negara-negara Teluk. Perjanjian ini tidak hanya menciptakan legitimasi bagi keberadaan zionis, tetapi juga membuka jalur ekonomi dan militer yang memperkuat pendudukan mereka di Palestina. Sementara rakyat Palestina terus berjuang dengan darah dan nyawa, negara-negara Teluk sibuk menghitung keuntungan dari kerja sama mereka dengan zionis.

Jika ditelaah menggunakan perspektif Ekonomi-Politik Internasional (IPE), jelas bahwa keterlibatan negara-negara Teluk dalam proyek penghancuran Palestina bukan sekadar bentuk normalisasi politik, tetapi juga strategi ekonomi yang kompleks. Kapitalisme global telah membentuk jaringan investasi dan aliansi ekonomi yang tidak mengenal batas ideologi atau solidaritas agama. Negara-negara Teluk, dengan kekayaan minyak mereka, menggunakan sumber daya tersebut bukan untuk memperkuat dunia Islam, melainkan untuk mengamankan posisi mereka dalam tatanan geopolitik global yang dikendalikan oleh Barat.

Arab Saudi, misalnya, melihat kerja sama dengan zionis sebagai peluang untuk mendiversifikasi ekonominya dari ketergantungan minyak. Lewat proyek Vision 2030, Riyadh menggandeng perusahaan teknologi dan militer yang berbasis di zionis untuk membangun infrastruktur digital dan keamanan dalam negeri mereka. Hal yang sama terjadi di UEA, yang menjadikan kerja sama dengan zionis sebagai jalan untuk mendapatkan teknologi pertahanan canggih yang memungkinkan mereka menekan oposisi domestik dan mengontrol arus informasi di dalam negeri.

Bahrain, dengan skala ekonominya yang lebih kecil, tetap memainkan peran sebagai perantara keuangan bagi aliran investasi yang lebih besar. Banyak perusahaan yang berbasis di Tel Aviv menggunakan Bahrain sebagai jalur perbankan untuk menghindari hambatan regulasi dan mendapatkan akses ke pasar keuangan yang lebih luas di Teluk. Ini memungkinkan modal zionis untuk bergerak bebas di kawasan tanpa hambatan berarti.

Sementara itu, Qatar memanfaatkan pendekatan dua muka: di satu sisi mendukung Hamas secara simbolis, di sisi lain memastikan bahwa hubungan bisnis dengan zionis tetap terjaga. Perusahaan-perusahaan Qatar telah terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur yang secara tidak langsung membantu perekonomian entitas zionis, termasuk investasi dalam sektor transportasi dan energi. Ini adalah bentuk ambiguitas yang memungkinkan Qatar untuk tetap menjaga citra sebagai pendukung Palestina, sekaligus mengamankan kepentingan ekonominya sendiri.

Dari sudut pandang IPE, jelas bahwa negara-negara Teluk lebih mementingkan stabilitas ekonomi dan aliansi strategis mereka daripada solidaritas dengan Palestina. Dengan menjadi mitra bisnis zionis, mereka memastikan bahwa posisi mereka dalam rantai ekonomi global tetap kuat. Ini adalah pengkhianatan terhadap Palestina yang dilakukan dengan alasan pragmatisme ekonomi, tetapi pada dasarnya adalah bentuk kolaborasi dengan penjajah yang mengorbankan bangsa yang telah tertindas selama puluhan tahun.

Keterlibatan negara-negara Teluk dalam penghancuran Palestina bukanlah sekadar tindakan pasif atau ketidaksengajaan. Ini adalah strategi yang terencana, dengan motif ekonomi dan politik yang jelas. Mereka telah menjual Palestina demi kepentingan pragmatisme jangka pendek, dan yang lebih ironis, mereka melakukannya dengan mengklaim sebagai pembela Islam dan hak-hak rakyat Muslim. Sejarah akan mencatat peran pengkhianatan ini, dan rakyat Palestina tidak akan melupakan bagaimana mereka ditinggalkan oleh saudara-saudaranya sendiri di tengah perjuangan yang semakin berat.

Namun, sejarah juga mencatat bahwa setiap pengkhianatan selalu berujung pada kehancuran pengkhianat itu sendiri. Negara-negara Teluk yang kini berkhianat, suatu saat akan menyesali keputusan mereka ketika hegemoni zionis tak lagi membutuhkan mereka dan menggantikannya dengan boneka baru. Rakyat Palestina mungkin terluka, tapi mereka tidak akan kalah. Mereka telah membuktikan bahwa perjuangan mereka lebih besar dari sekadar kesepakatan dagang atau diplomasi murahan. Mereka akan terus bertahan, sementara para pengkhianat akan jatuh, satu per satu, dilumat oleh sejarah yang tak kenal ampun.

 

*Sumber: Middle East Eye

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *