Opini
NATO: Aliansi Tanpa Peluru

Dalam pidatonya di The World Economic Forum’s (WEF) Annual Meeting 2025 di Davos-Klosters, Swiss, Mark Rutte, Sekretaris Jenderal NATO, dengan tegas menyatakan bahwa NATO sedang berada dalam “stuasi krisis.” Pernyataan ini mencuat saat ia mendesak Amerika Serikat untuk terus mendukung Ukraina sembari mengingatkan Eropa agar siap membayar lebih. Ironisnya, di tengah retorika besar itu, masalah utama NATO justru terletak pada amunisi: mereka tidak punya cukup peluru.
NATO, aliansi militer terbesar di dunia, kini menghadapi tantangan besar. Krisis industri pertahanan, rendahnya pengeluaran negara anggota, dan ketergantungan pada Amerika Serikat menjadi benang kusut yang sulit diurai. Mark Rutte bahkan memperingatkan bahwa jika NATO tetap terpaku pada target belanja 2% dari PDB, aliansi itu tidak akan mampu mempertahankan diri dalam empat hingga lima tahun ke depan.
Rutte juga menyoroti fakta bahwa banyak negara anggota NATO belum mencapai target 2% tersebut. Bahkan negara-negara kaya seperti Belanda dan Jerman masih enggan meningkatkan anggaran pertahanan mereka. Hal ini menjadi kontras mencolok dengan desakan mereka agar Amerika Serikat tetap mendukung Ukraina, meskipun Washington sendiri mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan finansial.
Di sisi lain, Amerika Serikat melalui utusannya, Richard Grenell, menyampaikan kritik tajam. Grenell menegaskan bahwa negara-negara Eropa harus membayar “fair share” sebelum berbicara tentang ekspansi NATO. Pernyataan ini jelas menyindir negara-negara seperti Belanda yang menginginkan penambahan anggota NATO, seperti Ukraina, tetapi enggan meningkatkan kontribusi finansial mereka.
Realitasnya, perang di Ukraina telah menjadi ujian besar bagi NATO. Dukungan besar-besaran kepada Kyiv dianggap sebagai langkah strategis untuk mencegah kemenangan Rusia. Namun, retorika ini terasa kosong ketika pasokan senjata mulai menipis dan produksi industri pertahanan di Eropa tidak mampu mengejar kebutuhan perang. Sebuah ironi ketika aliansi militer terbesar dunia tidak cukup siap untuk perang panjang.
Rutte juga mengingatkan bahwa kemenangan Rusia akan menjadi preseden buruk. Ia membayangkan Putin “high-fiving” para pemimpin Korea Utara dan China, menguatkan blok anti-Barat. Namun, retorika seperti ini justru memperlihatkan ketegangan dalam NATO sendiri, di mana solidaritas terlihat goyah karena perbedaan visi antara Amerika dan Eropa.
Krisis internal NATO semakin terlihat jelas ketika fokus Eropa untuk mempertahankan Ukraina justru berbenturan dengan masalah domestik mereka sendiri. Negara-negara seperti Jerman dan Prancis tengah menghadapi inflasi tinggi, krisis energi, dan protes sosial. Di saat dapur sendiri bermasalah, desakan untuk mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk perang semakin sulit diterima publik.
Di Davos, Rutte menyampaikan bahwa Eropa harus siap membayar tagihan lebih besar jika ingin mempertahankan keterlibatan Amerika. Namun, nada optimisme ini tampak kontras dengan kenyataan di lapangan. NATO kini seperti tentara yang maju ke medan perang dengan senjata tumpul, berharap Amerika terus memasok amunisi dan perlengkapan.
Kritik dari Amerika Serikat tentang ketidakseimbangan kontribusi juga mengungkap kontradiksi besar dalam NATO. Eropa ingin memainkan peran penting dalam geopolitik global, tetapi terlalu bergantung pada Amerika Serikat. Situasi ini seolah menggambarkan NATO sebagai aliansi yang bersatu dalam visi, tetapi terpecah dalam implementasi.
Jika NATO adalah aliansi pejuang, maka mereka saat ini kekurangan peluru, baik secara harfiah maupun kiasan. Produksi industri pertahanan yang stagnan, ketidaksiapan anggaran, dan ketegangan internal membuat aliansi ini tampak lebih lemah dari klaimnya. Meski tidak sedang berperang langsung, NATO berada di persimpangan: bertahan dengan kelemahan internal atau mengambil risiko untuk menghadapi tantangan global.
Di tengah semua itu, perang di Ukraina tetap menjadi fokus utama. Retorika tentang melindungi nilai-nilai demokrasi dan membendung ekspansi Rusia terus didengungkan. Namun, sejauh mana NATO mampu memenuhi klaim ini tanpa mengorbankan stabilitas internalnya sendiri? Pertanyaan ini masih menggantung tanpa jawaban, sementara tagihan terus bertambah dan amunisi semakin menipis.
NATO kini menghadapi paradoks besar: aliansi yang diciptakan untuk melindungi keamanan kolektif dunia Barat malah terjebak dalam krisis eksistensialnya sendiri. Krisis ini tidak hanya soal peluru yang menipis, tetapi juga tentang kepercayaan, solidaritas, dan kemampuan nyata untuk memenuhi janji-janji besarnya. Sebuah ironi dari aliansi tanpa peluru.