Connect with us

Opini

Negara Arab: Marah di Mimbar, Membisu di Gaza

Published

on

Beberapa waktu lalu, Benjamin Netanyahu berdiri dengan penuh percaya diri, menyampaikan bahwa dirinya tetap berkomitmen pada visi lama yang ia sebut Greater Israel (Israel Raya) — sebuah gagasan yang mencita-citakan Israel mencaplok wilayah yang jauh lebih luas dari batasnya saat ini, termasuk tanah Palestina dan sejumlah wilayah negara Arab. Pernyataan ini bukan sekadar slip lidah atau retorika kampanye; ini adalah pengakuan terbuka dari obsesi lama yang diwariskan generasi demi generasi zionis garis keras.

Seperti yang bisa diduga, sejumlah negara Arab langsung bereaksi. Kementerian luar negeri mengeluarkan pernyataan keras, konferensi pers digelar, dan kata-kata seperti “berbahaya”, “tidak dapat diterima”, serta “ancaman terhadap kedaulatan” pun bertebaran di media. Sekilas, ini terlihat seperti amarah yang tulus. Seolah-olah, mereka baru saja mendengar kabar yang benar-benar mengejutkan. Seolah baru sekarang mereka tahu bahwa di dalam peta impian Netanyahu, sebagian tanah mereka masuk dalam wilayah Israel Raya.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Padahal kita semua tahu: Palestina adalah langkah awal dan kunci Netanyahu untuk membuka pintu mimpi itu. Jika Palestina berhasil ditaklukkan, jika Gaza bisa dilenyapkan dari peta politik, maka wilayah lain akan menjadi target berikutnya — Yordania, Suriah, Sinai, bahkan sebagian Arab Saudi. Dan yang lebih ironis, saat ini Netanyahu tidak lagi sekadar bicara. Ia sudah bergerak. Tiga front dibuka sekaligus: Gaza di Palestina, Suriah, dan Lebanon.

Serangan ke Gaza adalah simbol, serangan ke Suriah adalah pesan, dan serangan ke Lebanon adalah ancaman eksplisit. Dalam logika sederhana, ini seharusnya menjadi alarm yang memekakkan telinga para penguasa Arab. Tapi entah kenapa, telinga itu justru sibuk mendengar ancaman lain yang tidak pernah benar-benar datang dari arah tersebut. Mereka lebih getol menuduh Iran sebagai ancaman utama kawasan, meskipun Iran, dengan segala kekurangannya, tidak menyerang satu pun negara Arab.

Inilah absurditas yang membuat kepala kita berdenyut. Israel yang jelas-jelas menyerang dan mencaplok dianggap sebagai “masalah yang harus dibicarakan baik-baik”, sementara Iran yang tidak menembakkan rudal ke Riyadh atau Kairo diperlakukan seperti monster yang mengintai di balik tirai. Jika ini bukan kebalikan dari logika sehat, saya tidak tahu lagi apa namanya.

Dan di sinilah kita mulai melihat pola lama yang membosankan itu lagi. Israel melangkah dengan aksi provokatif, negara-negara Arab merespons dengan retorika, lalu… sunyi. Tidak ada sanksi ekonomi kolektif. Tidak ada pembekuan hubungan diplomatik yang serius. Tidak ada aliansi militer yang dibentuk untuk melindungi wilayah mereka sendiri. Gaza tetap terkepung, penduduknya tetap dibombardir, dan proyek kolonial Israel terus melaju tanpa rem.

Kalau kemarahan itu tulus, batu ujinya jelas: Gaza. Sebab mempertahankan Gaza berarti memukul mundur perluasan Israel secara langsung. Dukungan kepada Hamas atau kelompok perlawanan lain di sana adalah langkah paling logis jika mereka memang benar-benar ingin mencegah terwujudnya Israel Raya. Tapi nyatanya, yang terdengar hanyalah suara mikrofon, bukan derap kaki pasukan atau dentuman logistik bantuan yang menembus blokade.

Kita tahu, diamnya mereka di medan pertempuran sama bisingnya dengan marahnya mereka di mimbar. Dan diam seperti ini bukan sekadar sikap pasif; ia adalah persetujuan yang dibungkus dengan kata-kata indah. Netanyahu tentu paham benar kelemahan ini. Ia tahu para penguasa Arab lebih takut kehilangan dukungan AS ketimbang kehilangan tanah Palestina. Ia tahu ketergantungan ekonomi dan militer mereka. Ia tahu bahwa banyak yang tidak ingin menanggung risiko politik domestik jika harus benar-benar berkonfrontasi.

Hasilnya? Retorika menggelegar di hadapan kamera, tapi di belakang layar, transaksi tetap berjalan. Hubungan dagang, kerja sama intelijen, bahkan proyek-proyek investasi bersama tidak terhenti. Dunia menyaksikan kemarahan formal yang aman — marah yang tidak berbahaya bagi pelaku yang dimarahi.

Masalahnya, visi Israel Raya ini tidak berhenti di Palestina. Dalam beberapa peta dan wacana para pendukungnya, wilayah yang diincar mencakup Yordania, Sinai Mesir, sebagian Suriah, bahkan ujung utara Arab Saudi. Dengan kata lain, jika mereka terus bersikap seperti sekarang, mereka bukan hanya mengorbankan Palestina, tetapi juga membuka pintu bagi amputasi wilayah mereka sendiri.

Ironinya, mereka tidak bertindak seakan sadar bahwa mereka berikutnya. Mungkin karena mereka percaya, selama diam dan tidak mengganggu, Israel tidak akan melangkah sejauh itu. Mungkin juga karena, dalam hati, mereka merasa pernyataan Netanyahu hanyalah retorika politik internal Israel yang tidak akan terwujud. Tapi sejarah kolonial mengajarkan hal sebaliknya: ambisi yang diulang-ulang, pada akhirnya, mencari jalannya menjadi kenyataan.

Bayangkan, seorang tetangga terang-terangan mengatakan ia ingin mengambil separuh rumah Anda, dan Anda hanya menanggapinya dengan pidato keras di depan warga kampung, tapi malamnya tetap bertemu dengannya untuk membicarakan proyek bisnis. Begitulah perilaku banyak negara Arab hari ini. Dan ini bukan lagi rahasia bagi rakyat di kawasan; yang lebih tragis, rakyat Palestina mengetahuinya sambil terus hidup di bawah penjajahan.

Beberapa penguasa Arab akan berkata, “Kami harus menjaga stabilitas.” Itu hanya kalimat lain dari “Kami tidak akan bertindak jika risikonya terlalu besar.” Padahal, justru ketidakberanian ini yang memberi stabilitas kepada pihak yang mengancam mereka. Stabilitas yang salah alamat.

Kalau situasi ini dibiarkan, kita akan melihat Palestina yang semakin menciut, Gaza yang mungkin lenyap sebagai entitas yang punya pemerintahan sendiri, dan peta Timur Tengah yang perlahan diwarnai ulang sesuai visi Greater Israel. Ketika hari itu datang, para pemimpin Arab mungkin akan kembali ke mimbar, mengutuk, menggelar konferensi darurat, dan sekali lagi tidak berbuat apa-apa.

Mungkin kelak sejarah akan mencatat masa ini sebagai saat di mana mereka punya peluang emas untuk menghentikan proyek Israel Raya, tapi memilih menontonnya berjalan. Seperti penonton bioskop yang tahu filmnya buruk, tapi tetap duduk sampai selesai, entah karena malas keluar atau karena diam-diam menikmati ceritanya.

Dan jika benar itu yang mereka mau — jika Israel Raya bisa terwujud tanpa mereka kehilangan kekuasaan — maka semua pidato yang kita dengar hari ini hanyalah bagian dari naskah yang disepakati diam-diam. Sandiwara terbesar abad ini, di mana kemarahan hanyalah kosmetik, dan diam adalah tanda tangan persetujuan.

Dan lihatlah kita, para pengamat dari jauh, menyaksikan sandiwara ini sambil mengernyit. Kita tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi tidak bisa berbuat banyak. Kita menyaksikan mimbar-mimbar Arab berasap dengan kata-kata besar, tapi tangan mereka tetap hangat berjabat dengan Israel. Kita tersenyum getir, kadang tertawa pahit, karena kebenaran sederhana ini: jika membela Gaza berarti kehilangan sedikit kenyamanan, lebih mudah bagi mereka menutup mata. Dan pada akhirnya, sejarah akan menilai—bukan berdasarkan kata-kata yang mereka ucapkan, tapi berdasarkan apa yang mereka pilih untuk tidak lakukan.

Ini adalah kenyataan yang getir bagi siapa pun yang masih berharap ada keberanian nyata. Palestina bukan sekadar tanah yang terjajah; ia adalah batu ujian. Jika negara-negara Arab gagal melewati ujian ini, maka bukan hanya Gaza yang jatuh, tetapi seluruh masa depan Timur Tengah akan tercatat dalam sejarah sebagai wilayah yang diam-diam menyerahkan kedaulatannya kepada visi orang lain. Dan itu, teman-teman, bukan retorika. Itu realitas yang pahit.

Sumber:

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: Mereka Berebut Kuasai Gaza - vichara.id

  2. Pingback: Istana-Istana Arab Menutup Mata, Ketika Gaza Terbakar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer