Connect with us

Opini

NATO, Rusia, dan Permainan Kotor di Meja Diplomasi

Published

on

Eropa dan Amerika Serikat harus secara bertahap menormalisasi hubungan dengan Rusia setelah konflik Ukraina berakhir, kata Mark Rutte, Sekjen NATO yang baru. Pernyataan ini datang tak lama setelah ia bertemu Donald Trump di Gedung Putih, presiden yang telah kembali ke tampuk kekuasaan setelah memenangkan pilpres 2024. Apakah ini tanda keputusasaan, realisme, atau sekadar permainan kata dalam geopolitik?

Dari sudut pandang realisme politik, Rutte mungkin hanya berbicara blak-blakan tentang hal yang sudah lama dipahami di balik layar: Rusia tak akan bisa dihilangkan dari peta. Jika perang Ukraina berakhir, Eropa dan AS tidak punya pilihan selain menerima fakta itu. Bahkan, tanpa perang pun, Rusia adalah realitas geografis dan ekonomi yang tak bisa dielakkan.

Tapi jika dilihat dengan pisau analisis ekonomi-politik, ada nuansa lain. Eropa telah menghabiskan ratusan miliar euro untuk membiayai perang proksi ini, dengan industri senjata menjadi pemenang besar. Apakah Rutte mulai menyadari bahwa modal Eropa telah banyak terbakar, sementara Rusia tetap berdiri? Atau ini hanya taktik mencari jalan mundur dengan wajah tetap terselamatkan?

Lalu ada analisis historis. Sejak 2014, setelah Krimea kembali ke pangkuan Rusia, NATO telah membangun permusuhan sistemik dengan Moskow. Retorika ‘melawan agresi Rusia’ menjadi mantra suci di Eropa. Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa setelah konflik besar, ada saatnya untuk duduk berunding. Apakah ini saatnya, atau NATO hanya kehabisan energi untuk bermain perang?

Namun, jika dilihat dengan pisau analisis psikologis, pernyataan Rutte ini bisa dibaca sebagai upaya menyelamatkan muka kolektif Barat. Selama bertahun-tahun, mereka menyebut Rusia sebagai ‘musuh dunia bebas,’ dan kini tiba-tiba ingin berbaikan? Ini bukan hanya soal strategi, tapi juga mentalitas. Bagaimana cara menjual narasi ini ke publik yang sudah dicekoki kebencian terhadap Rusia?

Di sisi lain, pernyataan Rutte juga menyimpan pesan ironis. Eropa selama ini berkoar-koar tentang prinsip demokrasi dan hak asasi, tetapi begitu realitas ekonomi menampar, mereka siap bernegosiasi dengan ‘musuh’ yang mereka kutuk habis-habisan. Politik ternyata bukan soal nilai, tetapi soal siapa yang masih punya uang untuk bertahan di meja permainan.

Sementara itu, Washington juga memainkan kartunya. Trump, yang kini kembali ke Gedung Putih, sejak lama memiliki sikap lebih lunak terhadap Moskow dibanding pendahulunya. Kini, ia terlihat ingin memulihkan hubungan ekonomi dengan Rusia. Mungkin bukan karena cinta, tetapi karena kepentingan. Setelah semua, bisnis adalah bisnis, dan dunia tidak hanya tentang Ukraina.

Bagi Eropa, ini adalah tamparan besar. Selama bertahun-tahun, mereka patuh pada strategi AS, memusuhi Rusia atas nama solidaritas Barat. Tetapi ketika Washington mulai mendekati Moskow kembali, Eropa mau tak mau harus ikut. Dalam politik global, kedaulatan Eropa ternyata tidak lebih dari ilusi manis.

Tapi ada satu hal yang tak bisa diabaikan. Ukraina. Di mana posisi mereka dalam semua ini? Jika NATO mulai memikirkan rekonsiliasi dengan Rusia, apakah itu berarti Ukraina akan dibiarkan terkatung-katung? Selama ini, Ukraina dianggap sebagai benteng Barat melawan ekspansi Rusia. Tetapi jika benteng itu sudah tidak menguntungkan, apakah mereka akan ditinggalkan begitu saja?

Keputusan untuk tidak memasukkan keanggotaan Ukraina dalam perundingan damai adalah sinyal jelas bahwa Barat sudah siap mundur. Bagi Moskow, ini kemenangan besar. Sejak awal, mereka menuntut agar Ukraina tidak menjadi anggota NATO. Dan kini, tuntutan itu mulai diakui secara de facto. Ini adalah kekalahan yang dibungkus sebagai kompromi.

Lalu bagaimana dengan pemimpin Eropa lainnya? Viktor Orban dan Robert Fico mungkin tertawa paling keras saat ini. Sejak awal, mereka menentang kebijakan konfrontatif terhadap Rusia, dan kini, mereka terbukti benar. Sementara itu, para pemimpin Eropa lain harus mencari cara menjelaskan kepada rakyatnya mengapa mereka harus bersikap ramah terhadap Rusia setelah bertahun-tahun menanam kebencian.

Di balik semua ini, ada juga pertimbangan militer. NATO selama ini menekan anggotanya untuk meningkatkan belanja pertahanan. Trump bahkan terang-terangan mengkritik Eropa karena tidak cukup mengeluarkan uang untuk militer. Tetapi kini, apakah masuk akal untuk terus membangun kekuatan militer jika Rusia sudah bukan lagi ‘musuh’ yang harus diperangi?

Pernyataan Rutte adalah simbol dari kebingungan kolektif Barat. Mereka telah menghabiskan lebih dari dua tahun dalam konflik ini, dan sekarang mulai sadar bahwa jalan keluar satu-satunya adalah dengan kembali berdamai. Tetapi bagaimana cara menjual perdamaian ini ke masyarakat yang telah dimobilisasi dalam narasi perang?

Mungkin ini bukan hanya tanda keputusasaan, tetapi juga pengakuan bahwa mereka telah salah perhitungan sejak awal. Rusia ternyata tidak bisa dihancurkan dengan sanksi ekonomi atau perang proksi. Justru sebaliknya, Moskow semakin kuat, baik secara ekonomi maupun politik. Dan sekarang, Barat harus mencari cara keluar dari rawa yang mereka ciptakan sendiri.

Sejarah mengajarkan bahwa perang selalu diikuti oleh negosiasi. Namun, cara negosiasi itu dilakukan menentukan bagaimana para pemain di atas panggung global akan dikenang. Apakah NATO dan AS akan dianggap sebagai pihak yang pragmatis, atau justru sebagai kekuatan yang terjebak dalam kontradiksi mereka sendiri?

Dan pada akhirnya, pernyataan Rutte adalah refleksi dari situasi yang lebih besar. Eropa kelelahan, AS pragmatis, dan Rusia tetap tegak. Ukraina? Mereka mungkin hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah perang ini, satu lagi pion yang dikorbankan demi ambisi kekuatan besar. Dan seperti biasa, yang kalah bukanlah para elit, tetapi rakyat biasa yang tak punya kuasa atas permainan ini.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *