Opini
NATO: ‘Sapi Perah’ AS yang Tak Pernah Bebas dari Cengkeraman

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Apa yang terjadi ketika sebuah aliansi besar, seperti NATO, ternyata lebih mirip dengan sapi perah bagi satu negara—dan sayangnya, sapi itu adalah mereka sendiri, sementara pemilik perahannya duduk nyaman di kursi empuk di Washington? Perhatikan saja belanja militer NATO yang terus meroket sejak pecahnya perang Ukraina pada 2022, yang entah kenapa membuat para jenderal dan taipan militer Barat seperti menemukan harta karun. Semua anggota NATO, dengan penuh semangat, mengikuti instruksi untuk meningkatkan anggaran pertahanan mereka. Dan siapa yang untung? Tidak lain dan tidak bukan, tentu saja, Amerika Serikat.
Polandia, yang bahkan mungkin tidak bisa membayangkan mengapa harus menghabiskan 4.12% dari PDB mereka untuk membeli lebih banyak senjata, ikut-ikutan terjun ke dalam lomba gila ini. Di sisi lain, Amerika Serikat, si juara bertahan, dengan santai menghabiskan $967.7 miliar—belanja militer terbesar di dunia—sambil mengisap keuntungan dari negara-negara yang terpaksa membeli barang-barang perang mereka. Dengan kata lain, NATO membayar, AS mengambil untung. Tak heran, Presiden AS yang terpilih, Donald Trump, malah ingin memperbesar porsi pemerasan ini menjadi 5% dari PDB. Jadi, apakah ini langkah menuju keamanan kolektif? Atau sekadar cara AS untuk terus memompa kantongnya, sambil melupakan negara-negara anggota lainnya yang semakin kelimpungan?
Lalu muncul pertanyaan yang lebih besar: bagaimana jika perang Ukraina berakhir? Apakah itu berarti NATO terbebas dari cengkeraman AS, atau justru ini menjadi titik balik dari sebuah kenyataan yang lebih pahit: bahwa mungkin saja NATO memang dirancang untuk menjadi sapi perah AS sejak awal? Perang Ukraina, dengan segala penderitaan dan kerugian yang ditimbulkan, tampaknya lebih dari sekadar konflik regional. Ini bisa jadi pembuka jalan bagi AS untuk menata ulang taktik pemerasannya, dengan Ukraina sebagai alat yang sangat efektif. Tapi apa yang akan terjadi ketika Ukraina selesai dimanfaatkan? Apakah AS akan berhenti memeras, atau justru mengalihkan perhatiannya ke konflik China-Taiwan? Bukankah itu pertarungan besar berikutnya yang bisa memompa keuntungan industri senjata dengan skala yang jauh lebih besar?
Tentu saja, pertanyaan ini tak hanya sekadar teoretis. NATO tidak akan begitu saja “bebas” dari peranannya dalam sistem ini. Keamanan kolektif yang dulu dijanjikan kini malah terlihat semakin terdistorsi. Begitu perang Ukraina berakhir—katakanlah, jika perdamaian benar-benar tercapai—maka AS pasti akan berusaha mencari cara lain untuk terus memompa keuntungan militer dari aliansi ini. Dengan China-Taiwan sebagai potensi konflik besar berikutnya, siapa yang akan rugi jika bukan negara-negara NATO yang terpaksa mengikuti instruksi AS? Negara-negara ini mungkin merasa lelah, tapi dalam dunia politik dan ekonomi, lebih mudah untuk dipaksa mengikuti jalur yang sudah ditetapkan oleh yang lebih kuat. NATO akan tetap berperan sebagai mesin perangnya AS, meski dalam bentuk yang berbeda.
Dan jika melihat situasi ini secara lebih kritis, bisakah kita menyebutnya sebagai perbudakan modern? Negara-negara NATO, meski hidup dalam dunia yang tampaknya bebas dan demokratis, sesungguhnya terjebak dalam sistem yang sangat asimetris. Mereka dipaksa untuk terus mengeluarkan uang untuk senjata dan alat perang, yang entah bagaimana selalu berakhir di tangan industri militer AS. Meskipun mereka menjadi bagian dari aliansi yang menjanjikan keamanan, pada kenyataannya mereka adalah budak ekonomi dari negara yang mengendalikan peralatan perang global. Sumber daya mereka terus diperas, sementara mereka tetap harus berjuang mempertahankan citra sebagai negara yang “berdaulat” dan “mandiri”. Semua ini jelas merupakan bentuk perbudakan ekonomi yang tak tampak, sebuah perbudakan modern yang disamarkan dengan jargon-jargon tentang “perlawanan terhadap ancaman global”.
Lantas, apakah nasib NATO sebagai sapi perah ini akan terus berlanjut? Jika keadaan terus seperti ini, tidak ada alasan kuat untuk meyakini bahwa ini akan berakhir dalam waktu dekat. AS akan terus mencari konflik-konflik baru, menciptakan alat perah baru, dan NATO akan tetap terjebak dalam permainan ini. Apakah masih ada masa depan untuk NATO? Ya, mungkin, tapi bukan sebagai entitas yang kuat dan mandiri. Ke depannya, NATO bisa saja menjadi seperti mesin yang sudah usang, tetap beroperasi, namun hanya berfungsi untuk menggerakkan roda keuntungan bagi satu negara—Amerika Serikat.
Pada akhirnya, jika NATO terus diperlakukan sebagai sapi perah oleh AS, aliansi ini tidak hanya akan kehilangan arah dan tujuan, tetapi juga mungkin kehilangan legitimasi di mata dunia. Apakah ini yang dimaksud dengan perbudakan modern? Sebuah perbudakan yang dibalut dengan ilusi kebebasan, di mana negara-negara besar hanya terlihat bersatu, namun pada kenyataannya, mereka telah menjadi penjaga kepentingan pihak lain—dan mereka tidak akan bisa lepas darinya begitu saja.
*Sumber: Sputnik