Opini
Narasi ‘Teroris’: Membenarkan Kekejaman, Menutupi Kebenaran

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Gaza. Sebuah tempat yang lebih mirip penjara terbuka daripada kota. Dikelilingi pagar kawat berduri, dibayangi drone mematikan, dan diterangi api rudal yang jatuh tanpa peringatan. Di sini, kehidupan berjalan di bawah bayang-bayang kematian, dan bahkan bendera putih tak lagi berarti perdamaian.
Ah, teroris! Sebuah kata ajaib yang dilontarkan oleh zionis dan pendukungnya di panggung internasional untuk mengubah fakta paling brutal menjadi kebenaran yang nyaman bagi para penonton global. Kata ini menjadi senjata propaganda ampuh yang menyematkan label kepada setiap warga Gaza—anak-anak, ibu-ibu, bahkan pria tua yang tak berdaya. Dengan narasi ini, agresor berubah menjadi korban, dan pembela tanah airnya berubah menjadi ancaman yang harus dihancurkan.
Di Gaza, bendera putih ternyata bukan simbol perdamaian. Ia hanyalah aksesoris murah yang bisa diabaikan. Sebab, narasi “teroris” sudah menjamin bahwa apapun yang terjadi—bahkan jika anak-anak terbakar hidup-hidup atau ibu-ibu kehilangan rumahnya dalam hitungan detik—semua itu sah. Mengapa? Karena “keamanan” harus diutamakan, bahkan jika keamanan itu membutuhkan genosida.
Narasi ini dirancang dengan hati-hati oleh mesin propaganda zionis yang disokong kekuatan besar di Barat. Media mainstream, yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran, justru sibuk menyiarkan versi yang sesuai dengan agenda para penguasa. Bayangkan, ada tentara dengan senjata lengkap, drone canggih, dan rudal presisi tinggi, melawan keluarga dengan bendera putih. Tapi tentu saja, keluarga itu pasti “teroris.” Apa lagi yang mungkin, kan?
Mari kita perhatikan bagaimana narasi ini bekerja. Anak-anak yang bermain bola? Ah, jangan tertipu! Mereka bisa saja membawa bom. Seorang pria yang sedang berjalan ke masjid? Siapa tahu ia menyembunyikan senjata di dalam tasnya. Dan tentu saja, perempuan yang berlari mencari perlindungan? Pasti mata-mata Hamas. Betapa briliannya cara berpikir ini! Dalam perang kata-kata ini, warga sipil tak lagi manusia. Mereka hanyalah statistik. Mereka “kolateral.”
Yang menarik, narasi “teroris” ini bukan sekadar pembenaran, tapi bisnis. Ya, ada industri besar yang menggantungkan hidupnya pada narasi ini. Media besar berlomba-lomba menyiarkan versi yang sesuai dengan selera para sponsor. Siapa yang butuh fakta jika headline yang sensasional bisa meningkatkan klik dan uang iklan?
Dan di balik layar, ada politisi yang bersorak. Narasi ini membuat mereka tetap berkuasa, menjamin anggaran militer terus mengalir, dan memastikan bahwa para penonton global tetap nyaman dengan kebutaan mereka. Toh, apa pentingnya warga Gaza? Mereka tidak punya lobi yang kuat, tidak punya media yang mampu menembus filter Barat, dan tentu saja, mereka terlalu sibuk mencari makanan di antara reruntuhan untuk memikirkan strategi Public Relation (PR).
Jadi, mari kita beri tepuk tangan untuk narasi “teroris” ini! Ia telah membungkam kebenaran, merusak hati nurani dunia, dan yang paling penting, menjadikan kekejaman sebagai norma baru. Karena, di dunia yang dikendalikan oleh propaganda, siapa yang peduli pada bendera putih, anak-anak yang mati, atau rumah-rumah yang rata dengan tanah? Toh, mereka hanya “teroris.” []