Connect with us

Opini

NATO Geleng-Geleng, Zelensky Bingung, Putin Senyum-Senyum

Published

on

NATO geleng-geleng, Zelensky bingung, Putin senyum-senyum. Washington, yang selama ini menjadi penyokong utama Ukraina, tiba-tiba menekan tombol jeda dalam bantuannya. Bukan cuma pengiriman senjata yang dihentikan, tapi juga berbagi intelijen. Sementara Eropa mencoba menambal kekosongan, AS tampaknya ingin keluar dari permainan. Dan yang lebih menarik, semua ini terjadi setelah Trump dan Zelensky berseteru di Ruang Oval.

Trump tak main-main. Ia bukan hanya menghentikan aliran persenjataan senilai lebih dari satu miliar dolar, tapi juga meminta Zelensky merenungkan kembali niatnya untuk terus berperang. Bahkan, Zelensky sampai harus membuat pernyataan ‘menyesal’ di media sosial, sesuatu yang pasti membuatnya menelan ludah sendiri. Dulu, dia bersumpah akan berperang sampai titik darah penghabisan. Sekarang, dia menulis bahwa dia siap untuk “bekerja cepat untuk mengakhiri perang.”

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Di sisi lain, Putin pasti sedang menikmati drama ini. Kremlin menyambut baik pernyataan Zelensky dengan senyum simpul. “Siap berunding itu bagus, itu positif,” kata juru bicara Putin. Seakan-akan Moskow hanya menunggu lawannya menyerah secara halus. Dan yang lebih menarik, Rusia tetap teguh: mereka tak mau sekadar gencatan senjata sebulan seperti yang diusulkan Macron dan Starmer. Mereka ingin kesepakatan damai permanen, yang secara halus berarti: Ukraina harus tunduk pada kondisi Moskow.

NATO semakin terlihat seperti pemain cadangan yang tak tahu strategi utama. Aliansi itu mengaku tidak diberi tahu soal penangguhan bantuan AS sampai semuanya diumumkan. Eropa, yang selama ini sibuk berteriak soal “solidaritas,” kini tampak kebingungan mencari cara agar Ukraina tak runtuh begitu saja. London dan Paris buru-buru mengusulkan gencatan senjata sementara di udara dan laut, seakan-akan itu akan menyelesaikan masalah. Tapi Washington sudah punya rencana lain, dan yang jelas, rencana itu tidak melibatkan Eropa.

Yang paling lucu, Trump menyebut ambisi Ukraina bergabung dengan NATO sebagai penyebab utama perang ini. Pernyataan itu seperti musik di telinga Moskow. Lavrov bahkan memuji Trump sebagai “satu-satunya pemimpin Barat yang berani menyebut NATO sebagai pemicu konflik.” Jadi, setelah bertahun-tahun AS dan NATO menyebut Rusia sebagai agresor, kini pemimpin AS sendiri yang membenarkan argumen Moskow. Ironi kelas wahid.

Namun, episode drama ini belum selesai. Zelensky, yang sebelumnya keras kepala soal tidak akan bernegosiasi kecuali dengan syarat Ukraina, kini berbalik arah. Ia menyatakan bahwa Ukraina siap berunding dengan Rusia dengan Trump sebagai mediator. Pernyataan ini seperti petir di siang bolong. Sebab, hanya beberapa bulan lalu, Zelensky menegaskan bahwa Ukraina akan bertempur “hingga kemenangan terakhir.”

Bagaimana reaksi Washington? Tidak ada janji konkret soal jaminan keamanan atau keanggotaan NATO. Bahkan, Trump menolak ide mengirim pasukan perdamaian AS jika perang berakhir. Sebaliknya, ia menekan Zelensky dengan menahan semua bantuan militer sampai Kyiv benar-benar serius dengan negosiasi damai. Dengan kata lain, jika Zelensky masih ingin senjata, dia harus menunjukkan niat baik ke Moskow. Itulah diplomasi ala Trump: keras, transaksional, dan tanpa basa-basi.

Sementara itu, Putin tampak lebih santai dari biasanya. Tidak ada ancaman berapi-api atau eskalasi militer besar-besaran. Justru, ia berbicara soal “sistem keamanan global yang lebih adil” dan menginginkan “perdamaian yang bersifat permanen.” Seolah-olah Rusia sudah berada di atas angin dan tinggal menunggu Ukraina menyerah dengan sendirinya. Jika memang begitu, maka ini adalah kemenangan strategis terbesar Moskow sejak 2014.

Dan tentu saja, Zelensky juga harus memastikan negaranya tetap punya sesuatu untuk dinegosiasikan. Maka, dia buru-buru menyodorkan kesepakatan tambang mineral dengan AS. Mungkin ini caranya menunjukkan bahwa Ukraina masih bisa memberi sesuatu yang berharga bagi Washington. Tapi, apakah itu cukup untuk membuat AS kembali bersemangat mendukungnya? Sepertinya tidak.

Di sisi lain, reaksi NATO semakin beragam. Beberapa negara Eropa mulai berani mempertanyakan apakah mendukung Ukraina masih sepadan dengan risiko dan biaya yang harus mereka tanggung. Keputusan Trump membuat banyak pemimpin Eropa sadar bahwa tanpa AS, NATO hanyalah harimau tanpa taring. Jerman dan Prancis mulai mencari jalan tengah, sementara Polandia dan negara-negara Baltik justru semakin panik.

Dalam beberapa hari terakhir, beberapa pertemuan darurat digelar di Brussels, tapi hasilnya nihil. Tak ada keputusan strategis baru, hanya serangkaian pernyataan klise tentang “komitmen jangka panjang terhadap keamanan Eropa.” Tapi semua tahu, tanpa Washington, komitmen itu hanya sebatas kata-kata.

Jika ini adalah awal dari akhir perang, maka akhirnya datang bukan karena kemenangan militer, tetapi karena permainan politik yang lebih besar. Ukraina mungkin masih ingin berperang, tetapi dukungan dari Barat mulai goyah. NATO tak bisa berbuat banyak. Eropa kebingungan. Sementara di Moskow, Putin tetap tersenyum, menunggu akhir cerita yang semakin menguntungkannya.

Sementara Zelensky mencoba memperbaiki citranya dengan merayu Trump agar tetap berada di pihaknya, situasi di lapangan tidak berubah. Rusia terus maju, dan Ukraina semakin kehilangan daya tawarnya. Jika Trump benar-benar memaksa negosiasi, maka posisi Zelensky akan semakin terjepit. Akankah ia menyerah atau tetap mencoba bertahan dengan segala cara?

Dan di tengah semua ini, NATO hanya bisa menggeleng-geleng, Zelensky makin bingung, sementara Putin terus senyum-senyum.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer