Opini
NBA: Bicara Palestina, Karir Bisa Tamat!

Pada tahun 2014, Dwight Howard, pemain NBA yang tengah bersinar, memutuskan untuk mengungkapkan simpati terhadap Palestina lewat sebuah tweet: “Free Palestine.” Dalam sekejap, karirnya berada di ujung tanduk. Tidak disangka, sebuah kata-kata sederhana bisa mengancam kelangsungan profesi seorang bintang basket. Ternyata, berempati bisa lebih berisiko daripada sekadar mencetak poin.
“Free Palestine” bukan hanya sebuah tweet, melainkan langkah berani yang memperlihatkan betapa dunia olahraga dikuasai oleh kekuatan yang lebih besar dari sekadar permainan di lapangan. Howard, yang dikenal sebagai pribadi yang dekat dengan penggemar, hanya berniat untuk mendukung mereka. Namun, reaksi yang datang secepat kilat. NBA jelas tidak siap menghadapi tweet tersebut.
Sementara Howard berpikir bahwa dukungan kepada sesama manusia adalah hal yang normal, namun dunia NBA ternyata memiliki standar yang jauh lebih tinggi: jangan pernah menyentuh isu-isu sensitif yang dapat merusak citra perusahaan. Palestina? Itu adalah wilayah yang sangat dilarang untuk dikaitkan dengan nama NBA. Kalau bisa, cukup diam dan bermain bola saja.
Memang, betapa ironisnya, NBA yang mempromosikan keanekaragaman dan kebebasan berpendapat, ternyata juga memiliki batasan tak tertulis. Batasan yang menyatakan bahwa Anda boleh berbicara tentang segala hal, kecuali ketika itu menyangkut Palestina. Dunia olahraga telah lama menjadi arena di mana pemain dipaksa menahan diri untuk tidak berbicara tentang isu yang lebih besar dari sekadar bola basket.
Dalam waktu singkat, Howard menerima peringatan keras. “Hapus tweet ini, atau hadapi konsekuensinya,” ujar para pejabat NBA. Namun, Howard yang bingung bertanya-tanya, apa yang salah dengan memberi dukungan kepada sesama manusia? Ternyata, menurut standar NBA, kebebasan berpendapat hanya berlaku dalam konteks yang aman—konteks yang tidak mengancam pendapatan mereka.
Dunia basket memang penuh dengan keseruan, tapi tak sedikit yang menyadari bahwa ada banyak peraturan tak tertulis yang mengatur langkah para pemainnya. Salah satunya adalah: “Jangan menyentuh isu yang berpotensi merusak bisnis.” Dan jika Anda tidak mengikuti aturan ini, Anda bisa menjadi korban pertama dari sistem yang sebenarnya menganggap Anda hanya sebagai aset.
Tentu saja, tidak hanya Howard yang merasakan tekanan ini. Banyak pemain NBA lainnya, baik yang aktif maupun yang sudah pensiun, menghadapi situasi serupa. Mereka mendapati diri mereka berada di bawah sorotan, bukan karena permainan mereka, tetapi karena pendapat politik yang mereka sampaikan. Berbicara tentang Palestina? Jangan harap mendapatkan dukungan penuh dari liga yang mengutamakan keuntungan.
Setelah Howard menarik kembali tweet-nya, kisah ini seakan hilang begitu saja dari pemberitaan. Namun, bagi banyak orang, ini adalah pengingat bahwa dalam dunia olahraga, opini publik bisa menjadi alat yang lebih ampuh dari sekadar skill bermain bola. Tentu saja, yang lebih penting adalah menjaga status quo dan tidak menyentuh topik-topik yang bisa memicu kontroversi.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di NBA. Banyak sektor lain, mulai dari hiburan hingga olahraga, yang menginginkan agar para selebritas dan atlet tetap diam ketika berbicara tentang isu-isu besar. “Jangan pernah terlalu vokal, kecuali itu tentang sponsor dan produk yang sedang tren,” sepertinya itulah pesan yang terkirim jelas. Namun, seperti yang kita tahu, kadang suara yang paling keras datang dari mereka yang berani berkata sesuatu yang berbeda.
Akhirnya, meski telah memenangkan banyak penghargaan dan meraih banyak prestasi, Howard harus membayar harga yang sangat tinggi hanya untuk mengekspresikan empati. Dalam dunia yang sering kali memisahkan antara hiburan dan politik, ketidakberanian untuk berdiri di sisi kebenaran dapat menghancurkan karir seseorang. Sebuah tweet yang penuh harapan bisa dengan mudah menghancurkan masa depan seorang bintang, yang ironisnya, lebih berisiko daripada kesalahan di lapangan.
Pada akhirnya, NBA dan banyak sektor lainnya mengajarkan satu hal: ada batasan yang tidak boleh dilanggar. Sebagai seorang atlet, Anda boleh berbicara tentang hampir segalanya, kecuali tentang Palestina, atau mungkin isu-isu yang melibatkan ketidakadilan di dunia. Dan ketika Anda mencoba melakukannya, Anda hanya perlu siap menghadapi kenyataan bahwa karir Anda mungkin akan segera berakhir, hanya karena Anda memilih untuk berbicara atas nama kemanusiaan.