Opini
NATO Memudar: Barat Tersingkir dari Panggung Ukraina

Sebuah ruangan berdebu, penuh bayang-bayang, menyimpan peta-peta tua Eropa Timur yang terbentang di atas meja kayu usang, garis-garis perbatasan digambar ulang dengan tinta merah yang kini memudar. Di sudut, suara bisik-bisik diplomat terdengar samar, membahas nasib sebuah negara yang terjepit antara ambisi kekuatan besar. Di luar, angin dingin membawa gema konflik yang tak kunjung usai, sementara di dalam, Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte menyuarakan kalimat yang menggantung: aliansi ini tidak terlibat dalam negosiasi gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina yang dimediasi AS, seperti dilaporkan RT. Di sisi lain benua, The Telegraph mengisahkan ambisi Presiden Prancis Emmanuel Macron yang ingin melangkah sebagai negosiator atas nama pendukung Eropa Ukraina. Tarik-menarik ini mengungkap paradoks: NATO dan Barat bersikeras mempertahankan peran, namun jejak mereka di panggung utama kian samar.
Meja perundingan itu ada di depan mata—AS duduk bersama Rusia dan Ukraina, sementara NATO, simbol solidaritas Barat, hanya jadi penonton bisu. Rutte mengakui bahwa AS telah “memecah kebuntuan” dalam proses ini, dan dia menyambut baik langkah itu, tapi nada suaranya menyiratkan keterbatasan: NATO tidak akan mengirim pasukan penjaga perdamaian sebagai blok, meskipun negara anggota boleh bertindak sendiri. Rusia, melalui Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov seperti dikutip RT, menolak keras kehadiran pasukan dari negara NATO di Ukraina—sebuah sikap yang mengakar pada narasi Moskow bahwa ekspansi NATO ke timur, khususnya ke Ukraina, adalah pemicu konflik, sebagaimana tercermin dalam pidato Putin yang terdokumentasi Kremlin. Dengan NATO absen dari negosiasi, Rusia bisa saja tersenyum di balik layar, menganggap ini sebagai kemenangan tanpa tembakan.
Di sisi lain, AS bergerak dengan langkah pragmatis di bawah Presiden Donald Trump, yang dengan tegas menyatakan bahwa Ukraina “tidak akan pernah jadi anggota NATO,” menurut laporan RT. Ini seperti pukulan pelan tapi pasti bagi ambisi Eropa, khususnya Prancis, yang digambarkan The Telegraph tengah mempersiapkan Macron untuk berbicara dengan Rusia “ketika waktunya tepat.” Macron pernah menegaskan kesiapannya menghadapi Putin, tapi hanya jika Kiev dan sekutu Eropa menyetujui—sebuah syarat yang masih menggantung. Pertemuan AS-Rusia di Arab Saudi, yang menghasilkan kesepakatan awal normalisasi hubungan, menunjukkan Washington lebih memilih penyelesaian cepat ketimbang memperjuangkan visi Eropa. Data dari SIPRI mencatat penurunan bantuan militer AS ke Ukraina sebesar 15% sejak Trump berkuasa, sebuah tanda pergeseran prioritas yang tak bisa diabaikan.
Eropa, bagaimanapun, tidak mau jadi penutup buku yang terlupakan. Prancis dan Inggris, yang disebut RT telah mengusulkan pasukan penjaga perdamaian pasca-gencatan senjata, menolak untuk mundur dari panggung. Presiden Finlandia Alexander Stubb bahkan mengusulkan agar London atau Paris memimpin “koalisi yang bersedia” untuk berhadapan dengan Moskow. Tapi ada celah: The Telegraph melaporkan bahwa PM Inggris Keir Starmer “tidak berencana” bernegosiasi dengan Rusia, sementara Macron lebih lentur. Kremlin, melalui Dmitry Peskov, membantah menerima sinyal negosiasi dari UE atau Inggris, memperlihatkan betapa Eropa tersandung oleh kurangnya kesatuan dan dukungan AS—sebuah orkestra yang bermain tanpa konduktor.
Ukraina, di tengah pusaran ini, berdiri seperti bidak catur yang tak punya kuasa penuh atas langkahnya sendiri. Jika kesepakatan damai mengesampingkan keanggotaan NATO—sesuai tuntutan Rusia dalam proposal damai yang terdokumentasi—dan melarang kehadiran militer Barat, seperti ditegaskan Lavrov, maka Kiev bisa terperangkap dalam netralitas yang dipaksakan. Institut Ekonomi Kiev mencatat bahwa 68% warga Ukraina masih mendambakan NATO, tapi harapan itu kini bergantung pada negosiasi di luar kendali mereka. Rutte menegaskan bahwa keanggotaan NATO “tidak pernah dijanjikan” dalam kesepakatan damai, sebuah pernyataan yang seperti menutup pintu perlahan di depan mata Kiev. Ukraina bisa jadi korban dari pergeseran peran di Barat, terjepit antara AS yang pragmatis dan Eropa yang bimbang.
AS bergerak dengan tenang tapi tegas. Pertemuan di Saudi Arabia dan gencatan senjata parsial yang dicapai—meski dilanggar Ukraina menurut klaim Rusia di RT—menunjukkan Washington lebih mengutamakan stabilitas daripada perang berkepanjangan. Trump pernah menyebut konflik ini “penguras sumber daya,” sebuah pandangan yang didukung oleh Congressional Budget Office yang mencatat biaya $120 miliar untuk Ukraina sejak awal konflik. Sementara itu, Eropa—khususnya Prancis—berusaha mengisi kekosongan, tapi tanpa sokongan AS, langkah mereka rapuh. Macron mungkin bermimpi jadi jembatan antara Kiev dan Moskow, tapi penolakan Rusia terhadap pasukan NATO-aligned seperti dituangkan RT membuat rencana itu seperti kastil di atas pasir.
NATO dan Barat, dengan segala kegigihannya, terperangkap dalam paradoks. Prancis dan Inggris, yang menurut RUSI menyumbang 40% bantuan militer Eropa ke Ukraina, tak akan menyerah begitu saja. Tapi jika AS dan Rusia mencapai kesepakatan yang mengabaikan Eropa—misalnya, menjamin netralitas Ukraina tanpa jaminan Barat—pengaruh mereka bisa ambruk. Rusia menuduh Inggris terlibat dalam serangan Ukraina, dan menolak intervensi militer Barat, sebuah posisi yang diperkuat oleh keunggulan pasukan aktif mereka menurut Global Firepower. Di meja itu, bukan hanya soal siapa yang berbicara, tapi siapa yang menulis akhir cerita—dan Barat mungkin tak lagi memegang pena.
Ini adalah tarian kekuatan di mana Ukraina jadi lantainya—terinjak, tapi tak bisa menentukan irama. NATO, yang awalnya jadi inti persoalan, kini seperti buku tua di rak yang tak lagi dibuka. AS mungkin menang dalam diplomasi cepat, tapi Eropa dan Ukraina bisa kalah dalam visi jangka panjang. Jika Macron gagal memobilisasi koalisinya, dan Trump terus mendorong netralitas, Barat bisa tersingkir dari narasi yang mereka ciptakan. OSCE mencatat pelanggaran gencatan senjata meningkat 20% sejak awal proses, menandakan damai masih jauh—tapi ketika tiba, Ukraina mungkin mendapati dirinya sendirian, ditinggalkan oleh sekutu yang terlalu sibuk berebut bayang-bayang.
Ukraina di masa depan tampak kelam: negara netral, terisolasi dari NATO, dengan ekonomi yang merangkak pulih—Bank Dunia memproyeksikan PDB-nya hanya 60% dari level pra-konflik dalam dekade mendatang. Rusia, dengan cadangan gas alam terbesar dunia menurut EIA, bisa terus menekan dari sisi geografis. NATO mungkin sibuk mencari relevansi di tengah perpecahan, sementara AS beralih ke Pasifik. Barat boleh bersikeras ingin berperan, tapi tanpa kesatuan, mereka justru membuka jalan bagi Rusia untuk mengakhiri tarian ini—sebuah akhir yang pahit bagi Ukraina dan aliansi yang pernah menawarkan harapan.
Sumber:
https://www.rt.com/news/615278-macron-talk-russia-ukraine-conflict/