Opini
Nasib SDF: Dari Pahlawan ke Musuh dalam Sekejap

Dalam sebuah laporan terbaru Financial Times, Charles Lister menyoroti bagaimana Pasukan Demokratik Suriah (SDF) telah menjadi “elemen yang harus pergi” demi persatuan Suriah. Ironisnya, kelompok ini dulunya dielu-elukan sebagai pahlawan yang berjasa dalam mengalahkan ISIS. Tapi kini, setelah tugasnya selesai, mereka justru dianggap sebagai penghalang. Begitulah nasib alat yang sudah tak lagi dibutuhkan.
AS dan sekutunya sebelumnya memuji SDF sebagai garda terdepan dalam memerangi terorisme. Mereka dibanjiri dengan senjata, pelatihan, dan janji-janji manis tentang otonomi dan pengakuan. Tapi janji dalam politik internasional sama seperti garansi produk murahan—berlaku hanya sampai produk itu tak lagi dipakai. Kini, SDF mendapati diri mereka dicap sebagai ancaman.
Di atas kertas, AS selalu menyanyikan lagu merdu tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Tapi seperti biasa, mereka lupa menuliskan syair yang menjelaskan bagaimana sekutu mereka bisa berubah menjadi musuh dalam sekejap. SDF, yang dulu menjadi simbol perlawanan terhadap ekstremisme, kini dilihat sebagai batu sandungan bagi stabilitas yang katanya ingin diwujudkan.
Washington kini berbicara tentang perlunya Suriah bersatu. Kata ‘persatuan’ itu terdengar begitu luhur, seolah datang dari malaikat penjaga perdamaian. Tapi tunggu dulu, bukankah AS sendiri yang selama bertahun-tahun menyokong berbagai faksi bersenjata, menciptakan friksi demi friksi? Dan kini mereka mengangkat alis, berpura-pura tak tahu menahu mengapa Suriah begitu terpecah.
SDF telah memainkan perannya dengan sempurna dalam skenario yang disusun di Washington. Mereka ditugaskan sebagai perisai yang melindungi kepentingan AS di kawasan, berjuang dengan gagah melawan ISIS. Tapi di dunia politik, loyalitas bukanlah aset, melainkan beban. Dan kini, AS ingin melepas beban itu dengan alasan “demi persatuan Suriah”. Betapa indahnya penghianatan yang dibungkus dengan kata-kata mulia.
Kita harus belajar satu hal dari kisah ini: menjadi sekutu AS adalah pekerjaan penuh risiko. Hari ini, Anda bisa mendapatkan pujian setinggi langit, esoknya Anda bisa dianggap sebagai duri dalam daging. SDF bukan satu-satunya korban dari skema ini. Sebelum mereka, ada Taliban, ada Muammar Qaddafi, ada Saddam Hussein, dan daftarnya masih panjang.
Bukan hanya AS yang bermain dalam sandiwara ini. Turki, yang selalu mendeklarasikan dirinya sebagai penjaga kestabilan kawasan, kini menyiapkan pasukan untuk menyerang SDF. Dengan dalih “menumpas teroris”, Turki bersiap melancarkan operasi militer besar-besaran. Bukankah ini ironis? Negara yang mendukung kelompok-kelompok bersenjata di Suriah kini mengklaim dirinya sebagai pembela integritas wilayah.
Suriah sendiri, dengan Damaskus sebagai pemeran utama, kini ingin kembali menguasai sumber daya energi dan pertanian yang selama ini dikelola oleh SDF. Tapi tentu, mereka ingin tanpa perlawanan. Tuntutan agar SDF menyerahkan senjata dan melebur ke dalam tentara nasional terdengar seperti undangan manis sebelum pisau ditancapkan ke punggung mereka. Diplomasi, dalam dunia ini, hanyalah permainan menunggu waktu.
AS tetap berdiri di pinggir lapangan, mengawasi permainan ini sambil sesekali mengatur ritme. Mereka tidak ingin terlihat terlalu agresif, tapi juga tidak ingin kehilangan kendali. SDF harus memilih: melawan dan dilenyapkan, atau tunduk dan tetap dihancurkan perlahan. Dalam dua skenario ini, hanya Washington yang menang.
SDF barangkali sekarang mengerti bahwa menjadi sekutu AS adalah seperti menjadi pion dalam permainan catur raksasa. Anda bisa dibiarkan bergerak maju selama Anda masih berguna, tapi pada saat yang tepat, Anda akan dikorbankan untuk menyelamatkan raja. Persoalannya, siapa yang sebetulnya raja dalam permainan ini? Yang jelas, bukan rakyat Suriah.
Dan ketika akhirnya SDF lenyap dari peta politik, narasi akan berubah lagi. Mungkin kelak AS akan menyebut mereka sebagai pemberontak yang pernah menjadi ancaman bagi stabilitas. Media Barat akan mengikuti arus, menulis ulang sejarah sesuai kebutuhan, dan dunia pun kembali lupa bahwa dulu SDF adalah pahlawan yang dielu-elukan. Sejarah selalu ditulis oleh pemenang, dan pemenangnya sudah jelas sejak awal.